Analisis Puisi
Intertekstual Puisi “Padamu Jua” Karya Amir Hamzah Dengan “Doa” Karya Taufik
Ismail
Oleh Gita Puspitasari
13010114130067
PADAMU JUA
(Amir
hamzah)
Habis kikis
Segala
cintaku hilang terbang
Pulang
kembali aku padamu
Seperti
dahulu
Kaulah
kandil kemerlap
Pelita
jendela di malam gelap
Melambai
pulang perlahan
Sabar, setia
selalu
Satu
kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa
Di mana
engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
merangkai hati
Engkau
cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar aku
gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau pelik
menusuk ingin
Serupa dara
di balik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu waktu –
bukan giliranku
Matahari–
bukan kawanku
DOA
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan AsmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
1966
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan AsmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
1966
Amir Hamzah merupakan seorang sastrawan
periode angkatan pujangga baru. Beliau merupakan sastrawan yang aktif dalam
melahirkan karya-karya baru. Puisi-puisi Amir
sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik
batin yang mendalam. Diksi
pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas
struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang
berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan
dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya
selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi
Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut
sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe"
Taufik Ismail merupakan seorang
sastrawan periode angkatan ’66. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya,
misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku
kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,
Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan,
Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk,
Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Secara umum puisi “Doa” Taufik Ismail
memiliki tema yang sama dengan puisinya Amir Hamzah “Padamu Jua” yaitu
ketuhanan. Dalam puisi ini menjelaskan sebuah doa yang di panjatkan atas cobaan
yang diterima. Subjek yang digunakan kedua penyair ini adalah tokoh si Aku
sebagai penderita. Namun bila kita teliti tokoh si Aku dalam puisi ini memiliki
perbedaan dalam menghadapi cobaannya. Dalam puisi “Padamu Jua” tokoh si Aku
yang pada awalnya merasa kecewa akan apa yang telah Tuhan lakukan atas cobaan
yang diberikan pada akhirnya si Aku kembali pada Tuhannya. Dan percaya serta
tak akan mendustakan lagi karena Tuhan sebagai Maha segala.
Sedangkan dalam puisi “Doa” karya Taufik
Ismail tokoh si Aku yang telah dusta akan apa yang dia perbuat selama ini
memohon ampun. Dan menyerahkan diri seutuhnya pada Tuhan. Percaya pada Tuhannya
yang tak akan mengingkari janji.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai
kendil (lilin) kemerlap. Taufik Ismail menggambarkan Tuhan dengan menggunakan makna denotasi.
Dalam gaya
ekspresi, Amir
Hamzah mempergunakan citra-citra juga, tetapi tidak untuk mengemukakan
pengertian, melainkan untuk mengkonkretkan tanggapan. Kaulah Kandil kemerlap /
Pelita jendela di malam gelap / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu
/ ... / Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar
tangkap dengan lepas.// Di sini kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan
(diafan). Sedangkan Taufik Ismail tidak
mengguanakan citraan. Beliau lebih menggunakan kata-kata yang sederhana tapi
indah dan bermakna denotasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar