Nama : Gita Puspitasari
NIM : 13010114130067
Mata Kuliah : Pengkajian Puisi
Kelas : B
KARENA KATA
(Sapardi Djoko Damono)
Karena
tak dapat kutemukan
Kata
yang paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri
Karena
tak dapat kuucapkan
Kata
yang paling rindu
Kubiarkan
hasrat membelenggu
Karena
tak dapat kuungkapkan
Kata
yang paling cinta
Kupasrahkan
saja dalam doa
A. Analisis Strata (Lapis) Norma Roman
Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan
satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma.
Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek
mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya
Das Literarische Kuntswerk
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara
lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan
norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga
yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan
norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.
Lapis Suara (Sound
Stratum)
Bila orang
membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang
dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu
bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara
kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada
bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang
dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi
dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan
tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat
penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan
yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara
ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi
vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris
puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau
keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang
sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang
berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Karena
tak dapat kutemukan
Kata
yang paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri
Pada
bait pertama terdapat asonansi a dan i pada karena,tak, dapat, kata, paling, sepi, hati, sendiri. Juga terdapat
aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
Karena
tak dapat kuucapkan
Kata
yang paling rindu
Kubiarkan
hasrat membelenggu
Pada
bait kedua terdapat asonansi i dan u pada paling, rindu, kubiarkan, membelenggu, kuucapkan. Aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.
Karena
tak dapat kuungkapkan
Kata
yang paling cinta
Kupasrahkan
saja dalam doa
Pada
bait terakhir terdapat asonansi a,i dan
u pada karena,tak, dapat, kata, saja, doa, paling, cinta, kuungkapkan, kupasrahkan.
2. Lapis
arti (units of meaning)
Lapis ini
berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu
merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa
kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam
tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan
dengan lapis-lapis lainnya.
Pada bait
pertama diartikan bahwa tak ada kata yang dapat mewakili keadaaan yang begitu
sepi sehingga membuat pengarang pasrah dengan hati yang terlantar. Pada bait
kedua memiliki arti bahwa pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti
dari kata rindu sehingga membuat pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti
yang terdapat pada bait ketiga ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili
perasaan yang begitu mendalam, sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya
pada doa yang selalu dipanjatkan.
3. Lapis Ketiga
(Pengarang)
Wujud dari
lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar,
pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan
dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan
antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya
(alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Sapardi
Djoko Damono adalah salah seorang pujangga terkenal Indonesia, tak dapat
diragukan lagi hasil karya-karyanya. Dia dikenal melalui puisi-puisinya yang
menggunakan kata-kata yang sederhana, sehingga beberapa karyanya sangat
populer. Dalam puisi ini pengarang mencoba memberikan penjelasan objek yang
ditekankan adalah perasaan-perasaan yang sangat mendalam, sehingga membuat
pengarang tak mampu mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
4.
Lapis Keempat (dunia)
Lapis
pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun
sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan
perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa banyak perasaan yang
dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga pengarang hanya pasrah
dengan memanjatkan doa.
5.
Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir
dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini
disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat
Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang
menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara
dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang
dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi
ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan
jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi,
pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha
Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan.
Kupasrahkan saja dalam doa
B. Analisis Struktur Pembentuk Puisi
Riffaterre
1.
Surface Strukture (unsur luar)
1.1.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi
berupa:
1.1.1.
Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan
symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak
kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna,
dan lain-lain. Pada puisi ini tidak memiliki balnk symbol.
1.1.2.
Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol
realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa
kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini tidak memiliki
natural symbol.
1.1.3.
Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang
mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk
mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat
private symbol.
1.2.
Unsur Bunyi
1.2.1.
Rima
1.2.1.1.
Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama
pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu
baris. Asonansi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat asonansi
a dan i pada karena,tak, dapat,
kara, paling, sepi, hati, sendiri.
b. Pada bait kedua terdapat
asonansi i dan u pada paling, rindu,
kubiarkan, membelenggu, kuucapkan.
c. Pada bait terakhir terdapat
asonansi a,i dan u pada karena,tak, dapat,
kata, saja, doa, paling, cinta,
kuungkapkan, kupasrahkan
1.2.1.2.
Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi
konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau
perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan
bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat
aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
b. Pada bait kedua terdapat
aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.
1.2.1.3.
Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris.
Dalam puisi ini memiliki rima akhir yaitu a-b-b
1.2.2.
Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin
dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih
pada rima akhir. Pada bait pertama /i/, pada
bait kedua /u/ dan pada bait terakhir
/a/.
Karena
tak dapat kutemukan
Kata
yang paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri
Karena
tak dapat kuucapkan
Kata
yang paling rindu
Kubiarkan
hasrat membelenggu
Karena
tak dapat kuungkapkan
Kata
yang paling cinta
Kupasrahkan
saja dalam doa
2.
Deep Structure (unsur dalam)
Makna
yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam
puisi ini unsur dalamnya adalah pada bait pertama diartikan bahwa tak ada kata
yang dapat mewakili keadaaan yang begitu sepi sehingga membuat pengarang pasrah
dengan hati yang terlantar. Pada bait kedua memiliki arti bahwa pengarang tak
dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu sehingga membuat
pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti yang terdapat pada bait ketiga
ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili perasaan yang begitu mendalam,
sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya pada doa yang selalu dipanjatkan.
C. Analisis Citraan/Imagery (gambaran
angan-angan)
Citraan
adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan
digunakan dalam puisi untuk memberikan
gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran
dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan
yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra pendengaran (auditory
imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan
bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata
·
Kata
yang paling sepi
·
Karena tak dapat kuucapkan
·
Karena tak dapat kuungkapkan
D. Analisis Sarana Retorika
Sarana
retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam
puisi tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau
keadaan. Maksudnya untuk menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas.
Misalnya, kata yang paling sepi, kata yang paling rindu, dan kata yang paling cinta.
HERMAN
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1
A. Analisis Strata (Lapis) Norma Roman
Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan
satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma.
Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek
mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya
Das Literarische Kuntswerk
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara
lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan
norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga
yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan
norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.
Lapis Suara (Sound
Stratum)
Bila orang
membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang
dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu
bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara
kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada
bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang
dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi
dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan
tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat
penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang
jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara
ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi
vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris
puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau
keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang
sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang
berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam puisi
ini memiiki pola sajak yang bebas tidak teraturan. Pemenggalan kata terakhir
pada tiap baris pun masih saling berkaitan dengan kata pada baris selanjutnya,
serta saling berpengaruh satu sama lain.
2. Lapis
arti (units of meaning)
Lapis ini
berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu
merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa
kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam
tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan
dengan lapis-lapis lainnya.
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam
di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan.
Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh
di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta
tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati
kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di
tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit
yang lebih dominan berwarna biru bahkan
tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di
awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak
dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di
diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa
herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia
kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada
dimanapun dan berbuat apapun.
Baris kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya
dan harus ditolong.
3. Lapis Ketiga
(Pengarang)
Wujud dari lapis
ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku,
dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia
yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur).
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
·
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini
adalah bumi, bulan, matahari, tubuh, lazuardi, tanah, angin, awan, kata,
mulut, dan tangan.
·
Pelaku atau tokoh dalam puisi ini adalah herman.
·
Latar waktu dan tempat dalam puisi ini adalah malam, bumi, bulan, matahari, lazuardi,
tanah, dan awan.
·
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia
yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur);
seperti berikut.
Pengarang
memceritakan si Herman, entah itu hanya nama sebutan manusia/hewan/tumbuhan. Herman
yang tidak dapat berada dimanapun dan tidak diketahui keberadaannya. Sehingga
pengarang menyatakan permintaan pertolongan untuk mencari tahu keberadaan si Herman.
4.
Lapis Keempat (dunia)
Lapis
pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun
sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan
perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Pada baris
pertama, herman itu seperti apa dan menunjukkan manusia/hewan/tumbuhan sehingga
dia tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Baris kedua lebih menunjukkan bahwa
dia tidak hanya tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Namun, dia juga tidak
dapat berada di matahari bahkan tubuh. Baris ketiga, menunjukkan dia juga tidak
dapat berada di langit, tanah dan angin. Baris keempat, menjelaskan bahwa dia
tidak dapat berada di awan, dan kata. Baris kelima, menunjukkan kalau dia juga
tidak dapat berada di mulut, dan tangan. Baris keenam, pengarang semakin
menunjukkan bahwa herman memang tidak bisa, tidak bisa dan tidak bisa dimanapun
dan segalanya. Baris ketujuh, pengarang menunjukkan kalau herman memang tidak
bisa berada dimanapun hingga dia mencari keberadaan herman. Pada baris terakhir
pengarang pengarang menyerukan
permintaan tolong untuk mencari keberadaan si Herman.
5.
Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir
dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini
disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat
Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang
menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara
dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang
dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini
lapis metafisisnya adalah menunjukkan
suasana keresahan, kebingungan, ketidaktentuan dan kerisauan.
B. Analisis Struktur Pembentuk Puisi
Riffaterre
1.
Surface Strukture (unsur luar)
1.1.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi
berupa:
1.1.1.
Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan
symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca
tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa
warna, dan lain-lain. Pada puisi ini blank symbolnya adalah biru di lazuardi.
1.1.2.
Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol
realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa
kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini natural symbolnya
adalah bumi, malam di bulan, matahari,
angin, awan.
1.1.3.
Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang
mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk
mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat
private symbol.
1.2.
Unsur Bunyi
1.2.1.
Rima
1.2.1.1.
Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama
pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu
baris. Asonansi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola
sajak yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap
baris masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.2.
Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi
konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau
perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan
bunyi. Aliersi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola sajak
yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap baris
masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.3.
Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris.
Dalam puisi ini tidak memiliki rima akhir.
1.2.2.
Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin
dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama dalam puisi ini ditujukkan dengan
adanya peneekankan dalam kata tak bisa.
2.
Deep Structure (unsur dalam)
Makna yang terkandung dibalik kata-kata
yang tersusun sebagai struktur luarnya. Deep structure dalam puisi ini adalah:
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam
di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan.
Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh
di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta
tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati
kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di
tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit
yang lebih dominan berwarna biru bahkan
tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di
awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak
dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di
diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa
herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia
kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada
dimanapun dan berbuat apapun.
Baris kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya
dan harus ditolong.
C. Analisis Citraan/Imagery (gambaran
angan-angan)
Citraan
adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan
digunakan dalam puisi untuk memberikan
gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran
dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat
dalam puisi ini adalah Citra penglihatan (visual imagery). Citraaan
pengihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan, memberi rangsangan pada
indera penglihatan hingga sering hal-hal yang tak terlihat menjadi seolah-olah
terlihat. Misalnya, malam di
bulan, biru di lazuardi.
D. Analisis Sarana Retorika
Sarana
retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam
puisi tersebut sarana retorikanya adalah
·
hiperbola,
yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya untuk
menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas. Dalam setiap baris dijelaskan
Herman tidak bisa apapun dan dimanapun.
·
Tautologi,
yaitu sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, supaya arti
kata/keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca/pendengar. Misalnya, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan.
Ty
BalasHapus