Jumat, 24 November 2017

KARENA KATA (Sapardi Djoko Damono)

Nama               : Gita Puspitasari
NIM                : 13010114130067
Mata Kuliah    : Pengkajian Puisi
Kelas               : B


KARENA KATA
(Sapardi Djoko Damono)

Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri

Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu

Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa

A.  Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.    Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri
Pada bait pertama terdapat asonansi a dan i pada karena,tak, dapat, kata, paling, sepi, hati, sendiri. Juga terdapat aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu
Pada bait kedua terdapat asonansi i dan u pada paling, rindu, kubiarkan, membelenggu, kuucapkan. Aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.
Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa
Pada bait terakhir terdapat asonansi a,i dan u pada karena,tak, dapat, kata, saja, doa, paling, cinta, kuungkapkan, kupasrahkan.
2.    Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada bait pertama diartikan bahwa tak ada kata yang dapat mewakili keadaaan yang begitu sepi sehingga membuat pengarang pasrah dengan hati yang terlantar. Pada bait kedua memiliki arti bahwa pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu sehingga membuat pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti yang terdapat pada bait ketiga ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili perasaan yang begitu mendalam, sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya pada doa yang selalu dipanjatkan.
3.    Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Sapardi Djoko Damono adalah salah seorang pujangga terkenal Indonesia, tak dapat diragukan lagi hasil karya-karyanya. Dia dikenal melalui puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata yang sederhana, sehingga beberapa karyanya sangat populer. Dalam puisi ini pengarang mencoba memberikan penjelasan objek yang ditekankan adalah perasaan-perasaan yang sangat mendalam, sehingga membuat pengarang tak mampu mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
4.    Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa banyak perasaan yang dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga pengarang hanya pasrah dengan memanjatkan doa.
5.    Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi, pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan.
Kupasrahkan saja dalam doa

B.  Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.    Surface Strukture (unsur luar)
1.1.   Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
1.1.1.      Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini tidak memiliki balnk symbol.
1.1.2.      Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini tidak memiliki natural symbol.
1.1.3.      Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat private symbol.
1.2.    Unsur Bunyi
1.2.1.      Rima
1.2.1.1.            Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat asonansi a dan i pada karena,tak, dapat, kara, paling, sepi, hati, sendiri.
b. Pada bait kedua terdapat asonansi i dan u pada paling, rindu, kubiarkan, membelenggu, kuucapkan.
c. Pada bait terakhir terdapat asonansi a,i dan u pada karena,tak, dapat, kata, saja, doa, paling, cinta, kuungkapkan, kupasrahkan
1.2.1.2.            Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
b. Pada bait kedua terdapat aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.

1.2.1.3.            Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini memiliki rima akhir yaitu a-b-b
1.2.2.      Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih pada rima akhir. Pada bait pertama /i/, pada bait kedua /u/ dan pada bait terakhir /a/.
Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri
Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu
Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa
2.    Deep Structure (unsur dalam)
   Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam puisi ini unsur dalamnya adalah pada bait pertama diartikan bahwa tak ada kata yang dapat mewakili keadaaan yang begitu sepi sehingga membuat pengarang pasrah dengan hati yang terlantar. Pada bait kedua memiliki arti bahwa pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu sehingga membuat pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti yang terdapat pada bait ketiga ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili perasaan yang begitu mendalam, sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya pada doa yang selalu dipanjatkan.


C.  Analisis Citraan/Imagery (gambaran angan-angan)
Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra pendengaran (auditory imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata
·         Kata yang paling sepi
·         Karena tak dapat kuucapkan
·         Karena tak dapat kuungkapkan

D.  Analisis Sarana Retorika
Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk  untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam puisi tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya untuk menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas. Misalnya, kata yang paling sepi, kata yang paling rindu, dan kata yang paling cinta.


HERMAN
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1


A.  Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.    Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam puisi ini memiiki pola sajak yang bebas tidak teraturan. Pemenggalan kata terakhir pada tiap baris pun masih saling berkaitan dengan kata pada baris selanjutnya, serta saling berpengaruh satu sama lain.
2.    Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan. Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit yang  lebih dominan berwarna biru bahkan tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada dimanapun dan berbuat apapun.
Baris  kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng! berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya dan harus ditolong.
3.    Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
·         Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah  bumi, bulan, matahari, tubuh, lazuardi, tanah, angin, awan, kata, mulut, dan tangan.
·         Pelaku atau tokoh dalam puisi ini adalah herman.
·         Latar waktu dan tempat dalam puisi ini adalah malam, bumi, bulan, matahari, lazuardi, tanah, dan awan.
·         Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Pengarang memceritakan si Herman, entah itu hanya nama sebutan manusia/hewan/tumbuhan. Herman yang tidak dapat berada dimanapun dan tidak diketahui keberadaannya. Sehingga pengarang menyatakan permintaan pertolongan untuk mencari tahu keberadaan si Herman.
4.    Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Pada baris pertama, herman itu seperti apa dan menunjukkan manusia/hewan/tumbuhan sehingga dia tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Baris kedua lebih menunjukkan bahwa dia tidak hanya tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Namun, dia juga tidak dapat berada di matahari bahkan tubuh. Baris ketiga, menunjukkan dia juga tidak dapat berada di langit, tanah dan angin. Baris keempat, menjelaskan bahwa dia tidak dapat berada di awan, dan kata. Baris kelima, menunjukkan kalau dia juga tidak dapat berada di mulut, dan tangan. Baris keenam, pengarang semakin menunjukkan bahwa herman memang tidak bisa, tidak bisa dan tidak bisa dimanapun dan segalanya. Baris ketujuh, pengarang menunjukkan kalau herman memang tidak bisa berada dimanapun hingga dia mencari keberadaan herman. Pada baris terakhir pengarang  pengarang menyerukan permintaan tolong untuk mencari keberadaan si Herman.
5.    Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini lapis metafisisnya adalah  menunjukkan suasana keresahan, kebingungan, ketidaktentuan dan kerisauan.

B.  Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.    Surface Strukture (unsur luar)
1.1.   Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
1.1.1.      Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini blank symbolnya adalah biru di lazuardi.
1.1.2.      Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini natural symbolnya adalah bumi, malam di bulan, matahari, angin, awan.
1.1.3.      Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat private symbol.
1.2.    Unsur Bunyi
1.2.1.      Rima
1.2.1.1.            Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola sajak yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap baris masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.2.            Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola sajak yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap baris masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.3.            Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini tidak memiliki rima akhir.
1.2.2.      Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama dalam puisi ini ditujukkan dengan adanya peneekankan dalam kata tak bisa.
2.    Deep Structure (unsur dalam)
     Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Deep structure dalam puisi ini adalah:
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan. Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit yang  lebih dominan berwarna biru bahkan tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada dimanapun dan berbuat apapun.
Baris  kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng! berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya dan harus ditolong.

C.  Analisis Citraan/Imagery (gambaran angan-angan)
Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah Citra penglihatan (visual imagery). Citraaan pengihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan, memberi rangsangan pada indera penglihatan hingga sering hal-hal yang tak terlihat menjadi seolah-olah terlihat. Misalnya, malam di bulan, biru di lazuardi.

D.  Analisis Sarana Retorika
Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk  untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam puisi tersebut sarana retorikanya adalah
·         hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya untuk menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas. Dalam setiap baris dijelaskan Herman tidak bisa apapun dan dimanapun.
·         Tautologi, yaitu sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, supaya arti kata/keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca/pendengar. Misalnya, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan.

1 komentar: