Sabtu, 27 Mei 2017

Sastra Melayu Rendah



Ciri-ciri Sastra Melayu Rendah
a.       Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Melayu-Rendah, bukan bahasa Melayu-Tinggi. Sastra Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yang mengalami keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.
b.      Isi Melayu Tionghoa lebih realistis, yaitu tidak terombang-ambing oleh dunia maya dan mitos, melainkan cerita yang diangkat dari kehidupan sehari-hari yang telah menyatu dengan kehidupan mereka.
c.       Ejaan yang digunakan belum menggunakan ejaan sekarang, sudah jelas dari judulnya, ejaan Republik/ Soewandi
-          “Boenga Roos dari Tjikembang”
d.      Diterbitkan oleh penerbit swasta, bukan Balai Pustaka. Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.
e.       Kekerasan, perselingkuhan, dan perkawinan antargolongan tema yang sering di angkat. Contohnya dalam cerita “Boenga Roos dari Tjikembang” menceritakan percintaan dua etnis (tionghoa dan pribumi) pada masa itu sedang marak.
-          “Oh Aij Tjeng adalah seorang pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya”.
f.       Kebanyakan karakter pribumi dalam sastra melayu tionghoa digambarkan memiliki watak yang buruk. Contohnya pada Tjerita Nyai Dasima karya G. Francis. Dalam cerita ini pribumi digambarkan sebagai orang rendahkan, contohnya para pemuda Tionghoa memperistri hanya gadis Tionghoa, sedangkan gadis pribumi dijadikan hanya sebagai selir atau nyai.
g.      Bersifat politis karena cap yang melekat bahwa orang Tionghoa tidak punya rasa nasionalisme atau paling tidak nasionalismenya masih diragukan. Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.
h.      Masih percaya pada ramalan dan mitos.
-          “... Tapi saya sudah dapet firasat, yang juragan dan saya bakal lekas terpisah.”
“Firasat? Firasat apakah itu? Cobalah ceritaken dengen teges.”
“Tiga malem yang lalu saya telah mengimpi, yang sampe sekarang saya masih tida bisa lupa, dan selalu bikin saya jadi mengkirik. Saya mengimpi dapet liat jurangan naek kuda si Bima menyebrangi kali Cisarua aken pergi ka Leuwiuncal. Saya ikutin juragan dari blakang, dan tatkala juragan sudah sampe di sebrang, saya pun lalu turun ka kali aken turut ka sebrang sambil bertreak-treak:’Juragan-juragan, Abdi milu!’ Tapi juragan tida perduli dan lariken terus itu kuda. Saya menangis dan coba menyebrang terus, dan tatkala ada di tenga kali, dateng aer banjir besar, hingga saya terbawa anyut. Saya bertreak minta tulung pada juragan, dan juragan menengok, mengawasin dan menggapein dengan tangan, tapi tida mau metulung, hanya berjalan terus, sedeng saya anyut semingkin jau, kalelep tenggelem timbul dan... saya mendusin!” (Kwee Tek Hoay,1927)
-          Ketika Lily masih remaja, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk mengetahui masa depan Lily.
i.        Terdapat situasi membaurnya kebudayaan Peranakan Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
-          Ketika Lily masih remaja, misalnya, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk mengetahui masa depan Lily. Sebaliknya ketika Lily jatuh sakit, orang tuanya malah memanggil seorang dikter Eropa. Gwat Nio, istri sah Aij Tjeng, bahkan sebenarnya anak seorang nyai. Dia diambil oleh orang tua angkatnya, karena mereka tidak memiliki anak.


Resensi Cerpen Sastra Melayu Rendah

Judul              : Boenga Roos dari Tjikembang
Pengarang    : Kwee Tek Hoay
Buku              : Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jilid 2)
Editor              : Marcus A.S dan Pax Benedanto
Penerbit         : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta
Cetakan         : Pertama, Januari 2001
Tebal              : 598 halaman

Kisah ini karya Kwee Tek Hoay yang pertama-tama dimuat secara bersambung dalam majalah "Panorama" sejak Maret 1927, kemudian dipentaskan oleh Union Dalia Opera pada 1927.
Oh Aij Tjeng adalah seorang pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun, tidak lama setelah itu, ayah Aij Tjeng, Oh Pin Loh datang untuk memberitahu Aij Tjeng bahwa ia telah ditunangkan dengan Gwat Nio, putri dari Liok Keng Djim, pemilik perkebunan tersebut. Aij Tjeng yang harus berpisah dengan Marsiti, nyai yang telah dipiaranya selama tiga tahun. Marsiti pun diusir pergi oleh Oh tua tanpa sepengetahuan Aij Tjeng. Aij Tjeng memerintahkan Tirta, pelayannya untuk menemukan Marsiti, namun ia pun ikut menghilang. Pernikahan Aij Tjeng dan Gwat Nio bahagia. Mereka dikaruniai seorang putri cantik. Aij Tjeng menemukan dalam diri Gwat Nio semua sifat sama yang membuatnya jatuh cinta dengan Marsiti, bahkan lebih halus. Dia jatuh cinta dengan Gwat Nio dan mulai melupakan Marsiti.
Tidak lama kemudian Keng Djim memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari nyai-nya, seorang pribumi yang dimilikinya saat muda, dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan, namun dia meninggal sebelum bisa mengungkapkannya. Aij Tjeng mencari ayahnya, untuk menanyakan rahasia tersebut, tetapi menemukan bahwa ayahnya juga telah meninggal tiga jam setelah ayah mertuanya meninggal. Kesedihan pun melanda pasangan suami istri Aij Tjeng dan Gwat Nio. Namun kesedihan itu berangsur-angsur hilang karena Lily, putri semata wayangnya.
Delapan belas tahun kemudian, Lily, putri Aij Tjeng dan Gwat Nio, bertunangan dengan seorang pemuda Tionghoa kaya bernama Sim Bian Koen. Lily, meskipun cantik dan berbakat, terobsesi dengan kematian dan kesedihan; dia sangat mempercayai perkataan sinshe dari Cikini yang mengatakan bahwa dia ditakdirkan untuk mati muda dan takkan pernah menikah.  Dia jatuh sakit setelah Aij Tjeng dan Sim Tjoan Hoe (ayah Bian Koen Bian Koen) memutuskan tanggal pernikahan mereka. Dia akhirnya memberitahu Bian Koen untuk menemukan tunangan lain karena ia akan segera meninggalkan dia. Semua dokter yang pandai di Jakarta sudah diundang. Namun, dokter tidak dapat menyelamatkannya. Lyli meninggal dunia menjelang hari pernikahannya. Hal ini mendorong Bian Koen mempertimbangkan bunuh diri, sehingga Aij Tjeng dan Gwat Nio mengalami kesedihan dan goncangan psikologis.
Pada tahun berikutnya Aij Tjeng dan Gwat Nio telah pulih, setelah pindah jauh dan beralih ke agama. Namun Bian Koen, tetap ingin mengakhiri hidupnya, dan bermaksud untuk pergi berperang di China untuk menemukan kematian; satu-satunya hal yang menahan dia adalah janjinya untuk menunggu hari peringatan kematian Lily. Suatu hari, saat ia melewati desa Cikembang, ia menemukan sebuah makam yang sangat terawat. Saat ia memeriksa daerah itu, ia melihat Lily. Dia menolak pelukannya dan lari. Ketika Bian Koen mengejarnya, Bian Koen jatuh dan pingsan.
Ketika ia bangun di rumahnya, Bian Koen memberitahu orangtuanya bahwa ia melihat Lily di Cikembang. Setelah menyelidiki, keluarga tersebut menemukan bahwa "Lily" yang dilihat Bian Koen sebenarnya adalah putri Aij Tjeng dan Marsiti, Roosminah, yang dibesarkan secara rahasia oleh Tirta yang mengganti namanya dengan Oesman, setara dengan Lily dalam segala hal. Ketika Marsiti meninggalkan Aij Tjeng ternyta dia telah hamil. Karena kecantikannya, ia dikenal sebagai "Bunga Roos (Mawar) dari Cikembang ". Keluarga Bian Koen menghubungi Aij Tjeng, dan setelah mengetahui latar belakang Roosminah, mereka memberikan Roosminah identitas Lily. Pernikahan mewah nya dengan Bian Koen dihadiri oleh ribuan orang, termasuk roh Marsiti.
Lima tahun kemudian, Bian Koen dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti) membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya.

Kelebihan novel
Ceritanya cukup menarik. Konfliks percintaan disini dikemas menarik dengan bumbu tidak di setujuinya percintaan antara Oh Aij Tjeng dengan Marsiti dikarenakan Oh Aij Tjeng telah ditunangkan oleh ayahnya dan perbedaan etnis. Cerita yang disajikan sesuai dengan keadaan saat itu. Novel ini cocok dibaca ketika waktu santai.

Kekurangan Novel
Mungkin karena ini novel terbitan puluhan tahun yang lalu membuat novel ini susah dicari di masa sekarang. Bahasa dan ejaannya sudah berubah dari bentuk aslinya.

Sasaran Novel
Karena isinya termasuk kedalam kategori romance tentu orang yang cocok membacanya adalah remaja, dewasa hingga golongan lanjut usia. Serta sangat cocok bagi para ilmuwan sastra yang ingin meneliti sastra melayu rendah.

HIKAYAT GALUH DIGANTUNG



HIKAYAT GALUH DIGANTUNG

















Disusun Oleh:
1.    Eva Yunita Sari                     13010114130063
2.    Aditya Krisna Bayu              13010114130064
3.    Devi Ayu Anggraeni             13010114130065
4.    Ahmad Ali Fakhruri             13010114130066
5.    Gita Puspitasari                     13010114130067



Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi
Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Diponegoro


Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Analisis Hikayat galuh Digantung dengan baik. Makalah ini dibuat dalam rangka menginventarisasi karya sastra melayu klasik sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Pengkajian Sastra Melayu Klasik.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai contoh-contoh sastra melayu klasik. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah  ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.




22 Oktober 2015








DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Karya sastra merupakan hasil ciptaan atau rekaan yang berasal dari pengalaman, imajinasi, atau cerita dari orang lain. Karya sastra yang baik yaitu sebuah karya sastra yang dapat dinikmati dan memberi manfaat bagi masyarakat maupun pembaca. Sebuah karya sastra dapat diketahui memiliki manfaat atau tidak setelah dilakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut sebaiknya memberikan keyakinan bahwa karya sastra tersebut mengandung manfaat sehingga masyarakat memiliki minat baca dan dapat menikmatinya. Tugas seorang peneliti sastra yaitu menawarkan atau menyuguhkan kepada masyarakat hal-hal yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan dari sebuah karya sastra.
Beberapa anggapan menyatakan bahwa karya sastra klasik Indonesia sukar dinikmati dan kurang bermanfaat. Salah satu penyebab hal tersebut adalah karena karya sastra tersebut terlantar (Robson, 1978:5). Sastra klasik Indonesia belum banyak yang diteliti sehingga masyarakat tidak mengetahui kandungan atau amanat yang termuat dalam karya sastra tersebut. Penelitian yang dilaksanakan selama ini, hasilnya belum memadai. Hal ini karena belum adanya kerangka teori untuk penelitian dan survei sastra Indonesia berdasarkan kategori sastra yang dijabarkan dari sastra itu sendiri (Teew, 1978:85). Para peneliti belum menyadari bahwa karya sastra klasik itu terdapat sesuatu yang bernilai tinggi, yaitu warisan rohani bangsa Indonesia.
Salah satu manfaat yang dapat diambil dalam karya sastra klasik yaitu amanat atau pesan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap klasifikasi Hikayat Galuh Digantung berdasarkan kategori isinya, serta menganalisis Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori struktural dan pragmatik. Karya sastra merupakan sesuatu yang utuh, yaitu suatu karya sastra yang dibangun dengan menggunakan sarana kesastraan yang memadai.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Bagaimana klasifikasi Hikayat Galuh Digantung berdasarkan kategori isi?
1.2.2        Bagaimana analisis Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori struktural?
1.2.3        Bagaimana analisis Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori pragmatik?

1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.3.1        Untuk menginventarisasi karya sastra melayu klasik yang ada di Indonesia.
1.3.2        Untuk mengklasifikasi Hikayat Galuh Digantung berdarkan kategori isi.
1.3.3        Untuk mengidentifikasi Hikayat Galuh Digantung menggunakan teori struktural dan pragmatik.

1.4  Manfaat Penulisan

1.4.1        Untuk mengetahui karya sastra melayu klasik yang ada di Indonesia
1.4.2        Untuk mengetahui isi sejarah dari Hikayat galuh Digantung
1.4.3        Untuk mengetahui hasil teori struktural dan pragmatik dari Hikayat Galuh Digantung

 



BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1   Klasifikasi Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung Berdasarkan Kategori Isi (Sejarah)

a.       Sejarah Silsilah Dewa Nayakesuma
Bangbang Sedaka, seorang dewa yang memerintah di bumi, pada suatu ketika ia kembali ke asalnya (kayangan) sehingga Kerajaan Mayapadi menjadi sunyi. Atas perintah Batara Guru, Batara Nayakesuma dan isterinya turun ke Mayapadi untuk meramaikan kembali Kerajaan Mayapadi. Batara Nayakesuma dikaruniai lima orang anak, empat orang laki-laki dan satu orang perempuan. Keempat anak laki-laki itu dirajakan di Kripan, Daha, Gegelang, dan Singasari. Sedangkan anak perempuan ditempatkan di Panggung Wetan (di daerah Kerajaan Daha). Batara Nayakesuma dan isterinya kembalike kayangan.
Sang Nata Kuripan dikaruniai empat orang anak laki-laki. Dari Permaisuri dikaruniai tiga orang anak laki-laki, yaitu Raden Inu Kertapati, Raden Carang Tinangluh dan Raden Mertaningrat. Dari Paduka Mahadewi dikaruniai satu orang anak laki-laki, yaitu Raden Kertabuana.
Sang Nata Daha dikaruniai empat orang anak, tiga orang anak pereampuan dan satu orang laki-laki. Dari Permaisuri dia dikaruniai satu orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki, yaitu Raden Galuh Canderakirana dan Raden Perbatasari. Dari Paduka Mahadewi dia dikaruniai dua orang anak perempuan, yaitu Raden Galuh Ajeng dan Raden Galuh Uwi.
Sang Nata Gegelang dikaruniai dua orang anak, satu orang perempuan dan satu orang laki-laki, yaitu Raden Galuh Agung dan Raden Sirikan. Sang Nata Singasari dikaruniai satu orang anak perempuan, yaitu Raden Galuh Ratna Juita. Sedangkan Ratu Emas tidak dikaruniai anak.
b.      Sejarah Galuh Digantung
Ratu Bengawan Awan mengirim utusan ke Daha untuk meminang Raden Galuh Canderakirana walaupun ia telah mengetahui bahwa Raden Galuh telah menjadi istri Adipati Tamabakbaya. Selain surat pinangan, Ratu Bengawan Awan mengutus pula Ken Seroja untuk memasang guna-guna terhadap Raden Galuh Canderakirana.
Utusan itu dicaci-maki dan diusir Adipati Tambakbaya. Tetapi guna-guna itu berhasil memperdaya Raden Galuh Canderakirana. Akibat guna-guna dan ditambah pula dengan dorongan Ratu Emas di Panggung Wetan, Raden Galuh mengusir Adipati Tambakbaya secara kasar agar pergi dari Kerajaan Daha.
Setelah diobati oleh Raden Perbatasari, Raden Galuh sadar bahwa suaminya sudah pergi dari Daha karena diusirnya, ia sangat menyesali perbuatan itu.
Raden Galuh Canderakirana melarikan diri dari Daha bersama Ken Bayan dan Ken Sanggit dengan maksud menyusul suaminya. Adipati Tambakbaya telah jauh dari Kerajaan Daha. Pada suatu malam ia beristirahat di bawah sebatang pohon bersama pengawalnya. Sementara Raden Galuh Canderakirana berhari-hari tak pernah berhenti mencari Adipati Tambakbaya, karena terlalu letih berjalan ia tertidur di bawah pohon  randu yang tidak jauh dari tempat Adipati Tambakbaya beristirahat. Adipati Tambakbaya segera melihatnya, ia sangat gembira. Tetapi kegembiraan itu segera lenyap, setelah Adipati Tambakbaya ingat akan apa yang telah Raden Galuh Canderakirana perbuat padanya. Dendam dan kebenciannya meluap sehingga ia memerintahkan pengawalnya (Mertakati dan Mertasari) menggantung Raden Galuh Canderakirana serta dua orang penggiringnya di atas pohon randu itu.

2.2   Analisis Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung berdasarkan Teori Struktural

2.2.1        Tema
            Tema yang tekandung di dalam cerita HGD ialah percintaan dan kepahlawanan. Di dalam cerita tersebut banyak hal yang menyinggung tentang cinta, seperti  cinta Raden Inu Kertapati kepada Raden galuh Canderakirana begitu besar, apapun dilakukan raden Inu untuk mendapatkan Raden Galuh. Sampai setelah menjadi suami istri pun Raden Inu berusaha membahagiakan Raden Galuh. Kisah cinta mereka juga mendapat gangguan dari Ratu Bengawan Awan yang mengirim utusan untuk meminang Raden Galuh Candrakirana, meski Raden Galuh telah menjadi isteri Adipati Tambakbaya (jelmaan Raden Inu Kertapati).
Bukti adanya tema kepahlawanan yang diangkat sebagai tema dalam cerita ini yaitu dengan menghadirkan tokoh-tokoh dalam kerajaan yang membela kerajaannya.
2.2.2        Plot atau Alur
Alur adalah sebuah cerita, sebuah pilihan peristiwa yang disusun berdasarkan waktu (Boulton, di dalam Saad, 1978:16). Alur itu terdiri dari Motive (alasan), akibat, dan hubungannya yang penampilannya tidak hanya melalui peristiwa-peristiwa, tetapi mungkin saja di dalam rangkaian peristiwa (Boulton, di dalam Saad, 1978:16).
Dalam alur HGD, bertolak dari pemikiran bahwa alur itu adalah rangkaian peristiwa yang saling berhubungan. Alur adalah pola yang menghubungkan (Becker, 1978:54).
Dalam Hikayat Galuh Digantung (HGD) dapat dilihat adanya peristiwa-peristiwa yang seolah-olah terlepas atau berdiri sendiri antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain tidak ada hubungan dan tidak berkesinambungan.  Kalau diperhatikan dengan seksama dapatlah diketahui bahwa peristiwa-peristiwa yang terlepas-lepas itu tersusun rapi sehingga keterpisahannya itu tidak begitu menonjol. Hal ini disebabkan oleh adanya alat tertentu yang digunakan sebagai tanda perubahan topik, yaitu ungkapan pembuka dan ungkapan penutup sebuah topik.
Untuk menyatakan perubahan topik cerita di dalam HGD digunakan ungkapan pembuka, yaitu ungkapan yang dimulai dengan kata alkisah, sebermula, atau syahdan yang lansung dirangkaikan dengan frasa .
Di dalam HGD terlihat alat lain yang digunakan untuk membina kesatuan alur, yaitu tokoh dan tempat. Kaitan waktu ditandai dengan kata-kata seperti setelah itu, sudah itu, sesudah itu, telah itu. Dengan mengunakan kata-kata tersebut, waktu belajar maju sehingga tautan peristiwa terlihat jelas. Kaitan tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh tambah yang sedikit sekali berperan, dapat berfungsi sebagai alat penghubung peristiwa serta menimbulkan kelogisan jalan cerita.
Tempat, dapat pula digunakan sebagai alat pembina kesatuan alur. Peristiwa yang seolah-olah tidak ada kaitannya tetapi pertautannya akan terlihat jelas apabila peristiwa-peristiwa itu dihubungkan dengan peristiwa yang mengandung pernyataan tentang tempat yang akan digunakan dalam penyusunan cerita.
Di dalam HGD terdapat dua buah mimpi yang memperlihatkan fungsiya sebagai alat penghubung peristiwa.Mimpi yang pertama adalah mimpi Sang Nata Daha ketika Raden Galuh Candera Kirana menderita sakit keras. Mimpi ini menimbulkan serentetan peristiwa yang saling berkait. Berpangkal dari mimpi ini, Sang Nata Daha mengeluarkan maklumat bahwa barang siapa yang dapat mengambil kembang ganda pura loka itu akan dijadikan suami Raden Galuh Candera Kirana. Mimpi kedua adalah mimpi yang dialami Sang Nata Kuripan ketika Kerajan Kuripan diganggu oleh Sato Sembawa. Mimpi itu merupakan jembatan bagi perjumpaan antara Sang Nata Kuripan dengan anak-anaknya, terutama Raden Inu Kertapati.
Dari seluruh uraian mengenai alur ini dapat ditarik kesimpulan bahwa alur cerita yang terdapat di dalam HGD terbina baik melalui rangkaian peristiwa yang saling berkait sehingga cerita terbentuk secara utuh. Amanat yang terdapat di dalam HGD disampaikan melalui peristiwa yang saling berkaitan itu sehingga mudah ditangkap pembaca. Dengan kata lain, alur cerita telah mendukung penyampaian amanat. Walaupun kisah HGD menggunakan alur yang terlepas-lepas, tetapi dapat dipastikan HGD menggunakan alur maju, karen menceritakan dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.
2.2.3        Penokohan
Di dalam Bab sebelumnya telah dinyatakan bahwa amanat HGD disampaikan melalui perilaku tokoh cerita. Sehubungan dengan itu pembicaraan mengenai penokohan ini bertujuan untuk melihat peran para tokoh dalam penunjang penyampaian amanat.
Untuk menyampaikan amanat cerita, para tokoho dalam HGD dibagi atas dua kelompok besar, yaitu kelompok tokoh protagonis dan kelompok tokoh antagonis. Kedua kelompok itu dipertentangkan. Dalam pertentangan itulah terlihat perilaku tokoh yang menggambarkan amanat. Dalam penggambaran amanat itu, tokoh Raden Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana dijadikan sentral permasalahan. Maksudnya selain kedua tokoh itu memberikan gambaran amanat, semua perilaku tokoh lain yang meberikan gambaran tentang amanat disebabkan oleh dan atau untuk kepentingan kedua tokoh tersebut. Tokoh-tokoh kelompok antagonis mempunyai fungsi yang sama, yaitu menimbulkan masalah yang harus dipecahkan oleh tokoh-tokoh protagonis sehingga gambaran aspek-aspek amanat terlihat jelas.
Tokoh Protagonis
a.       Raden Inu Kertapati
Raden Inu merupakan titisan dewa, namun di dalam HGD dijelaskan  bahwa dia adalah manusia biasa.
Batara Kala merasa kesal karena Raden Inu Kertapati tidak mau menuruti perintahnya untuk datang ke Kerajaan Daha dan tapa yang dijalankannya itu dinyatakan sudah selesai. Batara Kala berkata,
“Baharulah aku melihat manusia keras hati, tiada menurut kata dewa-dewa.” (HGD: 27)
Untuk memperoleh kembang ganda pura loka – obat bagi penyakit Raden Galuh Candera Kirana—Raden Inu harus pergi ke Kayangan Antaboga. Sesampai di tempat itu, Raden Inu diancam oleh binatang buas yang jumlahnya tak terhitung. Dengan tipu muslihatnya, dia dapat mengalahkan binatang itu dan binatang menyerah.
b.      Raden Galuh Canderakirana
Keterangan tentang dia manusia atau bukan, tidak dijelaskan secara langsung. Seperti halnya Raden Inu.
c.       Tokoh-tokoh Pembantu
Tokoh pembantu erat hubungannya dengan penyampaian amanat. Tokoh pembantu yang ditampilkan ialah yang berhubungan banyak dengan Raden Inu dan Raden Galuh. Tokoh yang setia mengikuti Raden Inu dalam pengembaraannya adalah Para kedayannya yang telah mulai dimunculkan sejak Raden Inu lahir. Mereka itu adalah Persanta, Jarudeh Tuah, Kertala, Punta, dan Jarudeh.Mereka ditampilkan dengan tokoh yang lucu, namun pada waktu tertentu memegang penting dalam menunjukkan jalan cerita. Pada bagian awal cerita, terdapat keterangan bahwa para kedayan itu adalah anak para pembesar Kerajaan Kuripan.
Tokoh lain yang banyak juga mebantu Raden Inu dalam menampilkan amanat adalah Raden Kertabuana dan Raden Carang Tinangluh. Kedua tokoh ini sering  memperlihatkan tindakan yang menggambarkan budi luhur. Tetapi hampir semua tindakan yang mereka lakukan itu bermula dari kepentingan Raden Inu Kertapati.
Tokoh Raden Perbatasari adalah tokoh “penengah” antara Raden Inu dan Raden Galuh. Ia mempunyai peranan penting dalam perkembangan kedua tokoh sentral itu untuk melahirkan amanat. Hal ini terlihat jelas pada tindakan Rden Perbatasari ketika menegaskan kepada ayahnya agar menepati janjinya terdapat Adipati Tambakbaya (HGD: 99).
Tokoh-tokoh pembantu Raden Galuh yaitu Ken Bayan, Jen Sanggit dan Ratu Lasem. Ken Bayan dan Ken Sanggit adalah dua orang parekan dayang yang mendampingi Raden Galuh sejak kecil. Ratu Lasem mendampingi Pangeran Kesuma Agung dalam pengembaraannya. Ratu Lasem bertindak sebagai pensihat atau pengarah Pangeran Kesuma Agung.
Hadirnya Ratu Lasem di dekat Pangeran Kesuma Agung mempunyai alasan yang logis. Pangeran Kesuma Agung itu adalah penjelmaan Raden Galuh Candera Kirana yang masih terlalu mudah untuk mengarungi pengembaraan itu.
Tokoh pembantu lain yaitu Raden Galun Ratna Juita atau Raden Galuh Candera Kesuma, Putri tunggal Ratu Singasari. Putri Singasari telah dijadikan perangsang atau alat perantara bagi Raden Galuh untuk menampilkan amanat. Hal ini terlihat jelas di dalam pernyataan Raden Galuh ketika kepadanya diusulkan agar Putri Singasari itu diangkat menjadi Paduka Mahadewi bagi Raden Inu (HGD: 314)
Tokoh Antagonis
Tokoh-tokoh antagonis yang dimaksud adalah (1) Satria enam bersaudara (Medanda, Pengerirama, Pajang, Tumasik, Belantara, dan Nusantara); (2) Kelana Jaladri; (3) Ratu Bengawan Awan; (4) Ratu Mentaun; (5) Ratu Belambangan; dan (6) Ratu Emas di Panggung Wetan.
Di dalam pemecahan masalah itulah banyak terlihat ciri-ciri budi luhur yang tergambar pada perilaku tokoh protagonis. Diantara enam kelompok tokoh antagonis yang disebut, kelompok satria enam bersaudara itu cukup menarik perhatian. Kelompok ini beberapa kali timbul tenggelam di dalam lingkungan tokoh protagonis.
2.2.4        Latar
Latar pada kisah HGD adalah mengambil cerita zaman kerajaan yang dapat diperkirakan berumur puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Misal Kerajaan-kerajaan yang disebutkan adalah Kerajaan Mayapadi, Kayangan, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, Kerajaan Gegelang, Kerajaan Singasari, Panggung Wetan, Pulau Nusasari. Latar suasana yang ada dalam HGD adalah suasana ketradisionalank, kesederhanaan, kebahagiaan, kesedihan, menegangkan, mengharukan. Itu semua dialami baik dari masyarakat kerajaan maupun diluar kerajaan.
2.2.5        Amanat
Berdasarkan pengamatan, amanat HGD disampaikan secara implisit. Amanat itu dilukiskan dengan halus, melalui tingkah laku tokoh, sehingga pembaca tidak merasa digurui atau diajar secara langsung.
HGD bertemakan pengembaraan Raden Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana. Di dalam pengembaraan para tokoh yang bertujuan mencapai kebahagiaan itulah, terlihat perilaku tokoh-tokoh itu yang menggambarkan amanat atau pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa amanat atau pesan yang terkandung di dalam HGD adalah budi luhur selalu akan berjaya dalam mengatasi segala macam kesulitan. Dari rangakian cerita HGD secara keseluruhan, diperoleh petunjuk bahwa budi luhur itu ditandai oleh beberapa faktor antara lian, menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi, cinta kebenaran, adil dan bijaksana, tidak mengharapkan balas jasa atau hadiah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan, dan pengabdian diri. Budi uhur itu tergambar pada tingkah laku tokoh, terutama tokoh Raden Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana, dalam mengatasi penderitaan yang ditemuinya di dalam pengembaraannya.
Tindakan Raden Inu itu menggamabarkan faktor cinta kebenaran. Oleh karena dianggap tidak berguna lagi oleh orang tuanya, maka ia bertkad untuk melarikan diri dari Kuripan.
“Sudah dengan untungku akan menjadi ajar di gunung karena aku tiada digunakan oleh ayahandaku lagi.” (HGD:16)
Raden Inu bertapa; petapaan itu tanpa suci, sumber kebenaraan.
Setelah beberapa lama bertapa, ia diperintahkan oleh Batara Guru pergi ke Daha. Sebelum ia berangakat, Batara Guru menjelmakannya menjadi perempuan yang diberi nama Ken Pengoda Asmara. Kehadirannya ke Daha ini memperlihatkan beberapa aspek  budi luhur. Kerendahan hati atau menjauhkan sifat angkuh dan sombong merupakan salah satu aspek dari faktor menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi. Sang Nata dan Permaisuru maupun Raden Galuh sangat senang kepada Ken karena sopan santun serta kerendahan hatinya. Oleh karena itu Raden Galuh menganggapnya sebagai seorang sahabat karib. Raden Galuh menganjak Ken makan.
Tindakan Raden Galuh ini menggambarkan aspek menghormati dan menyayangi sesama manusia serta tidak membedakan golongan. Aspek ini juga merupakan salah satu ciri dari faktor menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi.
Sepeninggal Ken Pengoda Asmara, Raden Galuh sakit keras. Melalui mimpinya, Sang Nata memperoleh petunjuk bahwa penyakit Raden Galuh itu hanya dapat diobati dengan kembang gandaparu loka yang hanya ada di kayangan. Sang Nata memerintahkan para satria enam bersaudara itu untuk mencari kembang itu. Sang Nata menjanjikan bahwa siapa yang berhasil mendapatkan kembang itu akan dijadikan suami Raden Galuh dan memerintah sejero ning pasar. (HGD:52).
Di pihak lain, Ken Pengoda Asmara telah menyelesaikan teka-tekinya dengan Kelana Jeladri di Gunung Silamancur. Kelana Jeladri telah menjadi dewa kembali. Ken Pengoda Asmara dijelmakannya menjadi laki-laki kembali dengan nama Kuda Waningbaya. Kelana Jeladri memerintahkan Kuda Waningbaya agar segera kembali ke Daha (HGD:51). Sesampai di Daha, atas pertanyaan Sang Nata tentang kesanggupannya untuk mencari kembang ganda pura loka itu.
Jawaban Kuda Waningbaya ini menggambarkan aspek rendah hati. Setelah itu, Sang Nata memerintahkan Raden Perbatasari membawa Kuda Waningbaya ke istananya.
Dari pesan Sang Nata itu, terlihat aspek menghargai dan menghormati sesama manusia yang merupakan salah satu ciri dari faktor menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi.

2.3   Analisis Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung berdasarkan Teori Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Pendekatan ini diciptakan untuk mencapai dan menyampaikan  efek-efek tertentu pada peminat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau pengajaran moral, agama atau pendidikan an efek-efek lainnya. Pendekatan ini berfungsi untuk pendidikan moral, agama, maupun fungsi sosial.
            Dalam cerita HGD ini mengandung efek pengajaran moral, yaitu:
1.    Menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi yang ditandai dengan aspek saling menghormati dan menyayangi sesama manusia, tidak membeda-bedakan golongan atau tingkat/derajat manusia, rendah hati, menjauhkan sifat angkuh dan sombong.
2.    Cinta kebenaran yang ditandai oleh aspek berani berkorban demi hak dan kehoramatan, sesuai dengan perbuatan setia akan janji, bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan, dan selalu berusaha memberantas kelaliman/
3.    Adil dan bijaksana.
4.    Tidak mengaharapkan balas jasa atau hadiah atas pekerjaan yang telah dilakukan.
5.    Pengabdian diri
Dalam cerita HGD ini juga mengandung efek pengajaran agama, yaitu masih ada kepercayaan terhadap dewa-dewa. Dikisahkan Sang Nata Daha dan Sang Nata Kuripan beserta istrinya pergi berkaul ke Pulau Nussari untuk memohon anak kepada para dewa. Sang Nata Daha dan Sang Nata Kuripan berjanji bahwa apabila mereka dikaruniai anak yang berbeda jenis, anak itu akan mereka kawinkan; mereka akan membayar nazar berupa kerbau, sapi, dan kijang masing-masing sejumlah seratus ekor dan bertanduk emas.
Efek kesenangan yang terkandung dalam cerita HGD, yaitu menghibur mereka karena menghadirkan cerita persahabatan dan romantisme. Kisah yang dramatis mencerminkan tingkah laku yang berbudi luhur.
Efek pendidikan yang terkandung di dalam cerita HGD, yaitu menghadirkan tokoh protagonis yang diambil dari lingkungan kerajaan dan digambarkan sebagai manusisa yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Oleh karena itu tingkah lakunya yang membawa mereka ke kehidupan yang bahagia, sehingga dapat dengan mudah dijadiakn sebagai teladan oleh pembaca. Selain itu kisah-kisah kepahlawanan dan percintaan dalam HGD dengan tokoh Raden Inu Kertapati dan Readen Galuh Canderakirana sampai akhirnya memerintah di Kerajaan Kediri, ini dapat dikembangkan menjadi bahan ajar pendidikan formal dan nonformal, bahkan sebagai bahan baku industri budaya. Cerita-cerita yang terkain juga banyakmengajarkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam.


BAB III

 

3.1 Kesimpulan

            Karya sastra merupakan hasil ciptaan atau rekaan yang berasal dari pengalaman, imajinasi, atau cerita dari orang lain. Hikayat Galuh Digantung ini, bersifat istana sentris karena cerita HGD ini banyak sekali menceritakan kehidupan di lingkungan Kerajaan.
Dengan menelaah isi cerita HGD, dapat ditemukan sejarah masa lampau dan peristiwa-peristiwa yang kini menjadi bahan ajar bagai dunia pendidikan, baik itu Cerita Panjinya maupun nasiha-nasihat yang diterapkan hingga sekarang.
 Dengan menganalisis HGD menggunakan teri struktural. Dapat diketahui tokoh utama yang sangat dominan adalah Raden Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana. Sehingga dapat ditentukan temanya adalah “percintaan dan kepahlawana”. Untuk menyatakan amanat, kedua tokoh tersebut sangat berpengaruh sebagai pusat permasalahan.Di gambarkan kedua tokoh itu adalah manusia paling sempurna, keduanya mencerminkan tingkah laku keluhuran budi. Untuk menonjolkan keluhuran udi tersebut, dimunculkan tokoh antagonis.
Dengan menelaah HGD menggunakan teori pragmatik. Dapat diketahui bahwa HGD memiliki manfaat bagi pembacanya yaitu diantaranya sebagai hiburan, memberikan pengajaran moral, pendidikan, dan pengajaran agama.
            Dari seluruh uraian tersebut, kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca, supaya lebih mengetahui apa itu hikayat, menghargai dan menapresiasi karya satra melayu terdahulu. Sehingga kita juga ikut berkontribusi dalam melestarikan suatu karya sastra melayu klasik.

DAFTAR PUSTAKA


                                               

 

Hasjim, N. (1984). Hikayat Galuh Digantung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiaran Yang Terlupakan. Surabaya: Hiski.




 

LAMPIRAN


A.    Sumber Data
Data diambil dari naskah Hikayat Galuh Digantung. Naskah yang bernomor ML.513 tersimpan di Museum Pusat, Jakarta. Sepanjang diketahui naskah itu belum pernah diterbitkan dan merupakan naskah tunggal menurut catatan yang ada di Museum Pusat,Jakarta, naskah tersebut belum dapat dirunut dari mana dan bagaimana cara memperoleh nya. Di dalam katalog yang disusun oleh R.M. Ng Dr.Poerbatjaraka. Dr. P Voorhoeve dan Dr. C.Hooykaas. 1950. Indonesische Handschriften, Bandung: A.C Nix & Co. Pada halaman 180 terdapat penjelasan singkat tentang naskah ini. Keterangan itu menyebut kan bahwa naskah ini pernah dibicarakan dalam majalah jawa. Jrg—12—1932 Halaman 209-228. Ulasan “Java in Malaische literatuur (Hikayat—Galoeh—Digantoeng)” ditulis oleh H.Overbeck. Pada akhir tulisan tersebut di tuliskan mengenai bagian naskah HGD, antara lain,
“. . .  menurut pendahuluan nya yang berupa syair, naskah ini ditulis pada tahun A.H 1283 ( A.D 1866), dan menurur penutup nya pada tahun A.H 1300(A.D 1882) di palembang. Selama tidak diketahui cerita-cerita Panji maka sukarlah menentukan apakah Hikayat Galuh Digantung merupakan terjemahan naskah asli dari jawa atau merupakan cerita fantasi yang berasal dari cerita Melayu yang bersumber pada cerita Panji. . . Didalam cerita Hikayat Galuh Digantung terdapat kata Jawa, terutama dalam pertunjukkan di yang bermain di dalam istana, dalam melukiskan pesta,pakaian, dan lain sebagainya. Juga teka-teki Kelana Jaladri dan wawangsalan Ken Pagoda Asmara yang dituliskan kedalam bahasa Jawa. Perpaduan mungkin berasal dari penulis itu sendiri. Beberapa ungkapan misalnya “salah gawe’ merupakan ungkapan asli Palembang. Tetapi bagi para dalang “yang empunya cerita” ini sedikit banyak mengetahui bahasa Jawa.” (Didalam majalah Jawa 1932:217)
Selain itu , HGD ini tercatat pula pada Katalog Naskah-Naskah Lama  Simpanan Muzium Pusat,Jakarta yang disusun oleh Jazamuddin,Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1969. Katalog ini tidak banyak membahas mengenai naskah HGD. Keterangan yang agak lengkap mengenai naskah HGD dapat disampaikan sebagai berikut :
Nomor Naskah            : ML.513 Museum Pusat Jakarta.
 Ukuran Naskah          : 33 ½ x 21 cm., 26 Baris, dan 367 Halaman
Tulisan Naskah            : Arab Melayu,baik dan jelas, huruf kecil-kecil, ditulis dengan                                  tunta hitam
Keadaan kertas           : kertas yang digunakan kertas  SMITH&FIUME. Kertasnya                                   masih baik tetapi ada beberapa halaman yang rusak.
Kolofon                       : didalam pendahuluan berupa syair, terdapat keterangan bahwa                              naskah ditulis pada tanggal 27 safar 1283 hijriah atau 1866                                      Masehi .tetapi di bagian akhir terdapat pula penjelasan yang                            mengatakan naskah tersebut selesai pada tanggal 1 syakban                                   1300 hijriah atau         pada tahun 1882 masehi di palembang.                                  (kedua angka ini perlu dapat perhatian lebih lanjut) pada                                          halaman kosong di akhir ada keterangan yang ditulis dengan                              huruf latin :
                                    “Saja Kemas Abdulhamid bin Kemas Hasan iang Poenja Ini                                    Kampoeng 7 oeloe.”
Catatan Lain   : Pada lembar kedua dari muka, terdapat tulisan latin: Galoh                                    digantung dan beberapa catatan mengenai syarat peminjaman.                          Naskah ini di isi dengan puisi (pantun dan syair) sebanyak                                                empat halaman, setelah itu barulah bentuk tubuh hikayat. Puisi                                    itu antara lain berisi syarat peminjaman dan cara menggunakan                               naskah  (misalnya jangan membaca dekat pelita, kalau-kalau                                    kena minyak).
Untuk memudahkan pencarian naskah tersebut di transliterasikan ke dalam bahasa Latin. Naskah tersebut di transliterasikan jadi bahasa Latin yang berisi 466 halaman ketras kuarto.
Didalam HGD terdapat kata-kata dalam bahasa Jawa misalnya , kedayan(piring, atau pelayan) kampu ( sejenis ikat pinggang) , mendak ( semacam berlutut ), Dan lain sebagainya.


B.     Sisilah keturunan Sang Nata
Sang Nata Kuripan
Permaisuri
Paduka Mahadewi
Sang Nata Daha
Permaisuri
Paduka Mahadewi
Ratu Emas di Panggung Wetan
Sang Nata Gegelang
Permaisuri
Sang Nata Singasari
Permaisuri
Batara Naraya



Batara Nayakesuma
Istrinya
Text Box: Raden inu KertapatiText Box: Raden CarangText Box: Raden MertaningratText Box: Raden kertabuanaText Box: Raden Galuh CanderakiranaText Box: Raden perbatasariText Box: Raden Galuh AjengText Box: Raden Galuh UwiText Box: Raden Galuh AgungText Box: Raden SrikanText Box: Raden Galuh Ratna Jufta