Jumat, 15 September 2017

Sunyi



Kesunyian mengajarkanku apa arti sebuah kata
Diam yang tercipta
Melambangkan sebuah makna
Tak ada lukisan
Tak ada gambaran
Sebuah siluet yang ada
Termenung menatap sang angan
Dalam setiap lekukan
Sang symponi merangai irama
Mendayu-dayu lincah
Perlahan bergeser kencang
Hening
Sunyi menyapa
Setiap kehampaan

GPs

13092017

Masalah Naskah – Teks

Gita Puspitasari
13010114130067
Sastra Indonesia, SMT 1
Kelompok B

Filologi berusaha mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks klasik dapat dibaca dalam peninggalan berupa tulisan yang disebut naskah. Dalam filologi, teks menunjukan pengertian sebagai suatu yang bastrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkrit. Oleh karena itu, pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filologi mempunyai objek dan sasaran kerja berupa naskah dan teks.
Objek kajian filologi ini, yaitu naskah beserta seluk beluknya dan teks beserta seluk beluknya akan  diuraikan pada bagian ini sebagai berikut:
Masalah Naskah – Teks
A.    Naskah
1.      Pengertian Naskah
Edwar Jamaris dalam bukunya mengungkapkan bahwa naskah adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan.
Dalam bahasa latin, naskah disebut codex, dalam bahasa Inggris naskah disebut manuscript, dan dalam bahasa Belanda disebut handscrift.
Menurut Elis dalam bukunya menyebutkan bahwa yang disebut naskah ‘hanscrift’ dengan singkatan hs untuk tunggal, dan hss untuk jamak; manuscrift dengan singkatan ms untuk tunggal, dan mss untuk jamak. Dengan demikian naskah merupakan benda konkrit yang dapat dilihat atau dipegang, sedangkan yang dimaksud dengan teks ialah kandungan atau isi dari naskah yang bersifat abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Jadi semakin jelas bahwa naskah merupakan sesuatu yang kongkrit. Artinya naskah berbentuk benda konkrit yang dapat terlihat secara nyata dan dapat dipegang.
Ilmu yang khusus mempelajari naskah disebut kodikologi. Kodikologi merupakan ilmu bagian dari filologi. Jika filologi mengkaji naskah dan teks, maka kodikologi kajiannya lebih sempit, yaitu hanya membahas naskah.
2.      Perbedaan Naskah dengan Prasasti
Ketika mengunjungi museum, biasanya kita mendapati atau melihat batu-batu peninggalan nenek moyang atau biasa disebut prasasti. Pada batu-batu itu biasanya terdapat tulisan-tulisan yang menggunakan aksara kuno. Sekilas kita bias saja menganggap itu merupakan jenis naskah karena terdapat tulisan-tulisan itu. Tetapi hal itu tidak benar, karena batu yang memiliki tulisan disebut piagam , batu tersurat atau inskripsi.
Ilmu yang mempelajarinya pun berbeda dengan ilmu yang mempelajari naskah. Ilmu yang mempelajari tulisan pada batu disebut epigrafi. Epigrafi merupakan bagian dari ilmu arkeologi. Sedangkan ilmu yang mempelajari naskah adalah filologi.
Ada beberapa perbedaan antara naskah dengan prasasti. Baik naskah maupun prasasti, kedua-duanya ditulis dengan tangan. Antara kedua-keduanya dapat dicatat beberapa perbedaan, yaitu:
1.      Naskah pada umumnya berupa buku atau bahan tulisan tangan. Prasasti berupa tulisan tangan pada batu (andesit, berporus, batu putih), batu bata, logam (emas, perak, tembaga), gerabah, marmer, kayu dan lontar.
2.      Naskah pada umumnya panjang, karena memuat cerita lengkap. Prasasti pada umumnya pendek, karena hanya memuat soal-soal yang ringkas saja, misalnya pemberitahuan resmi mengenai pendirian bangunan suci, doa’doa suci penolak rintangan karma dan segala kejahatan, ketentuan, dan penyelesaian hokum, asal-usul raja dari dewa, (Airlangga dari dewa Wisnu dalam prasasti Kalkuta), asal-usul suatu dinasti, atau ada kalanya hanya memuat nama orang atau nama jabatan saja.
3.      Naskah pada umumnya anonim dan tidak berangka tahun, sedangkan prasasti sering menyebut nama penulisnya dan adakalanya juga memuat angka tahun yang ditulis dengan angka atau sengkalan (candrasangkala).
4.      Naskah berjumlah banyak, karena disalin. Sedangkan prasasti tidak disalin-salin sehingga jumlahnya relative sedikit atau hanya kurang-lebih 500 buah prasasti.
5.      Naskah yang paling tua Tjandra Kirana  (dalam bahasa Jawa Kuna) berasal kira-kira dari abad ke-8, sedangkan prasasti yang paling tua berasal kira-kira dari abad ke-4 (prasasti Kutai).
3. Kodikologi
Yang dimaksud dengan kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks itu sendiri merupakan bahan tulisan tangan, atau menurut The new Oxford Dictionary (1982); manuscrift volume, eps. Of ancient texts gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks klasik. Kodikologi mempelajari seluk beluk atau semua aspek naskah, anatara lain: bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulisan naskah.
            Setelah seni cetak ditemukan, kodeks berubah arti menjadi buku tertulis. Kodeks pada hakikatnya berbeda dengan naskah. Kodeks adalah buku yang tersedia untuk umum yang hampir selalu didahului oleh sebuah naskah. Kodeks mempunyai nilai dan fungsi yang sama dengan buku tercetak sekarang.

            Melalui skema dapat digambarkan:
   Konsep

Teks bersih (naskah)

Kodeks

Konsep

Teks bersih

Cetakan
Teks bersih yang ditulis pengarang disebut otograf, sedangkan salinan bersih pleh orang-orang lain disebut apografi.
Sebagaimana yang dikutip oleh Mulyani yang kemudian dikutip lagi oleh Nabilah kodikologi (codicologie) dipelopori oleh seorang ahli bahasa Yunani. Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superienre Paris pada bulan februari 1994. Istilah ini baru dikenal pada tahun 1949 ketika karyanya Les Manuscript diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun yang sama. Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis didalam naskah.
Tugas atau ruang lingkup kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
4.      Bahan Naskah
Beberapa ratus abad silam teknologi masih sangat sederhana, tidak secanggih seperti sekarang. Sekarang kita bisa menulis dengan mudah karena banyak sekali alat dan bahannya. Kita bisa menulis menggunakan bahan kertas, computer, ataupun menggunakan alat yang lebih canggih lainnya.
Tetapi sangat bertolak belakang dengan nenek moyang kita dimasa lampau. Untuk menuangkan ide pada tulisan, mereka menggunakan bahan-bahan yang apabila kita gunakan saat ini maka kita akan merasa kesulitan untuk melakukannya. Walaupun pada zaman dahulu sudah ada yang menggunakan kertas, tetapi jumlahnya masih sedikit. Karena hanya negara-negara tertentu yang sudah bisa menghasilkan kertas, sehingga untuk mendapatkan kertas harus terlebih dahulu mengimpor dari negara lain.
Kertas merupakan salah satu kemajuan peradaban umat manusia, semua sumner sejarah memastikan bahwa kertas merupakan ciptaan seorang Cina bernama T’sai Lun, seorang menteri pada zaman pemerintahan Kaisar Wu Di dari dinasti Han pada tahun 105 M. dia menggunakan materi dasar yang lebih murah  dalam pembuatan kertas, seperti ampas buram, kapas, kulit tanaman, bekas jala yang using, dan sebagainya. Sehingga merupakan sebuah penemuan yang sangat berarti dalam sejarah. Sebelumnya kertas dibuat dari percak potongan sutra yang direndam lalu dijadikan sebagai adonan, lalu digiling dan diratakan untuk dipakai sebahai tulisan. Disamping mahal, kertas sutra itu tidak tahan lama.
Kertas Cina penemuan T’sai Lun mulai diproduksi didaerah Hunan sekitar 500 km utara Canton dan meluas penggunaannya di negeri Cina, kemudian di Korean dan di Jepang pada abad ke-7,  kemudian menuju ke Amerika kecil, Persia, dan negara-negara Timur Tengah sesuai dengan jalur perdagangan kafilah-kafilah.
Adapun pembuatan kertas di dunia islam terjadi ketika pada abad ke 8 Masehi terjadi peperangan antara pasukan Cina dan seorang Gubernur muslim bernama Ziad Bin Shaleh di Samarkand. Akibatnya sejumlah orang Cina ditawan dalam peperangan yang dimenangkan oleh pasukan muslim Samarkand. Diantara tawanan yang berjumlah 20.000itu terdapat orang-orang yang ahli dalam pembuatan kertas Cina, yang kemudian menjadi komoditi penting untuk di ekspor ke negara-negara lain. termasuk Eropa. Kertas yang paling tertua produksi Samarkand , yang dikenal dengan kertas Khurasan.
Bangsa Arab mengembangkan industry kertas dan makin baik kualitasnya. Pada abad ke 14 H, makin banyak pabrik yang tersebar di pusat-pusat pengembangan keislaman seperti di Damaskus, Telris, Kairo, dan Maroko serta Spanyol.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk menuliskan naskah  selain kertas pada masa lampau antara lain adalah, lontar, kulit kayu dan rotan.
Di Indonesia, bahan naskah untuk Jawa kuna sebagai mana disebutkan oleh Zoetmulder (Kalangwang, 1974) yang dikutip oleh Elis Suryani  adalah karas, semacam papan atau batu tulis yang diduga oleh Robson hanya di pakai untuk sementara; Naskah Jawa memakai lontar (ron tal ‘daun tal’ _atau daun siwalan), dan daluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, bambu, dan rotan. Sedangkan naskah Sunda memakai lontar, saeh, daluang, dan kertas, kertas Eropa yang didatangkan dari Eropa menggantikan dluang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah Indonesia.
5.      Tempat Penyimpanan Naskah
Tempat penyimpanan naskah Nusantara tersebar disebagian daerah di Indonesia, ada juga yang tersimpan di Mancanegara. Naskah biasanya disimpan diberbagai katalog di perpusatakaan dan museum yang terdapat diberbagai negara. Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks nusantara pada saat ini sebagian tersimpan di museum-museum di 26 negara, yaitu di Malaysia, Singapura, Brunei, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman Timur, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swis, Denmark, Norwegia, Polandia, Cekoslowakia, Spanyol, Italia, Perancis, dan Belgia. Sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi perseorangan, misalnya naskah Melayu, Aceh, Jawa, dan Sunda.

B.     Teks
Teks merupakan salah satu dari objek kajian filologi. Untuk lebih jelasknya akan dibahas pengertian teks dan seluk beluknya sebagai berikut:
1.      Pengertian Teks
Objek kajian filologi selain naskah adalah teks. Teks adalah isi yang terkandung dalam naskah. Teks terdiri atas dua bagian, yaitu isi dan bentuk. Didalam isi terkandung ide tau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penulis kepada pembaca. Sedangkan bentuk berisi muatan cerita yang hendak dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan.
Nabilah dalam bukunya mengungkapkan bahwa teks adalah bagian utama sebuah naskah atau buku, tidak termasuk didalamnya catatan kaki, lampiran, bibliografi, indeks dan sebagainya.
Penelitian filologi yang berfokus pada teks disebut kritik teks (textual criticsm) atau tekstologi (textologi). Sedangkan penelitian yang berfokus pada naskahnya atau bahan yang digunakan untuk menuliskan teks itu disebut kodekologi.

2.      Tekstologi
Tektologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk teks, yang antara lain meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Sebagai pegangan yang berguna sekali adalah sepuluh prinsip Lichacev  untuk penelitian tekstologi karya-karya monumental sastra lama Rusia. Dalam ruang lingkup terbatas, prinsip-prinsip tersebut hanyalah disebutkan saja tanpa keterangan lebih lanjut.
a.      Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu karya sastra. Salah satu diantara penerapannya yang praktis adalah edisi ilmiah yang bersangkutan.
b.      Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingannya.
c.       Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
d.     Tidak ada kenyataan tekstologi tanpa penjelasannya.
e.      Secara metodis perubahan yang diadakan secara sadar dalam sebuah teks (perubahan ideologis, artistik, psikologis, dan lain-lain) harus didahulukan daripada perubahan mekanis, misalnya kekeliruan tidak sadar oleh seorang penyalin.
f.        Teks harus diteliti sebagai keseluruhan (prinsip kekompleksan pada penelitian teks). Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks (dalam naskah ) harus diikut sertakan  dalam penelitian.
g.      Perlu diteliti pemantauan sejarah teks sebuah karya dalam teks-teks dan monument sastra lain.
h.      Pekerjaan seorang penyalin dan kegiatan skriptoria-skriptoria (sanggar penelitian/ penyalinan ; biara, madrasah) tertentu harus diteliti secara menyeluruh.
i.        Rekonstruksi teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan dalam naskah-naskah. (Baried, 1985: 57).
3.      Terjadinya Teks
Berkaitan dengan masalah teks, jarang ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurnanya sekaligus jelas dan tersedia. Menurut de Haan (dalam Baried, 1985: 57-58), mengenai terjadinya teks ada beberapa kemungkinan:
1.      Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita. Turun temurun secara terpisah, yang satu dari lain melalui dikte, apabila orang ingin memiliki teks itu sendiri. Tiap kali teks diturunkan dapat terjadi variasi. Perbedaan teks adalah bukti bukti pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup pengarang.
2.      Aslinya teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicuri, terjadilah cabang tradisi kedua atau ketiga, disamping yang telah ada karena varian-varian membawa cerita dimasukan.
3.      Aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya, karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urutan-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literature itu.
4.      Isi Teks
Isi naskah pada teks sangat beragam. Ada yang sebetulnya tidak dapat digolongkan pada karya sastra, seperti undang-undang, adat-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara-cara membuat rumah. Sebagian besar isi naskah dapat digolongkan dalam pengertian khusus, seperti cerita-cerita dongeng, legenda, pantun, syair, dan gurindam. Itulah sebabnya pengertian filologi diidentikan dengan sastra lama.
5.      Aksara,   Bahasa, dan bentuk  teks
Keberagaman naskah tidak hanya dari segi isinya, tetapi juga dari segi aksara, bahasa dan bentuknya. Naskah nusantara ditulis dalam berbagai aksara, ada aksara Bali, Jawa, Sunda, Jawi (Arab-Melayu), Pegon, Bugis, Makasar, Karo, Mandailing, Rejang, Toba, Lampung, dan Kerinci.
Demikian pula bahasa yang digunakan. Naskah Nusantara ditulis dalam berbagai bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Bugis, makasar, Banjar, dan Wolio.
Dari segi bentuk, naskah-naskah Nusantara teksnya ada yang berbentuk prosa, prosa berirama puisi, dan drama. Menurut Nabilah dalam bukunya bahwa bentuk teks berisi muatan cerita atau pelajaran Yng hendak dibaca atau dipelajari menurut berbagai pendekatan, melalui alur, perwatakan, gaya, dan lain sebagainya.




Sejarah Perkembangan Filologi

Gita Puspitasari
13010114130067
Sastra Indonesia, SMT 1
Kelompok B

Sejarah Perkembangan Filologi
            Kebudayaan Yunani lama merupakan salah satu dasar pemikiran yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya. Di antara banyak cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek kebudayaan Yunani lama adalah ilmu filologi. Ilmu filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk menyajikan kebudayaan Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.

Filologi di Eropa
a.       Awal pertumbuhannya
Awal kegiatan filologi dilakukan di kota Alexandria oleh bangsa Yunani pada abad ke-3 SM. Para sarjana Yunani yang bekerja di perpustakaan Museum bertugas menangani buku-buku yang masuk ke perpustakaan. Bentuk buku waktu itu masih berupa gulungan-gulungan papirus. Naskah-naskah yang masuk ke perpustakaan ternyata banyak mengandung kesalahan. Oleh sebab itu, para cendekiawan berupaya membangun teks standar, terutama teks Homer, untuk dijadikan acuan utama. Kebutuhan untuk membuat teks standar ini mengilhami para cendekiawan Alexandria mendefinisikan dan menga-plikasikan kecendikiaan susastra lebih sistematis. Mereka berhasil menciptakan tanda-tanda kritik pada naskah. Selain itu, mereka juga memberikan komentar-komentar pada tepi naskah.Kegiatan ini, yang menggunakan tanda-tanda kritik dan komentar, yang kemudian dikenal  sebagai ilmu filologi. Metode taraf awal ini kemudian berkembang dari abad ke abad. Untuk memberi komentar pada naskah diperlukan pengetahuan yang memadai. Oleh sebab itu, para ahli filologi awal ini menguasai ilmu dan kebudayaan Yunani Kuno.
Kegiatan filologi ini selain untuk menggali ilmu pengetahuan Yunani lama juga diarahkan untuk kegiatan perdagangan. Penyalinan-penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh budak belian. Dengan cara ini mudah sekali terjadi keslaahan-kesalahan tulis yang mengakibatkan penyimpangan-penyimpangan teks. Tugas para filolog kemudian adalah menjaga kemurnian teks-teks yang beredar dengan setiap kali melakukan perbaikan sejauh dapat dilakukan.
Sampai jatuhnya Alexandria ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM. kegiatan filologi di Alexandria masih ramai karena banyak yang berminat pada bidang ini. Sesudah Alexandria jatuh ke dalam kekuasaan Romawi kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatan. Pusat kegiatannya di kota Roma dan melanjutkan tradisi filologi Yunani atau meneruskan mazab Alexandria. Kegiatan ini berlanjut sampai pecahnya Kerajaan Romawi pada abad 4 menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa ini mempengaruhi perkembangan filologi di kemudian hari.
b.      Filologi Romawi Barat
Filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah-naskah kuno berbahasa Latin. Banyak naskah yang baik dari abad 4 dan 5 bertahan terus walaupunpun sangat sering hanya dalam bentuk fragmen saja. Ini menunjukkan bahwa di tahun 500, setidaknya di Italia, masih diperoleh salinan dari pengarang-pengarang Latin. Naskah-naskah itu kebanyakan disimpan dalam biara.
Cassiodorus yang mendirikan biara Vivarium pada tahun 540 mengadakan penyalinan naskah. Dia menyadari perlunya menerjemahkan otoritas Yunani, filsafatnya, dan ilmunya ke dalam bahasa Latin. Pengarang-pengarang pagan menemukan tempatnya dalam sistem pendidikan Cassiodorus. Namun, setelah pendidikan kristen menemukan bentuknya, hasil tulisan yang bersifat pagan disingkirkan dari sistem pendidikan kristen.
Kristenisasi berlangsung di Eropa sejak akhir abad 5. Irlandia berperan penting dalam peradaban Eropa. Di sana tersimpan teks-teks Latin. Orang Irlandia juga memiliki keahlian artistik dalam menulis. Ketika kebudayaan Irlandia memasuki Inggris Utara, mulailah pengaruh agama Kristen di Inggris (Anglo-Saxon). Kebudayaan Anglo-Saxon menghasilkan sejumlah buku dari segala jenis. Dari Inggris ini kristen kemudian menyebar ke Eropa (daratan) dan kegiatan filologi tidak lepas dari telaah naskah-naskah keagamaan oleh para pendeta. Akibatnya naskah-naskah Yunani ditinggalkan.
Pada masa perkembangan agama kristen ini muncul dua jenis huruf kaligrafi kecil (minuscule script) dan huruf setengah besar (half-uncial). Huruf kecil tersebut antara lain Visigothic di Spanyol, huruf Beneventam di Italia Selatan, dan Merovingian di Gaul. Huruf kecil yang terkenal kemudian adalah Caroline. Perkembangan filologi di Roma Barat ini nantinya bermuara pada renaisan. Satu hal yang perlu dicatat adalah berkembangnya agama Kristen telah mengakibatkan teks Yunani Kuna ditinggalkan.
c.       Filologi Romawi Timur
Meskipun secara umum teks-teks Yunani mulai ditinggalkan di Romawi Barat, namun di Romawi Timur tradisi Yunani Kuno masih berlangsung. Studi teks Yunani ini ada di Alexandria, Antiochia, Athena, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Alexandria mengkaji karya-karya Aristoteles mengenai filsafatnya dan di Beirut menekankan bidang hukum. Studi klasik dan pidato dilanjutkan dalam sekolah-sekolah dan perhatian khusus diberikan kepada pengolahan sastra Attic dalam bentuk prosa. Pengolahan ini untuk menunjang pengembangan retorika. Berkembangnya retorika ini mengakibatkan pendidikan sastra terbengkelai.
Sumbangan besar dari peride Romawi Timur ini adalah munculnya scholia. Scholia adalah komentar-komentar terhadap karya-karya kuna yang dituliskan pada bagian tepi sebuah teks. Ide ini muncul karena naskah pada waktu itu sudah berbentuk buku (codex). Dalam hal ini perlu dicatat sumbangan Procopius dari Gaza yang menemukan bentuk sastra yang disebut catena. Bentuk catena ini mirip scholia, berisi komentar, tafsiran, pendapat, serta argumen yang tercantum pada sebuah buku, khususnya bible.
Secara umum kegiatan membaca dan menyalin teks di Romawi Timur ini mengalami kemunduran mulai abad ke-4 sampai dengan abad ke-6. Sedikit sekali yang dapat dicatat mengenai kegiatan pendidikan dan studi klasik. Situasi ini kembali membaik ketika memasuki era renaisans.
d.      Filologi pada Zaman Reinassance
Renaisans berawal pada pertengahan abad 9. Banyak kemajuan di bidang ilmu yang dicapai di Romawi Timur. Universitas dibangun kembali. Tokoh-tokoh yang terkenal adalah Leo seorang filsuf dan ahli matematika, Theodore seorang ahli geometri, Theodesius ahli astronomi, dan Cometus ahli sastra sekaligus ahli retorika dan Atisisme.
Pada zaman ini tradisi penyalinan teks dikembangkan lagi. Teks selain ditulis pada papirus juga ditulis di atas perkamen. Para ilmuwan abad 9 bergairah menerjemahkan buku-buku kuno ke dalam bentuk baru. Dalam tradisi penyalinan ini tak jarang terjadi kesalahan tulis. Kesalahan ini diakibatkan oleh salah baca karena huruf yang disalin tidak jelas. Diperkirakan para sarjana sering kali membanding-bandingkan salinan naskah yang mereka miliki dengan naskah orang lain pada waktu membaca. Hasil perbandingan ini, bila ada perbedaan, mereka tuliskan dalam bentuk komentar di atas baris tulisan. Akibatnya, naskah menjadi kotor dan tercemar. Sehubungan dengan hal itu dapat digambarkan betapa sulitnya usaha merekonstruksi teks yang terbebas dari kesalahan agar mendekati teks aslinya.
Universitas Bardas pada masa ini telah menjadi pusat kelompok sarjana yang memiliki perhatian untuk menemukan kembali dan menyebarluaskan teks-teks klasik. Teks-teks sastra disalin secara teratur dan karya-karya dalam bidang teknik, matematika, dan medis banyak dipelajari. Naskah-naskah yang banyak dihasilkan pada masa ini terlestarikan berkat adanya perdagangan buku. Hal ini menguntungkan usaha pelestarian teks-teks klasik tersebut.
Tampaknya tradisi ilmu pengetahuan yang berkembang di Byzantium (Romawi Timur) ini dicontoh dan menjadi model kaum Humanis di Italia. Renaisans di Italia berawal pada abad 13. Kelompok humanis di Padua di bawah pimpinan Lovato Lovati (1241-1309). Lovata tertarik pada puisi klasik. Karyanya banyak menarik minat orang. Meskipun dia tidak begitu besar dalam kepenyairannya namun ada bekas kerja kreatifnya tentang karya-karya klasik. Tokoh berikutnya adalah Geremia de Montagnone (1255-1321) yang semula tidak tertarik pada sastra. Kemudian Alberto Mussanto (1261-1329). Verona yang dianggap oleh Padua sebagai saingan membantu perkembangan humanisme melalui Chapter Library. Keseluruhan perkembangan di Padua dan Verona ini dikenal sebagai prahumanis.
Humanisme sesungguhnya dimulai oleh Petrarch (1304-1374). Dia berpandangan luas dan pengaruhnya tidak terbatas. Budaya-budaya kuna banyak diwarisinya dan kemu-dian diungkap kembali disesuaikan dengan waktu itu. Pada saat ini pula Cicero muncul.
Tokoh-tokoh humanis lainnya kemudian adalah Boccaccio (1313-1375), Colucio Salutati (1331-1406), Pogio Bracciolini (1380-1459), Flavio Biondi (1392-1463), Lorenzo Valla (1407-1457), Angelo Poliziano (1454-1494), dan Politian.
Penemuan kembali kesusastraan kuna terjadi pada masa Pogio Bracciolini. Arus penemuan itu sangat kuat melalui renaisans semenjak masa prahumanisme. Penemuan di luar bidang sastra adalah dalam bidang ilmu dan teknik serta pemahaman yang lebih lengkap terhadap peninggalan klasik. Srudi arkeologi, numismatik. dan studi institusi-institusi berkembang pada masa ini.
Pada tahun 1453 Romawi Timur dikalahkan oleh Turki. Banyak pengungsi yang sarjana lari ke Romawi Barat dan di sana menimbulkan kebangkitan pengetahuan Latin. Gilirannya hal ini menimbulkan keinginan untuk mempelajari para penulis Yunani.
Tokoh terakhir humanisme adalah Erasmus (1469-1536). Dia dikenal pertama kali lewat tulisannya tentang peribahasa yang edisi pertamanya dilengkapi dengan komentar. Pada waktu kemudian dia bertemu dengan Aldus dan menerbitkan edisi pertama teks Yunani Kitab Suci Perjanjian Baru tahun 1516. Sumbangan terbesar bagi renaisans dari Erasmus adalah perannya sebagai editor yang menerbitkan karya-karya kuna disertai dengan metode kritiknya.
e.       Filologi di Kawasan Timur Tengah
Sejak abad ke-4 kota di Timur Tengah memiliki pusat studi yang diberi nama Bait al-Hikmah (Lembaga Kebijaksanaan) berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza, Belrut, Edessa, dan Antioch. Abad ke-5 dilannda perpecahan gerejani maka para ahli filologi berpindah ke kawasan Persia. Dalam lembaga ini naskah Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syria dan bahasa Arab. Kota Harra di Mesopotamia pernah menjadi pusat studi naskah Yunani, penduduknya yaitu Sabean, suku yang tergolong kuno dan mahir dalam bahasa Arab.
Zaman dinasi Abasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754-775), Harun Alrasyid (786- 775), dan Makmun (809-833). Puncak perkembangan ilmu pengetahuan Yunani ada dalam pemerintahan Makmun.
Sebelum kedatangan agama Islam, Persia dan Arab memiliki karya yang terbilang mengagumkan misalnya Mu’allaqat dan Qasidah. Kegiatan ini meluas ke kawasan luar Negara Arab setelah Islam berkembang serta mistik Islam berkembang dengan maju di Persia, abad ke-10 hingga abad ke-11. Meluasnya kekuasaan dinasti Umayah ke Spanyol dan Andalusia pada abad ke-8 hingga abad ke-15 menyebabkan ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap oleh bangsa Arab kembali masuk ke Eropa dengan baju Islam. Pada abad ke-17 telaah teks klasik Arab dan Persia di Eropa telah dipandang mantap, di Cambridge dan Oxford. Dan pada abad ke-18 didirikan pusat studi kebudayaan ketimuran oleh Sivester de Sacy dengan nama Ecole des Langues Orientales Vivantes. Sehingga lahirlah ahli orientalis Eropa, yaitu Etienne Qutremere (1782-1857), De Slane, De Sacy (bapak para orientalis di Eropa).
f.       Filologi di India
India ialah bangsa yang dipandang memiliki peradaban tinggi. Diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki cukup dokumen peninggalan lampau seperti prasasti dan naskah-naskah. Telaah filologi di India diperkenalkan oleh sarjana Eropa (bangsa Belanda). Gubernur Jenderal W. Hansting menyusun kitab hukum berdasarkan naskah kuno bangsa India (1776). Pada tahun 1784 sebuah wadah kegiatan filologi didirikan di Bengal dengan nama The Asia Society. Wilkins menerjemahkan Bhagawatgita dengan judul Song of the Adorable One (1785), Hipopadesa (1787). Wiulliam jones menerjemahkan Sakuntala, Gitagowinda (1794).
Pada awal abad 19 Frieddich Schlegel (orang Jerman), menulis buku On the Language and Wisdom of the Indian (1808). Berasama dengan A. Hamilton dari Inggris, dia memajukan naskah-naskah Sanserketa di Eropa. Selain itu, juga dikenal nama Fans Bopp yang menulis tentang konjungsi bahasa Sansekerta. Dia di pandang sebagai peletak dasar-dasar perbandingan filologi.
Naskah-naskah India:
Naskah-naskah bangsa India yang dipandang paling tua adalah kesastraan Weda, kitab suci agama Hindu. Disamping naskah yang bernafaskan agama dan filsafat, naskah-naskah India juga berisi wiracarita, misalnya Mahabharata dan Ramayana, karya tulis karya penyair andalan, serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu politik.
g.      Filologi di Nusantara
Perkenalam dan perkembangan filologi di Indonesia tidak lepas dari pengaruh kedatangan bangsa barat ke Indonesia. Yang pertama kali mengetahui adanya naskah di Indonesia adalah para pedagang. Naskah dari Indonesia dibeli kemudian dijual lagi di Eropa. Orang yang dikenal sebagai pedagang naskah ini adalah Peter Floris yang pada tahun 1604 pernah tinggal di Aceh. Adapun karangan pertama tentang keindonesiaan adalah Spraak ende Woordboek, inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen oleh Frederick de Houtman pada tahun 1603. Terbitnya buku ini jelas berkaitan dengan kepentingan VOC dalam usaha dagangnya karena dengan menggunakan bahasa Melayu mereka dapat berhubungan dengan bangsa pribumi.
Telaah naskah yang pertama kali dilakukan guna kepentingan terjemahan Alkitab. Alkitab pertama terbit pada tahun 1629 dalam bahasa Melayu karya Albert Cornelis Ruil. Kegiatan penerjemahan Alkitab ini berlangsung sampai dengan melemahnya VOC. Banyak penginjil yang berusaha menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nelayu, di antaranya Dr. Melchior Leidecker (1645-1701) yang karyanya diterbitkan oleh Petrus van de Vorm (1664-1731). Francois Valentijn (1666-1727) seorang pendeta menulis ensiklopedi. G.H. Werndly yang karangannya berjudul Maleische Spraakkunst terbit pada tahun 1736.
Setelah VOC melemah usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap yang baru pada tahun 1814 dapat mengirimkan G. Bruckner ke Indonesia. Terjemahan Alkitab Bruckner terbit pada tahun 1931 dalam huruf Jawa. Penginjil lain yang kemudian dikirim ke Jawa adalah J.V.C. Gericke. Di samping mengirim penginjil ke Jawa, Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG) juga mengirim penginjil ke daerah Kalimantan (Dayak), Sumatra (Batak), Makasar (Bugis), Sunda, dan kepulauan Nias.
Para penginjil ini menguntungkan pemerintah jajahan Belanda karena dapat membantu pemerintah memberi pelajaran bahasa secara ilmiah kepada para pegawai sipil Belanda yang memerlukan keahlian itu. Kalau pertama kali datang para penginjil itu mempelajari naskah untuk tujuan mengenal bahasanya guna menyiarkan agama, maka selanjutnya mereka ada yang berniat mengkaji naskah untuk memahami kandungan isinya. Pada gilirannya mereka tertarik untuk membuat suntingan agar naskah tersebut dapat diketahui oleh khalayak yang lebih luas.
Minat terhadap naskah nusantara ini menimbulkan mimbar kuliaha tentang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa. Mimbar kuliah tersebut mula-mula dibuka Koninklijke Militaire Academi (KMA) di Breda tahun 1836 dengan guru besar T. Roorda dan di Delf tahun 1942 dengan guru besar Roorda van Eysinga. Akhirnya mimbar kuliah ini dipindahkan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden.
Di samping tenaga peneliti dari Belanda, dikenal pula peneliti dan ahli filologi dari Inggris dan Jerman. Peneliti-peneliti Inggris di antaranya John Leyden, J. Logan, W. Marsden. Th. S. Raffles, J. Crafurd, R.J. Wilkinson, R.O. Winsted, dan Shellebear; sedangkan dari Jerman dikenal Hans Overbeck.
Umumnya para filolog yang menerbitkan teks Indonesia tradisional tidak begitu sadar akan teori filologi. Yang diterapkan biasanya metode filologi prailmiah dengan intuisi dan pengetahuan bahasa yang sebaik mungkin. Biasanya sebuah naskah dipakai sebagai legger, dasar edisi, yang kemudian seperlunya diperbaiki berdasarkan perbandingan dengan naskah lain. Atau, khususnya dalam hal adanya hanya satu naskah, mereka memakai prinsip edisi diplomatik. Baried (1994:50) menyebutnya sebagai taraf awal filologi di Indonesia untuk kajian filologi dengan metode intuitif atau diplomatik ini. Contoh penggunaan metode ini adalah suntingan Ramayana Kakawin (1900) dan Kunjarakarna (1901) oleh H. Kern, Syair Bidasari (1843) oleh van Hoevel, Geschiedenis van Sri Rama (1843) oleh Roorda van Eysinga, dan Een Javaansche geschrift uit de 16de eeuw (1881) oleh J.G.H. Gunning.
            Pengagarapan naskah selanjutnya pada abad 19 telah menunjukkan perkembangan/peningkatanberupa suntingan teks dalam bentuk transliterasi dalam aksara Latin. Bentuk karya tersebut, antara lain dihasilkan oleh R. Th. Friederich yang berjudul Wrettasantjaja (1849), Ardjoena Wiwaha  (1850), dan Bomakawya (1850) yang ketiga merupakan naskah Jawa Kuno. Cohen Stuart mengerjakan Barata Faeda (1850), Juyboll mengerjakan beberapa suntingan teks Mahabarata yang di beri judul Drie Boeken van het Oud-Favanschein Kawi-teks en Nedertandche vertaLing (1893).
                        Terjemahan ke dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, adalah perkembangan telaah filologis berikutnya. Contoh untuk periode ini misalnya Sang Hyang Kamahayanikan, Oud-Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningen (1910) oleh J. Kats dan Ardjoenawiwaha (1926) oleh Poerbatjaraka.
Metode Lachman (stemma) jarang diterapkan dalam filologi di Indonesia. Dalam filologi Jawa, khususnya, Gonda mulai menerapkan metode ini dengan edisi Brahmandapurana (1932), tetapi contoh baik ini jarang diikuti peneliti lain; sedangkan di bidang Melayu klasik khususnya disertasi Ras Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1968) dan Brakel Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975) mencoba menerapkan metode stemma secara sistematik.
Pada periode mutakhir dirintis telaah naskah-naskah nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra. Contoh untuk periode ini misalnya Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980) oleh A. Ikram, Hikayat Hang Tuang, Analisa Struktur (1979) oleh Sulatin Sutrisno.
Dekade berikutnya perkembangan filologi ini adalah penelitian dengan analisis intertekstual. Hasil-hasil penelitian dengan model ini dimulai oleh Partini Sardjono-Pradotokusumo dengan Kakawin Gajah Mada (1986), Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad Ke-20, Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks (1984). Telaah lain sesudah ini di antaranya Fragment of Reading: The Malay Hikayat Merong Mahawangsa (1985) oleh Hendrik M. Jan Maier, Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (1987) oleh I. Kluntara Wiryamartana.
Pada dasarnya perkenbangan filologi di Indonesia tidak dapat ditinjau berdasarkan metode yang digunakan. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa metode yang digunakan biasanya berdasarkan naskah yang dapat dijumpai.
Di bawah ini dipaparkan beberapa hasil-hasil penelitian filologi di Indonesia.
(1)       1843, Geschiedenis van Sri Rama oleh Roorda van Eysinga
(2)       1843, Sjair Bidasari oleh van Hoevell
(3)       1850, Ardjoena-Wiwaha oleh R.Th.A.Friederich
(4)       1860, Brata Joeda oleh Cohen Stuart
(5)       1878, Tjarita Brakaj (Fragment uit Tjarita Brakaj/terjemah) oleh Vreede (Teeuw, 1947)
(6)       1881, Een Javaansche geschrift uit de 16de eeuw oleh J.G.H. Gunning
(7)       1900, Ramayana Kakawin oleh H.Kern
(8)       1902, Nagarakrtagama oleh Brandes
(9)       1906, Adiparwa, Oud-javaansche prozageschrif oleh H.H.Juynboll
(10)    1913, Critische Beschouwing van Sadjarah Banten oleh Hoesein Djajadiningrat
(11)    1916, Het Book van Bonang oleh B.J.O. Schrieke
(12)    1922, De Roman van Amir Hamzah oleh Ph. S. van Ronkel
(13)    1922, De Panji Roman oleh W.H. Rassers
(14)    1922, Hikajat Hang Tuah oleh H. Overbeck
(15)    1924, Het Boek de Duizend Vragen oleh G.F.Pijper
(16)    1926, Ardjuna-Wiwaha oleh Poerbatjaraka
(17)    1926, Agastya in den Archipel oleh Poerbatjaraka
(18)    1928, Hikajat Perang Sabil oleh H.T. Damste
(19)    1932, Brahmanda Purana oleh Gonda
(20)    1933, De Geschriften van Hamzah Pansoeri oleh J. Doorenbos
(21)    1934, Nawaruci oleh Prijohoetomo
(22)    1937, Hikajat Malem Dagang oleh H.K.J. Cowan
(23)    1938, Wirataparwa, opniew uitgegeven, vertal en toegelicht
(24)    1945, Samsuddin van Pasai oleh C.A.O. van Nieuwenhuijze
(25)    1946, Het Bomakawya oleh Teeuw
(26)    1949, Loetoeng Kasaroeng, een mythologisch verhaal vit West-Java oleh F.S. Eringa
(27)    1952, The Malay Annals oleh C.C. Brown
(28)    1955, Een achttiende eeuwe kroniek van Wadjo oleh J. Noorduyn
(29)    1957, Malay Mysticsm oleh A. Johs
(30)    1958, Adat Atjeh oleh Drewes dan Voorhoeve
(31)    1959, De Hikayat Atjeh oleh Teuku Iskandar
(32)    1960, Java in the 14th Century oleh Pigeaud
(33)    1960, Asrar Al-Insan fi Ma’Rifa Al-Ruh Wal-Rahman oleh Tudjimah
(34)    1966, Shair Ken Tambunan oleh Teeuw
(35)    1968, Hikajat Bandjar oleh J.J. Ras
(36)    1969, Hikajat Andaken Panurat oleh Robson
(37)    1970, Hikajat Merang Mahawangsa oleh Siti Hawa Saleh
(38)    1970, The Mysticism of Hamzah Fansuri oleh Naguib Al-Attas
(39)    1971, Wangbang Wideya oleh Robson
(40)    1971, Jňanasiddhanta oleh Haryati S.
(41)    1972, Babad Buleleng oleh P.J. Worsley
(42)    1975, The Book of Cabolek oleh S. Soebardi
(43)    1975, Hikayat Muhammad Hanafiyyah oleh Brakel
(44)    1976, Undang-undang Melaka oleh Liaw Yock Fang
(45)    1977, Arjunawijaya oleh S.Supomo
(46)    1978, Cerita Dipati Ukur oleh Edi S Ekadjati
(47)    1978, Hikayat Sri Rama oleh Achadiati Ikram
(48)    1979, Sejarah Sukapura oleh Herman Sumantri
(49)    1979, Hikayat Hang Tuah, Analisa Struktur dan Fungsi oleh Sulastin Sutrisno
(50)    1979, Adat Raja-raja Melayu oleh Panuti Sudjiman
(51)    1980, Hikayat Indrapura oleh Sri Wulan RM
(52)    1983, Javaansche Tekst Kritiek oleh van der Molen
(53)    1984, Kakawin Gadjah Mada oleh PS Pradotokusumo
(54)    1985, Fragment of Reading: The Malay Hikayat Merong Mahawangsa oleh Hendrik M. Jan Maier
(55)    1987, Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa oleh I. Kuntoro W.
(56)    1988, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi oleh Siti Chamamah Soeratno
(57)    1989, Hikayat Maharaja Gareba Jagat: Suntingan Naskah Disertai Tinjauan Tema dan Amanat Cerita serta Fungsi Panakawan di Dalamnya oleh Nikmah Sunardjo
(58)    1989, Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi oleh A. Sudewa.
(59)    1995, Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat Iskandar oleh A. Sudewa
(60)    1984, Babad Blambangan: Pembahasan-Suntingan Naskah-Terjemahan oleh Darusuprapto
(61)    1996, Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan, Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik oleh Marsono