Makalah
Pengkajian Iklan
ANALISIS IKLAN POLITIK

Disusun Oleh:
Gita
Puspitasari 13010114130067
PROGRAM STUDI
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Analisis Iklan Politik. Makalah ini dibuat
dalam rangka memperdalam pemahaman masalah hubungan kebudayaan dengan pancasila
yang sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat sekaligus melakukan apa
yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Pengkajian Iklan”.
Kami berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
hubungan kebudayaan dengan pancasila. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Semarang, 17 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Contents
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa
merupakan sarana untuk menyampaikan suatu gagasan atau ide yang diketahui
seseorang kepada orang lain. Bahasa memudahkan manusia untuk berinteraksi
dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan. manusia sebagai makhluk sosial
tentu selalu melakukan interaksi dengan orang lain. Bahasa adalah alat
komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan
kultural. Bahasa sebagai fungsi fungsi sosial adalah bahasa sebagai alat
penghubung antar anggota masyarakat, sedangkan bahasa sebagai fungsi kultural
adalah bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Bahasa kemudian dalam kelompok masyarakat dikembangkan menjadi
berbagai variasi. Variasi bahasa tercipta atas kehendak kelompok masyarakat
agar masyarakat lain tidak mengerti dengan bahasa mereka.
Iklan adalah berita pesanan
untuk mendorong, membujuk khlayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang
ditawarkan; pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa, dipasang
di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat-tempat
umum (KBBI,2012:175).
Iklan
politik merupakan salah satu dari komponen marketing politik yang amat penting,
karena persepsi khalayak terhadap tokoh politik dapat dibangun lewat iklan
politik. Sementara perspsi khalayak merupakan faktor utama dalam membentuk
citra dan kredibilitas politik (Rakhmat, 1985).
Iklan
politik mendapat perhatian utama karena realitas politik yang terjadi saat ini,
menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang
seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis
komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan
tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya
mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu
melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang
baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar. Pernyataan ini sesuai
dengan pendapat Andy Arnolly yang menganggap marketing politik sebagai langkah
penting untuk memahami parpol maupun Capres dan Cawapres, terutama kepada
pemilih pemula(Arnolly, www.kabarindonesia.com, 2008).
Iklan yang
disajikan dalam politik penuh dengan tipu muslihat dan janji-janji yang mereka
umbar demi kepentingan pribadi yang mengatas namakan rakyat. Iklan dijadikan
sarana berkomunikasi yang sangat mudah dan membuat masyarakat menarik serta
penasaran.
B. Permasalahan
Permalahan yang berdasarkan
latar belakang di atas, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
konsep komunikasi politik?
2. Bagaimanakah
makna yang terkandung dan efektifitas dalam iklan politik?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini
berdasarkan latar belakang dan permasalah, sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
konsep komunikasi politik.
2. mendeskripsikan
makna yang terkandung dan efektifitas dalam iklan politik.
D. Manfaat
Hasil
penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya kajian bahasa pada
bidang periklanan
khususnya dalam bidang iklan politik.
2. Manfaat praktis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada mayarakat bahwa ada banyak
ragam bahasa yang ada di lingkungan sekitar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk
khlayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan; pemberitahuan
kepada khalayak mengenai barang atau jasa, dipasang di dalam media massa
(seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat-tempat umum (KBBI,2012:175).
Iklan politik merupakan
salah satu dari komponen marketing politik yang amat penting, karena persepsi
khalayak terhadap tokoh politik dapat dibangun lewat iklan politik. Sementara
perspsi khalayak merupakan faktor utama dalam membentuk citra dan kredibilitas
politik (Rakhmat, 1985).
Iklan politik mendapat
perhatian utama karena realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para
politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya
terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan
informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik.
Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain
untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan
citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang
untuk berkuasa pun semakin besar. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Andy
Arnolly yang menganggap marketing politik sebagai langkah penting untuk
memahami parpol maupun Capres dan Cawapres, terutama kepada pemilih
pemula(Arnolly, www.kabarindonesia.com, 2008).
B. Konsep Komunikasi Politik
Hadirnya komunikasi politik sudah
setua hadirnya ilmu politik itu sendiri, hal itu merupakan penggunaan secara
terorganisir terhadap media massa moderen untuk tujuan politik, terutama dalam
praktik kampanye pemilu, yang awalnya mengarahkan kepada penyelidikan yang
sistematis terhadap komunikasi politik dan telah memberi topik bahasan atas
identifikasi kontemporer utamanya. Bagaimanapun juga, komunikasi politik lebih
dari sekadar kampanye politik. Dalam istilah yang digunakan oleh Seymour-Ure
(1974), hal itu memiliki dimensi horisontal dan juga vertikal. Kajian
sebelumnya mengacu pada komunikasi diantara kelompok yang sederajad, apakah
mereka ini adalah anggota elit politik yang sama, atau warga negara yang saling
berinteraksi dan berkumpul bersama-sama. Komunikasi vertikal berlaku diantara
pihak pemerintah (atau partai) dan masyarakat (yang prinsipnya ke salah satu
arah diantara dua).
Penekanan yang awal kepada kampanye
pemilu difokuskan perhatiannya pada arus “top-down” pada dimensi vertikal (dari
pemerintah atau partai kepada warga negara atau pengikut). Hal ini,
bagaimanapun juga, mengarah kepada pengabaian komunikasi di dalam elit
masyarakat tertentu dan komunikasi yang bersifat informal dan interpersonal.
Kita harus juga membuat catatan atas arus komunikasi yang mengarah “ke atas”,
kepada arah politik yang juga “ke atas”, dalam bentuk membuat ‘feedback”
voting, hasil polling pendapat, atau bentuk pertemuan pemikiran yang diadakan
oleh politikus dan pemerintah.
Komunikasi politik ialah proses
penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya.
Partai politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh
pemerintah dan masyarakat, agar komunikasi bersifat efektif (Cholisin, 2007:
114). Komunikasi politik menjadi posisi penting terutama sebagai jembatan untuk
menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan. Proses ini
berlangsung disemua tingkat masyarakat dan setiap tempat yang memungkinkan
terjadinya pertukaran informasi diantara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya;
bahkan diantara anggota masyarakat dengan para penguasanya. Sebab dalam kehidupan
bernegara, setiap individu memerlukan informasi terutama mengenai kegiatan
masing-masing pihak menurut fungsinya (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 29-30).
Pemerintah membutuhkan informasi
tentang kegiatan rakyatnya; dan sebaliknya rakyat juga harus mengetahui apa
yang dikerjakan oleh pemerintahnya. Itu sebabnya, menurut Nasution (1990: 18),
sistem politik demokrasi selalu mensyaratkan adanya kebebasan pers (freedom of
the press) dan kebebasan berbicara (freedom of the speech). Dan fungsi-fungsi
ini semuanya secara timbal balik dimainkan oleh komunikasi politik.
Itulah sebabnya, Susanto (1985: 2)
mendefinisikan komunikasi politik sebagai
“ komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian
rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat
mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama”.
Sedangkan dilihat dari sisi kegunaanya, menurut Kartaprawira (1988: 60),
komunikasi politik berguna untuk “menghubungkan pikiran politik yang hidup
dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi, ataupun
sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor pemerintahan”. Dua rumusan
yang saling melengkapi ini mengisyaratkan bahwa komunikasi politik memang baru
merupakan kegiatan pra-politik. Ia mempersiapkan situasi politik yang kondusif
bagi suatu kepentingan tertentu. Diantara faktor yang ikut menentukan daya
tahan pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, misalnya, adalah
karena intensifnya komunikasi politik yang secara sengaja diarahkan untuk
memperolah pengaruh massa melalui proses akomodasi dan konfrontasi terhadap
pemikiran politik yang hidup di masyarakat.
Komunikasi politik yang mengacu
terhadap semua proses informasi (termasuk di dalamnya fakta, opini, kepercayaan
dll.) transmisi, pertukaran dan pencarian yang terjadi diantara partisipan
dalam wacana aktifitas politik yang di-institusi-kan. Kita dapat secara berguna
menahan perhatian kita kepada aktivitas yang menjadi bagian dari “wilayah
publik” dalam kehidupan politik, sebuah referensi yang melibatkan isi dari
debat politik terbuka dan sebuah ‘arena’ dimana debat semacam itu terjadi.
Di dalam prakteknya, komunikasi
politik meliputi berikut ini :
1)
Kegiatan-kegiatan langsung yang terdiri dari formasi, mobilisasi dan berbagai
penyebaran dan pergerakan kecil dari politik.
2)
Semua bentuk kampanye yang terorganisir dirancang untuk mendapatkan dukungan
politik bagi partai, tahu penyebab-penyebab, kebijakan atau pemerintah, dengan
mempengaruhi opini dan perilaku dalam pemilu.
3)
Banyak proses yang melibatkan ekspresi, pengukuran, penyebaran informasi dan
juga ‘manajemen’ opini publik (ini termasuk di dalamnya diskusi informal dan
interpersonal).
4)
Aktifitas media massa yang sudah mapan dalam melaporkan dan memberi komentar
pada kejadian politik.
5)
Proses informasi publik dan debat yang berkaitan dengan kebijakan politik.
6)
Sosialiasasi politik informal dan formasi dan pengawalan kesadaran politik.
Fenomena komunikasi politik suatu
masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik dimana
komunikasi itu bekerja. Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia
juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang menjadi latar
kehidupannya (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 55).
Menurut Gabriel Almond, semua bentuk
interaksi manusia melibatkan komunikasi. Media massa seperti televisi, radio,
surat kabar dan majalah ikut mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat.
Almond membedakan empat struktur komunikasi. Pertama, kontak tatap muka
informal yang muncul terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial
tradisional seperti hubungan famili dan keagamaan. Ketiga, struktur politik
“output” (keluaran) seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input”
(masukan) termasuk misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan
partai-partai politik. Kelima, media massa.
Almond menilai, kontak informal
dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah
membuktikan bahwa saluran informal menjadi sistem komunikasi paling
berkembang. Ia menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan
Lazarsfled (1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung
atas kebanyakan individu. Namun penelitian belakangan menunjukkan media massa
mempengaruhi pola perilaku dan persepsi masyarakat.
Mochtar Prabotinggi (1993)
menguraikan dengan rinci bahwa dalam prosesnya komunikasi politik sering
mengalami empat distorsi. Pertama, distorsi bahasa sebagai topeng. Ia
memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis “bagai
semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan sebuah
euphemisme. Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang
dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti
diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”. Kedua, distorsi bahasa sebagai
proyek lupa. Manusia makhluk yang memang pelupa. Namun demikian dalam konteks
politik kita membicarakan lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata
seperti diulas Prabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan
hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Prabottinggi membuat
pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan
juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama
dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika
sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah
sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi
bahasa sebagai representasi. Jika dalam distorsi topeng keadaan sebenarnya
ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka
distoris ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana
mestinya.
C. Makna Dan Efektifitas Iklan Politik
Makna
Iklan Politik
Iklan APK konvensional umumnya
memuat foto diri caleg, lengkap bersama visualisasi peci, rentetan gelar
akademis, gambar partai, nomor urut, latar belakang dengan warna yang
selaras dengan warna partai, tak lupa janji serta jargon yang menjadi ciri khas
masing-masing kandida. Iklan
APK dewasa
ini mengalami perkembangan baru dari sisi konten, selaras dengan perkembangan
zaman. Dari penambahan gambar tokoh populer yang berhubungan dengan partai
sampai yang tidak ada hubungannya sama sekali, serta pernyataan jargon yang tak
masuk akal tapi sensasional dan menohok. Tujuan dari itu semua untuk menarik minat masyarakat
untuk berbondong-bondong memilihnya.

Penambahan
gambar tokoh yang masih ada hubungannya dengan partai tersebut sebetulnya masih
banyak yang terbilang kolot. Biasanya, figur sentral partai selalu
dilibatkan dalam APK, semisal foto Soekarno dan Megawati dalam APK caleg-caleg
PDIP. Belakangan, posisi Soekarno dan Megawati mulai tergantikan oleh sosok
Jokowi. Di Gerindra ada sosok Prabowo, sementara di Hanura ada Wiranto. Begitu
juga dengan tokoh penting di partai lain. Selain
tokoh penting dalam partai, sosok internasional yang sedang naik daun juga
turut didomplengi oleh para caleg ini.
Contohnya pada tahun 2009, banyak dari para caleg yang
memasang foto dirinya dengan presiden Amerika Serikat Barak Obama. Kenapa
Obama? Menurut mereka dengan memasang foto Obama, mereka berharap akan bernasib
sama dengan presidan Amerika Serikat itu dan mereka menunjukkan bahwa
kinerjanya nanti apabila mereka dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk mengemban
amanah di legislatif akan seperti Barak Obama.
Para Caleg itu mencoba membangun image sebaik mungkin
untuk menarik hati para rakyat Indonesia. Persaingan akan memanas dengan
memasang APK dengan tokoh-tokoh yang mereka anggap paling berpengaruh pada
waktu itu.
Efektifitas
Iklan Politik
Efektifitas dari pemasanag iklan berupa APK pada iklan
politik ada kelebihan dan kekuragannya.
Kelebihan:
-
Menarik dan kreatif
-
Hemat waktu
-
Tepat sasaran
Kekurangan:
-
Memakan tempat
-
Memakan biaya yang cukup mahal
-
Memunculkan persaingan yang tidak sehat
-
Terlalu mengumbar janji-janji
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iklan adalah sebuah sarana pemberitahuan kepada
khalayak mengenai barang atau jasa, dipasang di dalam media massa (seperti
surat kabar dan majalah) atau di tempat-tempat umum. Iklan
politik merupakan salah satu dari komponen marketing politik yang amat penting,
karena persepsi khalayak terhadap tokoh politik dapat dibangun lewat iklan
politik.
Komunikasi politik ialah proses
penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya.
Partai politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh
pemerintah dan masyarakat, agar komunikasi bersifat efektif. Komunikasi politik
menjadi posisi penting terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan
yang dapat memfungsikan kekuasaan. Proses ini berlangsung disemua tingkat masyarakat
dan setiap tempat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi diantara
individu-individu dengan kelompok-kelompoknya; bahkan diantara anggota masyarakat dengan para penguasanya.
Penambahan gambar tokoh yang masih
ada hubungannya dengan partai tersebut sebetulnya masih banyak yang
terbilang kolot. Biasanya, figur sentral partai selalu dilibatkan dalam APK,
semisal foto Soekarno dan Megawati dalam APK caleg-caleg PDIP. Belakangan, posisi
Soekarno dan Megawati mulai tergantikan oleh sosok Jokowi. Di Gerindra ada
sosok Prabowo, sementara di Hanura ada Wiranto. Begitu juga dengan tokoh
penting di partai lain. Selain tokoh penting dalam partai, sosok internasional
yang sedang naik daun juga turut didomplengi oleh para caleg ini. Dengan
memasang foto tokoh penting pada iklan APKnya para caleg berharap bernasib sama
dan akan memiliki kinerja yang sama dengan si tokoh. Efektifitas iklan politik
ada kelebihan dan kelemahan. Kelebihan adalah menarik dan kreatif, hemat waktu,
dan tepat sasaran. Kekurangan adalah memakan tempat, memakan biaya yang cukup
mahal, memunculkan persaingan yang tidak sehat, dan terlalu mengumbar
janji-janji
DAFTAR
PUSTAKA
Cholisin, dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta:
UNY Press.
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu-Ilmu Sosial.
Bandung: Sinar Baru.
Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia (Dinamika Islam
Politik Pasca-Orde Baru). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik, Suatu Pengantar.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung:
Bina Cipta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Lux. 2011. Semarang: Widya Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar