Mega-mega
adalah nama, adalah rupa. Selaksa merah yang menggenangi atap jingga,
tumpah-tumpah bertiup desah, beradu seumpama lengkung janur-janur kemayu,
kelabu serupa titik mega yang hanya sampai mahkota daun sepatu. Angan lantas
makin mendekati nista yang beranjak berjarak dengan realita, harap-harap tak
lagi bersenandung la la la la, hanya butuh satu hentakan untuk melompat pada
segaris batas waktu, yang satu satu akan membiarkannya pergi berlalu.
Seorang
perempuan tua duduk dibawah pohon beringin dekat pasar Beringharjo, yang biasa
dipanggil Ma’e. Sembari bersenandung tak
lela lela lela ladhung dan menimang buntelan, kemudian dia dekap erat-erat.
Pada malam itu malam purnama, malam penuh berkah, dan dimulailah sebuah cerita
tentang potert kehidupan masyarakat marjinal dengan berbagai macam watak yang
mewakili elemen-elemen masyarakat. Seorang lonte bohai yang sedang sibuk
menjajakan dirinya kepada semua lelaki yang lewat dihadapannya, Retno namanya. Panut
yang sedang sibuk menyesuaikan diri sebagai pengemis, yang sebelumnya telah
gagalnya menjadi seorang pencopet. Datanglah Mas Hamung, pria paruh baya dengan
perawakan santai nan berwibawa, namun nasibnya tidak jauh berbeda dengan tokoh
yang lain. ia lebih mudah digamabarkan sebagai orang yang gemong. Tukijan, seorang lelaki pekerja keras yang mempunyai waktak
yang kaku, realistis, tempramen serta memimpikan tanah Sumatera. Koyal, seorang
bocah pengemis gila yang memiliki mimpi menjadi jutawan. Uang hasil jerih
payahnya mengemis selalu ia gunakan untuk membeli lotre, berharap dapat menang
dan mendapatkan uang 100 juta untuk ia bagikan ke teman-temannya.
Mega-mega adalah keluh keasa yang tak bertuan. Satu
demi satu alur merekan kisah mereka, berawal dari kebingunagan Panut yang tidak
tau apa yang harus dikerjakannya untuk mendapatkan uang, dibumbui
timpalan-timpalan humor satir mas Hamung yang begitu paradoks, hingga suatu
kisah tentang Koyal yang hampir memenangkan lotere, yakni nomor di kertas
loterenya berbeda satu angka dengan pengumuman pemenang lotere di koran. Kisah
asmara Retno dan Tukijan, yang sedang bingung akan buntunya masa depan. Ma’e
yang tidak memiliki anak alias mandul, yang tak memiliki hubunga darah dengan
mereka, nyatanya menganggap itu semua adalah bagian urusan Ma’e. Begitulah Ma’e
yang menjadi ibu bagi mereka yang entah datang dari mana mulanya. Kebersamaan
itu merupakan suatu bentuk penyelaras duka diantara hari-hari yang melelahkan.
Kebahagiaan kecil itu menjadi mewah diantara kesulitan kehidupan tidak layak
yang menjerat keseharian. Satu-satunya hiburan adalah berkumpul, selagi masih
bisa bersandar pada kecocokan nasib yang menyatukan mereka.
Namun apa yang mampu mereka selamatkan, ketika suatu
kecemburuan memburu buta pada seorang Tukijan? Koyal yang sedang melamun di
bawah sinar rembulan, tergerak untuk menikmati betis seksi Retno yang sedang
berbaring di bawah pohon beringin. Tukijan terbangun dan marah melihat Koyal
yang sinting sedang mengelus-elus betis si lonte dengan wajah mesum tak
berdosa.
“Kau boleh melakukan apapun, apapun, .....apapun
dengan si Retno karena di adalah seorang Lonte. Tak ada seorang pun yang
melarang. Tapi jangan di depan muka ku......” Beringas Tukijan memukuli
Koyal yang gemetar.
Di sudut malam yang hampir pagi itulah semua
terbangun. Melihat Tukijan diburu nafas berisikan amarah yang besar, mendengar
gemetar Koyal merengek ketakutan di balik ketiak Ma’e. Semua bertanya keheranan
apa yang terjadi.
“Dengar Koyal, benar kau ingin uang?” Tanya
Tukijan masih terengah-engah.
“Ya, tapi aku tak mau dipukul”
“Aku yakin kau pasti bisa dapat uang yang banyak,
aku yakin kau pasti bisa. Tapi benar kau ingin uang? Kalau kau ingin uang
kemarikan loteremu” pinta Tukijan pada Koyal.
Koyal memberikan loterenya dengan takut-takut. Tanpa
berpanjang kata Tukijan langsung menyobek-nyobekkan lembaran lotere ke udara “Kau
harus sembuh Koyal! Tanpa kertas-kertas ini pun kau bisa mendapatkan uang”.
Koyal meraung-raung, menjerit histeris, berusaha mengumpulkan kembali loterenya
yang telah menjadi sobekan-sobekan di udara.
Mas Hamung bergidik jengkel sambil menghampiri Tukijan
“Jika yang harus kau tampar itu adalah sebenarnya Retno. Bukan bocah sinting
tak bersalah itu. Kini Kau telah memperkosa kebahagiaan seseorang!”
Satu per satu, mereka akhirnya pergi meninggalkan Ma’e
sendirian di bawah pohon beringin.
Retno ikut Tukijan ke Sumatera. Dan yang lain entah,
yang jelas hanya tinggal Ma’e sendiri berteman langit malam bersama bayi
khayalannya. Sebersit kesedihan atas kebahagiaan yang pernah menggema di langit
mega-mega, kini berbaur bersama tubuh ringkih Ma’e. Sembari menimang bayi
khayalan di atas balung punggung lengan dan mendendangkan tak lela lela lela
ledhung, Ma’e memberikan pesan perenungannya di usianya yang kunjung senja,
bahwa “kita tidak pernah mendapatkan tetapi selalu merasa kehilangan”.