Senin, 19 Februari 2018

Reportase drama “Mega-mega” karya Arifin C Noor yang dimaikan oleh Teater Salihara

Mega-mega adalah nama, adalah rupa. Selaksa merah yang menggenangi atap jingga, tumpah-tumpah bertiup desah, beradu seumpama lengkung janur-janur kemayu, kelabu serupa titik mega yang hanya sampai mahkota daun sepatu. Angan lantas makin mendekati nista yang beranjak berjarak dengan realita, harap-harap tak lagi bersenandung la la la la, hanya butuh satu hentakan untuk melompat pada segaris batas waktu, yang satu satu akan membiarkannya pergi berlalu.
Seorang perempuan tua duduk dibawah pohon beringin dekat pasar Beringharjo, yang biasa dipanggil Ma’e. Sembari bersenandung tak lela lela lela ladhung dan menimang buntelan, kemudian dia dekap erat-erat. Pada malam itu malam purnama, malam penuh berkah, dan dimulailah sebuah cerita tentang potert kehidupan masyarakat marjinal dengan berbagai macam watak yang mewakili elemen-elemen masyarakat. Seorang lonte bohai yang sedang sibuk menjajakan dirinya kepada semua lelaki yang lewat dihadapannya, Retno namanya. Panut yang sedang sibuk menyesuaikan diri sebagai pengemis, yang sebelumnya telah gagalnya menjadi seorang pencopet. Datanglah Mas Hamung, pria paruh baya dengan perawakan santai nan berwibawa, namun nasibnya tidak jauh berbeda dengan tokoh yang lain. ia lebih mudah digamabarkan sebagai orang yang gemong. Tukijan, seorang lelaki pekerja keras yang mempunyai waktak yang kaku, realistis, tempramen serta memimpikan tanah Sumatera. Koyal, seorang bocah pengemis gila yang memiliki mimpi menjadi jutawan. Uang hasil jerih payahnya mengemis selalu ia gunakan untuk membeli lotre, berharap dapat menang dan mendapatkan uang 100 juta untuk ia bagikan ke teman-temannya.
Mega-mega adalah keluh keasa yang tak bertuan. Satu demi satu alur merekan kisah mereka, berawal dari kebingunagan Panut yang tidak tau apa yang harus dikerjakannya untuk mendapatkan uang, dibumbui timpalan-timpalan humor satir mas Hamung yang begitu paradoks, hingga suatu kisah tentang Koyal yang hampir memenangkan lotere, yakni nomor di kertas loterenya berbeda satu angka dengan pengumuman pemenang lotere di koran. Kisah asmara Retno dan Tukijan, yang sedang bingung akan buntunya masa depan. Ma’e yang tidak memiliki anak alias mandul, yang tak memiliki hubunga darah dengan mereka, nyatanya menganggap itu semua adalah bagian urusan Ma’e. Begitulah Ma’e yang menjadi ibu bagi mereka yang entah datang dari mana mulanya. Kebersamaan itu merupakan suatu bentuk penyelaras duka diantara hari-hari yang melelahkan. Kebahagiaan kecil itu menjadi mewah diantara kesulitan kehidupan tidak layak yang menjerat keseharian. Satu-satunya hiburan adalah berkumpul, selagi masih bisa bersandar pada kecocokan nasib yang menyatukan mereka.

Namun apa yang mampu mereka selamatkan, ketika suatu kecemburuan memburu buta pada seorang Tukijan? Koyal yang sedang melamun di bawah sinar rembulan, tergerak untuk menikmati betis seksi Retno yang sedang berbaring di bawah pohon beringin. Tukijan terbangun dan marah melihat Koyal yang sinting sedang mengelus-elus betis si lonte dengan wajah mesum tak berdosa.

Kau boleh melakukan apapun, apapun, .....apapun dengan si Retno karena di adalah seorang Lonte. Tak ada seorang pun yang melarang. Tapi jangan di depan muka ku......” Beringas Tukijan memukuli Koyal yang gemetar.

Di sudut malam yang hampir pagi itulah semua terbangun. Melihat Tukijan diburu nafas berisikan amarah yang besar, mendengar gemetar Koyal merengek ketakutan di balik ketiak Ma’e. Semua bertanya keheranan apa yang terjadi.

Dengar Koyal, benar kau ingin uang?” Tanya Tukijan masih terengah-engah.

Ya, tapi aku tak mau dipukul

Aku yakin kau pasti bisa dapat uang yang banyak, aku yakin kau pasti bisa. Tapi benar kau ingin uang? Kalau kau ingin uang kemarikan loteremu” pinta Tukijan pada Koyal.

Koyal memberikan loterenya dengan takut-takut. Tanpa berpanjang kata Tukijan langsung menyobek-nyobekkan lembaran lotere ke udara “Kau harus sembuh Koyal! Tanpa kertas-kertas ini pun kau bisa mendapatkan uang”. Koyal meraung-raung, menjerit histeris, berusaha mengumpulkan kembali loterenya yang telah menjadi sobekan-sobekan di udara.

Mas Hamung bergidik jengkel sambil menghampiri Tukijan “Jika yang harus kau tampar itu adalah sebenarnya Retno. Bukan bocah sinting tak bersalah itu. Kini Kau telah memperkosa kebahagiaan seseorang!

Satu per satu, mereka akhirnya pergi meninggalkan Ma’e sendirian di bawah pohon beringin.

Retno ikut Tukijan ke Sumatera. Dan yang lain entah, yang jelas hanya tinggal Ma’e sendiri berteman langit malam bersama bayi khayalannya. Sebersit kesedihan atas kebahagiaan yang pernah menggema di langit mega-mega, kini berbaur bersama tubuh ringkih Ma’e. Sembari menimang bayi khayalan di atas balung punggung lengan dan mendendangkan tak lela lela lela ledhung, Ma’e memberikan pesan perenungannya di usianya yang kunjung senja, bahwa “kita tidak pernah mendapatkan tetapi selalu merasa kehilangan”.

Secangkir Kopi



Hitam legam
Harum mengisi rongga-rongga hidung
Ketenangan, kedamaian
Kepulan asap yang keluar
Menambah keindahan dan kenikmatan
Walaupun pahit
Namun tak seperti kisah ini
Ekspreso
Amerikano
Mochacino
Latte
Seperti kisah
Pahit setiap kisah memiliki takaran yang berbeda
Seperti kopi
Secangkir kopi di pagi hari
Membuat semangat kembali terisi
Menghilang rasa sakit
Walau hanya sesaat
Namun menenangkan
Secangkir kopi...

GPs

20022018