Minggu, 26 November 2017

Analisis Puisi Negeri Bencana

Gita Puspitasari
13010114130067
Sastra Indonesia/semester 4
Kelas B
UAS Pengkajian Puisi


NEGERI BENCANA

alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.

tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.

tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.

dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.

                                                                        (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999)


1. Analisis Struktural Puisi “Negeri Bencana” karya Dorotea Rosa
1.1. Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.1.1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Pada bait pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi. Juga terdapat aliterasi p dan k  pada pecah, padang, kunikmati, kehangatan.
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
Pada bait kedua terdapat asonansi a dan u pada tapi, tak,  bisa, bangkai, sabar, mangkuk, bubur, diaduk, debu. Aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung, bangkai.
tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
Pada bait ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak,  bisa, gemetar, gemerutuk. Aliterasi t dan g  pada tapi, tak, tubuh, gemetar, gemerutuk.
dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
Pada bait terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.  Untuk aliterasi pada bait ini tidak ada.
1.1.2. Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
pada bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di negeri si aku dan dampak dari bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah terjadi dinegerinya. Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan di tanah yang bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang angin yang tidak seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau bangkai. Jadi puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang terjadi pada negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama puing-puingnya.
1.1.3. Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Dorothea Rosa adalah salah seorang penyair wanita terkenal Indonesia, sehingga tak dapat diragukan lagi karya-karyanya. Karya-karyanya beraliran feminis. Dalam karyanya Dorothea berusaha merebut sebuah ruang di antara dominasi lelaki, dengan membangun teks-teks puisinya sebagai sebuah labirin gender. Namun dalam puisi ini Dorothea mencoba memberikanpenjelasn objek yang ditekankan adalah dampak dari bencana yang melanda negeri.
1.1.4. Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa bahwa suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.1.5. Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan suasana yang terjadi setelah bencana dan si pengarang pasrah akan apa yang terjadi. Ini begitu dijelaskan pada bait pertama:
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Sajak tersebut mengawali penegasan kata, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan. Dan hamparan negeri yang kering. Serta membuat pengarang merengkan diri, atas bencana yang terjadi, kerinduan saat hujan turun.


1.2. Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.2.1. Surface Strukture (unsur luar)
1.2.1.1. Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
a.    Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini tidak memiliki balnk symbol.
b.    Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena alam, dan lain-lain. natural symbol yang ada dalam puisi ini adalah padang tandus, hujan, bencana.
c.    Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini memiliki private symbol adalah lagu hujan, mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu.
1.2.1.2. Unsur Bunyi
1.2.1.2.1. Rima
a.    Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini ialah sebagai berikut:.
·            Pada bait pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi.
·            Pada bait kedua terdapat asonansi a dan u pada tapi, tak,  bisa, bangkai, sabar, mangkuk, bubur, diaduk, debu.
·            Pada bait ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak,  bisa, gemetar, gemerutuk.
·            Pada bait terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.

b.    Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
·      Pada bait pertama terdapat aliterasi p dan k  pada pecah, padang, kunikmati, kehangatan.
·      Pada bait kedua terdapat aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung, bangkai.
·      Pada bait ketiga terdapat aliterasi t dan g  pada tapi, tak, tubuh, gemetar, gemerutuk.
·      Pada bait terakhir puisi ini tidak memiliki aliterasi.
c.    Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini tidak memiliki rima akhir.
1.2.1.2.2. Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih pada rima akhir. Puisi ini memiliki irama berupa suara teratur pada awal dan akhiran vokal u pada bait pertama menunjukkan penekanan sebagai penegasan dalam cerita pada sajak puisi negeri bencana. Penekanan vokal u bertujuan untuk membuat puisi terlihat indah dan isi atau pengalaman si pengarang yang ditulis dalam sajak terlihat nyata dan benar-benar terjadi di saat terjadinya bencana. Penggunaan kata yang dipakai si pengarang adalah konotasi yang pada nantinya pemilihan kata menimbulkan perasaan mampu membuat si pembaca seakan-akan ikut merasakan isi puisi dan pendengar terbawa penhyampaian pembacaan puisi tersebut.
Dan dalam puisi  ini dengan bunyi aliterasi s pada kata “tandus” melambungkan suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.2.2. Deep Structure (unsur dalam)
       Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam puisi ini unsur dalamnya adalah pada bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di negeri si aku dan dampak dari bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah terjadi dinegerinya. Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan di tanah yang bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang angin yang tidak seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau bangkai. Jadi puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang terjadi pada negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama puing-puingnya.


2. Analisis Semiotik Puisi “Negeri Bencana” karya Dorotea Rosa
Puisi “Negeri Bencana” terdiri dari 13 baris yang terbagi dalam 4 bait, setiap bait terdiri dari bait pertama 4 baris, bait kedua 3 baris, bait ketiga 3 baris, dan bait terdiri dari 2 baris. Puisi “Negeri Bencana” bila dilihat dari judulnya menggambarkan tentang negeri yang ditimpa bencana. Ketika pembaca melihat judulnya setidaknya yang terpintas dalam pikiran pembaca adalah suatu bencana. Ketika pembaca memasuki isi dari puisi tersebut merupakan gambaran tentang dampak atau akibat yang terjadi akibat bencana yang telah menimpa negeri.  Pada awal puisi sudah ditegaskan kata.
alangkah giris lagu hujan, musim yang
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah pecah dan padang tandus
Pada bait itu pengarang memberikan penegasan, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan dan hamparan negeri yang kering.
Pada puisi ini terdapat simbol setiap baitnya. Penggunan simbolnya, seperti pada bait pertama “tanahtanah pecah dan padang tandus”. Tanahtanah tandus disini sebagai simbol bahwa akibat atau dampak dari bencana yang dialami negerinya. Pada bait ke 2 “tanah bencana mangkukmangkuk bubur diaduk debu” , tanah disini juga bersimbol sebagai akibat kerusakan bencana yang telah terjadii dinegerinya. Dan bait ke 3 , “pasir-pasir tibatiba berdarah”, yang artinya bersimbol sebagai pertumpahan darah korban bencana yang bercampur diantara pasir.
2.1. Kajian Semiotika dengan Model Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan Heuristik dan Hermeneutik - Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau hermeneutika adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaannya, tetapi juga makna (significance) kesastraannya.
2.1.1. Pembacaan Heuristk
Karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung sehingga artinya menjadi jelas, seperti pembacaan berikut ini.
Alangkah giris (cepatnya) (antara) lagu (musim) hujan (maupun) musim (kemarau) yang terlalu cepat menyeberangi (datang) (menjadikan) tanah-tanah pecah dan  (menjadi) padang tandus (yang gersang). (a-)kunikmati (serta) (renungkan) (diri), (merasakan) kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan
(saat hujan turun).
(te-)tapi (aku) tak bisa kurasakan (merasakan) tanah (negeriku lgi) (setelah) bencana (datang) (memporak porandakan). (membuat tanahnya) (menjadi) mangkuk-mangkuk bubur (yang) diaduk debu (atau) (berlubang). Dan (di sana) (ada) burung bangkai yang tak sabar menunggu (bangkai-bangkai) (korban bencana).
(te-)tapi tak bisa kurasakan tubuh yang (begitu)
gemetar (dan) (terasa) (kaku). Tulang-tulang (rasanya remuk) gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah (darah) (berceceran) (di antara) (pasir-pasir).
dengarlah (dan) (akhirnya) angin (pun) : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. (te-)tapi bau daging saudaramu (manusia).

2.1.2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak tersebut belum lengkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua, sebagaimana berikut ini.
Bait pertama: dalam sekejap dan beberapa saat, antara lagu hujan maupun iramanya hingga musim tandus. Gersang. Semuanya terjadi begitu saja.  Bencana yang terjadi. Suatu musibah yang dialami negara si aku. Suasana musim kemarau dapat dirasakan saat si aku menyeberangi tanah-tanah pecah dan tandus. Lalu si tokoh aku merenungkan diri, merasakan kehangatan rindu saat hujan mulai turun.
Bait kedua: tetapi si aku tak bisa merasakan negerinya lagi saat pertempuran menghantam negerinya. Membuat tanahnya menjadi bubur bermangkuk-mangkuk atau berlubang. Dan disana ada burung bangkai yang menanti bangkai-bangkai korban. Korban bencana negerinya.
Bait ketiga: tubuh si aku terasa kaku dan tak dapat dirasakan lagi, tulang-tulang rasanya remuk gemerutuk dan darah berceceran di antara pasir-pasir.

Bait terakhir: dan akhirnya angin pun tak lagi membawa debu melainkan bau darah orang mati. Saudaranya. Dan ia berkata kepada angin bahwa angin tak lagi membawa debu tetapi bau daging manusia.

Asaku

Asaku



Asaku telah pergi
Bersama angin yang menerpa wajah
Kini kaki ini begitu kaku
Haruskah aku berhenti?
Ataukah aku perlu berlari?
Ah entahah
Aku tak tahu
Walaupun terus melangkah
Langkah-langkah ini tanpa arah
Hingga tiba waktuku

Bertemu dengan asaku

By. GP
08062016

Celotehan Petinggi

Celotehan Petinggi



Pendapatmu setinggi bintang di langit
Mengunakan falsafah-falsafah petinggi
Ucapanmu sebijak para petuah
Seindah syair-syair pujian Tuhan
Mengandung makna keindahan alam semesta
Menghipnotis semua insan

Bolehkah Ananda berguru padamu?


By. GP
08062016

DIAM

DIAM


D
I
A
M
Di
Am
Diam
Ya diam
Kau hanya dia
Tuan, jawab aku
Jangan kau diam saja!
Ah bodoh
Kau hanya diam
Aku butuh jawabanmu, tuan
Jawab aku
Jawab aku, tuan

Ah pecundang kau


By. GP
17032016

Jumat, 24 November 2017

Yang Ku Pikirkan

Yang Ku Pikirkan



Tak semudah angin meniup dedaunan
Rasa itu datang perlahan
Tanpa ku ketahui
Ku kira tak kan ada lagi ruang kosong
Karena saat ini aku hanya terkurung menanti
Tak berharap angin sejuk menerpa
Dalam pikirku hanya berharap datang malaikatku
Berpikir bagaimana aku menyapanya dalam senja
Namun...
Itu lenyap
Saat apa yang ku pikirkan itu bertemu dia
Dia yang tak berarti
Tapi saat ini aku khawatirkan


By. GP

24112017

Kursi

Kursi



Seberapa berharganya kursi itu
Sampai-sampai
Banyak orang yang merebutkan
Apakah kursi itu memberi kehidupan?
Kemewahan?
Kenikmatan?
Mereka relalepas apa ynag sudah ada
Hanya untuk kursi butut itu
Tak habis pikir aku
Apakah kau menginginkannya juga?
Tak usah kau diam
Matamu itu sudah mengiyakan
Dasar bangsat kau


By. GP
28102016

Cinta Terpendam

Cinta Terpendam


Biarlah cinta ini mengalir
Tak perlu dinyatankan
Cinta yang terpendam
adalah prestasi
Kenapa?
Darinya kita belajar bersabar
belajar setia
belajar menunggu
serta berlajar akan cinta yang apa adanya


By. GP
24112017

Ketika Kita Jatuh Cinta

Ketika Kita Jatuh Cinta


Ketika kita jatuh cinta
Itu berarti kita siap untuk patah hati
Cinta tak selamanya indah
Perjalanan cinta penuh misteri
Misteri yang membutuhkan sebaran
Menguji hati dan pikiran kita
Bahkan tenaga
Karena cinta sejati tidaklah instan


By. GP
04122016

KARENA KATA (Sapardi Djoko Damono)

Nama               : Gita Puspitasari
NIM                : 13010114130067
Mata Kuliah    : Pengkajian Puisi
Kelas               : B


KARENA KATA
(Sapardi Djoko Damono)

Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri

Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu

Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa

A.  Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.    Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri
Pada bait pertama terdapat asonansi a dan i pada karena,tak, dapat, kata, paling, sepi, hati, sendiri. Juga terdapat aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu
Pada bait kedua terdapat asonansi i dan u pada paling, rindu, kubiarkan, membelenggu, kuucapkan. Aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.
Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa
Pada bait terakhir terdapat asonansi a,i dan u pada karena,tak, dapat, kata, saja, doa, paling, cinta, kuungkapkan, kupasrahkan.
2.    Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada bait pertama diartikan bahwa tak ada kata yang dapat mewakili keadaaan yang begitu sepi sehingga membuat pengarang pasrah dengan hati yang terlantar. Pada bait kedua memiliki arti bahwa pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu sehingga membuat pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti yang terdapat pada bait ketiga ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili perasaan yang begitu mendalam, sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya pada doa yang selalu dipanjatkan.
3.    Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Sapardi Djoko Damono adalah salah seorang pujangga terkenal Indonesia, tak dapat diragukan lagi hasil karya-karyanya. Dia dikenal melalui puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata yang sederhana, sehingga beberapa karyanya sangat populer. Dalam puisi ini pengarang mencoba memberikan penjelasan objek yang ditekankan adalah perasaan-perasaan yang sangat mendalam, sehingga membuat pengarang tak mampu mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
4.    Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa banyak perasaan yang dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga pengarang hanya pasrah dengan memanjatkan doa.
5.    Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi, pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan.
Kupasrahkan saja dalam doa

B.  Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.    Surface Strukture (unsur luar)
1.1.   Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
1.1.1.      Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini tidak memiliki balnk symbol.
1.1.2.      Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini tidak memiliki natural symbol.
1.1.3.      Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat private symbol.
1.2.    Unsur Bunyi
1.2.1.      Rima
1.2.1.1.            Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat asonansi a dan i pada karena,tak, dapat, kara, paling, sepi, hati, sendiri.
b. Pada bait kedua terdapat asonansi i dan u pada paling, rindu, kubiarkan, membelenggu, kuucapkan.
c. Pada bait terakhir terdapat asonansi a,i dan u pada karena,tak, dapat, kata, saja, doa, paling, cinta, kuungkapkan, kupasrahkan
1.2.1.2.            Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
a. Pada bait pertama terdapat aliterasi t pada tak, dapat, kutemukan, kata, kutelantarkan,hati.
b. Pada bait kedua terdapat aliterasi ng pada yang, paling, membelenggu.

1.2.1.3.            Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini memiliki rima akhir yaitu a-b-b
1.2.2.      Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih pada rima akhir. Pada bait pertama /i/, pada bait kedua /u/ dan pada bait terakhir /a/.
Karena tak dapat kutemukan
Kata yang paling sepi
Kutelantarkan hati sendiri
Karena tak dapat kuucapkan
Kata yang paling rindu
Kubiarkan hasrat membelenggu
Karena tak dapat kuungkapkan
Kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa
2.    Deep Structure (unsur dalam)
   Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam puisi ini unsur dalamnya adalah pada bait pertama diartikan bahwa tak ada kata yang dapat mewakili keadaaan yang begitu sepi sehingga membuat pengarang pasrah dengan hati yang terlantar. Pada bait kedua memiliki arti bahwa pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu sehingga membuat pengarang membiarkan hatinya terbelenggu. Arti yang terdapat pada bait ketiga ialah kata cinta yang masih belum bisa mewakili perasaan yang begitu mendalam, sehingga penggarang pasrahkan semuanya hanya pada doa yang selalu dipanjatkan.


C.  Analisis Citraan/Imagery (gambaran angan-angan)
Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra pendengaran (auditory imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata
·         Kata yang paling sepi
·         Karena tak dapat kuucapkan
·         Karena tak dapat kuungkapkan

D.  Analisis Sarana Retorika
Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk  untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam puisi tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya untuk menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas. Misalnya, kata yang paling sepi, kata yang paling rindu, dan kata yang paling cinta.


HERMAN
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1


A.  Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.    Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam puisi ini memiiki pola sajak yang bebas tidak teraturan. Pemenggalan kata terakhir pada tiap baris pun masih saling berkaitan dengan kata pada baris selanjutnya, serta saling berpengaruh satu sama lain.
2.    Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan. Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit yang  lebih dominan berwarna biru bahkan tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada dimanapun dan berbuat apapun.
Baris  kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng! berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya dan harus ditolong.
3.    Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
·         Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah  bumi, bulan, matahari, tubuh, lazuardi, tanah, angin, awan, kata, mulut, dan tangan.
·         Pelaku atau tokoh dalam puisi ini adalah herman.
·         Latar waktu dan tempat dalam puisi ini adalah malam, bumi, bulan, matahari, lazuardi, tanah, dan awan.
·         Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Pengarang memceritakan si Herman, entah itu hanya nama sebutan manusia/hewan/tumbuhan. Herman yang tidak dapat berada dimanapun dan tidak diketahui keberadaannya. Sehingga pengarang menyatakan permintaan pertolongan untuk mencari tahu keberadaan si Herman.
4.    Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Pada baris pertama, herman itu seperti apa dan menunjukkan manusia/hewan/tumbuhan sehingga dia tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Baris kedua lebih menunjukkan bahwa dia tidak hanya tidak dapat berada di bumi maupun bulan. Namun, dia juga tidak dapat berada di matahari bahkan tubuh. Baris ketiga, menunjukkan dia juga tidak dapat berada di langit, tanah dan angin. Baris keempat, menjelaskan bahwa dia tidak dapat berada di awan, dan kata. Baris kelima, menunjukkan kalau dia juga tidak dapat berada di mulut, dan tangan. Baris keenam, pengarang semakin menunjukkan bahwa herman memang tidak bisa, tidak bisa dan tidak bisa dimanapun dan segalanya. Baris ketujuh, pengarang menunjukkan kalau herman memang tidak bisa berada dimanapun hingga dia mencari keberadaan herman. Pada baris terakhir pengarang  pengarang menyerukan permintaan tolong untuk mencari keberadaan si Herman.
5.    Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini lapis metafisisnya adalah  menunjukkan suasana keresahan, kebingungan, ketidaktentuan dan kerisauan.

B.  Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.    Surface Strukture (unsur luar)
1.1.   Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
1.1.1.      Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini blank symbolnya adalah biru di lazuardi.
1.1.2.      Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena air, dan lain-lain. Puisi ini natural symbolnya adalah bumi, malam di bulan, matahari, angin, awan.
1.1.3.      Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini tidak terdapat private symbol.
1.2.    Unsur Bunyi
1.2.1.      Rima
1.2.1.1.            Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola sajak yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap baris masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.2.            Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini tidak ada karena puisi ini menggunakan pola sajak yang bebas, tidak beraturan sehingga pemenggalan kata terakhir setiap baris masih saling berkaitan satu sama lain.
1.2.1.3.            Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini tidak memiliki rima akhir.
1.2.2.      Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama dalam puisi ini ditujukkan dengan adanya peneekankan dalam kata tak bisa.
2.    Deep Structure (unsur dalam)
     Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Deep structure dalam puisi ini adalah:
Pada baris pertama, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan memiliki arti bahwa herman tak dapat berada di bumi serta dibulan. Dia tak dapat hidup dibumi maupun mencari cahaya malam rembulan.
Pada baris kedua, tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh di tubuh berarti si Herman tidak dapat berada di matahari herman serta tidak dapat mengikuti atau menempati tubuh. Dia tidak dapat menikmati kehangatan matahari dan mencari keteduhan dalam tubuh.
Dalam baris ketiga tak biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah diartikan bahwa dia tidak dapat menempati atau berada di langit yang  lebih dominan berwarna biru bahkan tidak bisa berada di tanah.
Dalam baris keempat, tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan memiliki arti bahwa herman tidak dapat berada di awan karena dia tidak dapat terbang. dan tidak dapat berucap dengan kata.
Dalam baris kelima, tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut berarti dia tidak dapat berucap dalam diamnya.
Baris keenam, tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa berarti bahwa dia tidak dapat berpegangan pada tangan sehingga menegaskan bahwa herman tidak akan bisa apa-apa dan dimanapun.
Baris ketujuh, di mana herman? Kau tahu? si penulis menunjukkan kalau dia kebingungan tidak tahu dimana herman berada karena si herman tidak dapat berada dimanapun dan berbuat apapun.
Baris  kedelapan, tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng! berarti si penulis memperlihatkan kalau herman tidak diketahui keberadaannya dan harus ditolong.

C.  Analisis Citraan/Imagery (gambaran angan-angan)
Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah Citra penglihatan (visual imagery). Citraaan pengihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan, memberi rangsangan pada indera penglihatan hingga sering hal-hal yang tak terlihat menjadi seolah-olah terlihat. Misalnya, malam di bulan, biru di lazuardi.

D.  Analisis Sarana Retorika
Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk  untuk menciptakan gaya bahasa.
Dalam puisi tersebut sarana retorikanya adalah
·         hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya untuk menyangatkan, untuk itensitas dan ekspresivitas. Dalam setiap baris dijelaskan Herman tidak bisa apapun dan dimanapun.
·         Tautologi, yaitu sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, supaya arti kata/keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca/pendengar. Misalnya, herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan.