Gita
Puspitasari
13010114130067
Sastra
Indonesia/semester 4
Kelas
B
UAS
Pengkajian Puisi
NEGERI
BENCANA
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
(Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999)
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
(Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999)
1. Analisis Struktural Puisi “Negeri
Bencana” karya Dorotea Rosa
1.1. Analisis Strata (Lapis) Norma
Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem
norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing
norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis
Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische
Kuntswerk (Rachmat Djoko Pradopo,
2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama
yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti
(units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang,
lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis
metafisis.
1.1.1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang
terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang,
dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi
berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa
satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh
bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi,
pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi
yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan
efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang
berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain,
bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi.
Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan
yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan
kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi
adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya
pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu
menimbulkan kesan keindahan bunyi.
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Pada bait pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi. Juga terdapat aliterasi p dan k pada pecah, padang, kunikmati, kehangatan.
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
Pada bait kedua terdapat asonansi a dan u pada tapi, tak,
bisa, bangkai, sabar, mangkuk, bubur, diaduk, debu. Aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung,
bangkai.
tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
Pada bait ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak, bisa, gemetar, gemerutuk. Aliterasi t dan g pada tapi, tak, tubuh, gemetar, gemerutuk.
dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
Pada bait terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.
Untuk aliterasi pada bait ini tidak ada.
1.1.2. Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata
frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian
kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.
Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan
menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan
keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
pada bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di
negeri si aku dan dampak dari bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah
terjadi dinegerinya. Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan
di tanah yang bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang
angin yang tidak seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau
bangkai. Jadi puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang
terjadi pada negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama
puing-puingnya.
1.1.3. Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang
dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang
adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Dorothea Rosa adalah salah seorang
penyair wanita terkenal Indonesia, sehingga tak dapat diragukan lagi
karya-karyanya. Karya-karyanya beraliran feminis. Dalam karyanya Dorothea
berusaha merebut sebuah ruang di antara dominasi lelaki, dengan membangun
teks-teks puisinya sebagai sebuah labirin gender. Namun dalam puisi ini
Dorothea mencoba memberikanpenjelasn objek yang ditekankan adalah dampak dari
bencana yang melanda negeri.
1.1.4. Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak
ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko
Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait-bait puisi tersebut
pengarang menggambarkan bahwa bahwa suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat
bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.1.5. Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna
dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang
menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu
filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan
menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis
merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi
di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan suasana
yang terjadi setelah bencana dan si pengarang pasrah akan apa yang terjadi. Ini
begitu dijelaskan pada bait pertama:
alangkah
giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Sajak tersebut mengawali penegasan
kata, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan. Dan hamparan
negeri yang kering. Serta membuat pengarang merengkan diri, atas bencana yang
terjadi, kerinduan saat hujan turun.
1.2. Analisis Struktur
Pembentuk Puisi Riffaterre
1.2.1.
Surface Strukture (unsur luar)
1.2.1.1. Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi
berupa:
a. Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang
acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan.
Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi
ini tidak memiliki balnk symbol.
b. Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi
kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena alam, dan
lain-lain. natural symbol yang ada dalam puisi ini adalah padang tandus, hujan, bencana.
c. Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang
mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk
mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini memiliki private
symbol adalah lagu hujan, mangkuk-mangkuk bubur
diaduk debu.
1.2.1.2. Unsur Bunyi
1.2.1.2.1. Rima
a. Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau
perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada
puisi ini ialah sebagai berikut:.
·
Pada bait
pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi.
·
Pada bait
kedua terdapat asonansi a dan u pada
tapi, tak, bisa, bangkai, sabar, mangkuk,
bubur, diaduk, debu.
·
Pada bait
ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak, bisa, gemetar,
gemerutuk.
·
Pada bait
terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.
b. Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris
puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan
seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah
sebagai berikut:
·
Pada
bait pertama terdapat aliterasi p dan k pada pecah,
padang, kunikmati, kehangatan.
·
Pada bait
kedua terdapat aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung, bangkai.
·
Pada bait
ketiga terdapat aliterasi t dan g
pada tapi, tak, tubuh, gemetar,
gemerutuk.
·
Pada bait
terakhir puisi ini tidak memiliki aliterasi.
c. Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini tidak
memiliki rima akhir.
1.2.1.2.2. Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin
dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih
pada rima akhir. Puisi ini memiliki
irama berupa suara teratur pada awal dan akhiran vokal u pada bait pertama menunjukkan penekanan sebagai penegasan dalam
cerita pada sajak puisi negeri bencana. Penekanan vokal u bertujuan untuk
membuat puisi terlihat indah dan isi atau pengalaman si pengarang yang ditulis
dalam sajak terlihat nyata dan benar-benar terjadi di saat terjadinya bencana.
Penggunaan kata yang dipakai si pengarang adalah konotasi yang pada nantinya
pemilihan kata menimbulkan perasaan mampu membuat si pembaca seakan-akan ikut
merasakan isi puisi dan pendengar terbawa penhyampaian pembacaan puisi
tersebut.
Dan dalam puisi
ini dengan bunyi aliterasi s
pada kata “tandus” melambungkan suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat
bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.2.2.
Deep Structure (unsur dalam)
Makna yang terkandung dibalik kata-kata
yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam puisi ini unsur dalamnya adalah pada
bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di negeri si aku dan dampak dari
bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah terjadi dinegerinya.
Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan di tanah yang
bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang angin yang tidak
seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau bangkai. Jadi
puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang terjadi pada
negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama puing-puingnya.
2. Analisis Semiotik Puisi “Negeri
Bencana” karya Dorotea Rosa
Puisi “Negeri Bencana” terdiri dari 13
baris yang terbagi dalam 4 bait, setiap bait terdiri dari bait pertama 4 baris,
bait kedua 3 baris, bait ketiga 3 baris, dan bait terdiri dari 2 baris. Puisi
“Negeri Bencana” bila dilihat dari judulnya menggambarkan tentang negeri yang
ditimpa bencana. Ketika pembaca melihat judulnya setidaknya yang terpintas
dalam pikiran pembaca adalah suatu bencana. Ketika pembaca memasuki isi dari
puisi tersebut merupakan gambaran tentang dampak atau akibat yang terjadi
akibat bencana yang telah menimpa negeri. Pada awal puisi sudah ditegaskan kata.
alangkah
giris lagu hujan, musim yang
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah pecah dan padang tandus
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah pecah dan padang tandus
Pada bait itu pengarang
memberikan penegasan, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan
dan hamparan negeri yang kering.
Pada puisi ini terdapat
simbol setiap baitnya. Penggunan simbolnya, seperti pada bait pertama “tanahtanah pecah dan padang tandus”.
Tanahtanah tandus disini sebagai simbol bahwa akibat atau dampak dari bencana
yang dialami negerinya. Pada bait ke 2 “tanah
bencana mangkukmangkuk bubur diaduk debu” , tanah disini juga bersimbol
sebagai akibat kerusakan bencana yang telah terjadii dinegerinya. Dan bait ke 3
, “pasir-pasir tibatiba berdarah”, yang
artinya bersimbol sebagai pertumpahan darah korban bencana yang bercampur
diantara pasir.
2.1. Kajian Semiotika dengan Model Pembacaan Heuristik
dan Hermeneutik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan Heuristik dan Hermeneutik -
Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama,
yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau
hermeneutika adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini
berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan
berdasarkan konvensi sastra. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak
saja arti kebahasaannya, tetapi juga makna (significance) kesastraannya.
2.1.1. Pembacaan Heuristk
Karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan
struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk
menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan
bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata
dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu,
kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh
dalam tanda kurung sehingga artinya menjadi jelas, seperti pembacaan berikut
ini.
Alangkah giris (cepatnya) (antara) lagu
(musim) hujan (maupun) musim (kemarau) yang terlalu cepat menyeberangi
(datang) (menjadikan) tanah-tanah pecah dan (menjadi) padang tandus (yang gersang). (a-)kunikmati
(serta) (renungkan) (diri), (merasakan) kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan (saat hujan turun).
bersama uap hujan (saat hujan turun).
(te-)tapi (aku) tak bisa kurasakan (merasakan) tanah
(negeriku lgi) (setelah) bencana (datang) (memporak porandakan). (membuat
tanahnya) (menjadi) mangkuk-mangkuk bubur (yang) diaduk debu (atau) (berlubang).
Dan (di sana) (ada) burung bangkai yang tak sabar menunggu (bangkai-bangkai)
(korban bencana).
(te-)tapi tak bisa kurasakan tubuh yang (begitu)
gemetar (dan) (terasa) (kaku). Tulang-tulang (rasanya remuk) gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah (darah) (berceceran) (di antara) (pasir-pasir).
gemetar (dan) (terasa) (kaku). Tulang-tulang (rasanya remuk) gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah (darah) (berceceran) (di antara) (pasir-pasir).
dengarlah (dan)
(akhirnya) angin (pun) : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. (te-)tapi bau daging saudaramu (manusia).
debu-debu. (te-)tapi bau daging saudaramu (manusia).
2.1.2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti
kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak tersebut belum lengkap.
Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan
retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan
konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua, sebagaimana berikut ini.
Bait pertama: dalam sekejap dan beberapa saat, antara
lagu hujan maupun iramanya hingga musim tandus. Gersang. Semuanya terjadi
begitu saja. Bencana yang terjadi. Suatu
musibah yang dialami negara si aku. Suasana musim kemarau dapat dirasakan saat
si aku menyeberangi tanah-tanah pecah dan tandus. Lalu si tokoh aku merenungkan
diri, merasakan kehangatan rindu saat hujan mulai turun.
Bait kedua: tetapi si aku tak bisa merasakan negerinya
lagi saat pertempuran menghantam negerinya. Membuat tanahnya menjadi bubur
bermangkuk-mangkuk atau berlubang. Dan disana ada burung bangkai yang menanti
bangkai-bangkai korban. Korban bencana negerinya.
Bait ketiga: tubuh si aku terasa kaku dan tak dapat
dirasakan lagi, tulang-tulang rasanya remuk gemerutuk dan darah berceceran di
antara pasir-pasir.
Bait terakhir: dan akhirnya angin pun tak lagi membawa debu melainkan bau
darah orang mati. Saudaranya. Dan ia berkata kepada angin bahwa angin tak lagi
membawa debu tetapi bau daging manusia.