Jumat, 24 November 2017

NOVEL SEROJA KARYA SUNARYONO BASUKI: KAJIAN FEMINISME MULTIKULTURAL

NOVEL SEROJA KARYA SUNARYONO BASUKI: KAJIAN FEMINISME MULTIKULTURAL
Gita Pupitasari 13010114130067
Mahasiswa Sastra Indonesia 2014, Fakultas Ilmu Budaya


Abstrak: Adat dan istiadat yang ada di  Indonesia sangat kental dengan adanya kelas sosial  atau kasta. Ini menimbulkan  perempuan menjadi korban atas kasta itu sendiri. Karena dalam kasta  perempuan hanyanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki, sedangkan laki-laki merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Dengan kajian feminism multikultural dalam novel Seroja karya Sunaryono Basuki mencoba menggali ketidakadilan dan ketertindasan terhadap perempuan khususnya perempuan Bali yang terkekang dengan adat dan istiadat yang sudah ada secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Kata kunci: feminisme multicultural, adat dan istiadat, dan perempuan.

1.      Pendahuluan
Sastr adala ungkapan   pengalaman pemikiran perasaan ide semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret dengan alat bahasa. Pengertian pengalaman tidak harus selalu merujuk pada pengungkapan pengalaman pribadi seorang individu saja. Dengan daya imajinasi yang tinggi dan daya pengamatan yang teliti dan tajam, dapat d iciptakan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang bisa jadi juga  bersumber dari  masyarakat  umum.  Dalam pengertian di atas  sastra dapat digolongkasebagai salah satu produk budaya.
Karya  sastra  sebagai  salasatproduk  bud aya  dapat  menyuarakan  hak-hak perempuan. Kehadirannya dapat memberi informasi kepada para pembaca mengenai bentuk-bentuk penindasan terhadap peremp uanKeberadaan perempuan dalam karya sastra juga merupakan suatu perwujudan adanya semb oyatersemb unyi pada d iri seorang perempuan mengenai keadaan yang sesungguhnya dari keterlibatannya dalam konstruksi  suatu   masyarakat.     Dalam  interrelasi  peremp uan  dan  b udaya,  sumber konflik masyarakat secara umum tidak jauh dari pandangan bahwa    terdapat kebimbangan-kebimbangan tekstual yang mengacu pada   realitas. Sebagian besar perempuan dalam karya sastra dihadirkan sebagai tokoh yang inferior. Stereotip yang disimbolisasikan pada perempuan mengukuhkan posisi perempuan yang tidak akan pernah bisa sama dengan laki-laki karena mearjinalisasi perempuan adalah cara pandang masyarakt umum dalam menilai kedudukan laki-laki dan perempuan. Menurut   kaum feminis, peremp uan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain,  yaitu laki-laki sesuai dengan tulisaEngels  (Hayat & Surur, 2005:25)
Permasalahan yang  terjadi dalam kehidupan peremp uatelamenjadi sumber inspirasi bagi para peremp uan pengarang, bahkan laki- laki, untuk men- ciptakan suatu kary yang  mewak ili  kenyataan  hidu keseharian  seorang  pe-  remp uan.  Posisi perempuan yang dianggap sebagai warga kelas dua the other(liyan) merupakan bukti nyata bahwa sejak dahulu kala perempuan d iposisikan sebagai warga kelas dua, di bawah laki- laki.
Dalam tulisan ini akan menganalisis feminisme dalam sebuah novel, yaitu Seroja karya Sunaryono Basuki. Sunaryono Basuki merupakan seorang begawan sastra yang dimiliki Indonesia. Seroja karya Sunaryono Basuki merupakan salah satu contoh karya sastra dari sekian  banyak  karya  sastra  yang menguak perempuan di balik belenggu budaya dan tradisi yang memenjarakan hak dan keinginan untuk membuat suatu keputusan. Seroja karya Sunaryono Basuki adalah salah satu contoh novel yang dilatarbelakangi oleh kisah para perempuan multikultural yang ada di Indonesia. Novel ini melatarbelakangkan kehidupan perempuan Bali yang hidup dalam belenggung adat dan istiadat yang sangat mengurungnya. Adat dan istiadat yang tidak bisa dirobohkan karena sudah ada secara turun-temurun.

2.      Metode
2.1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi pustaka dan tidak terikat dengan tempat penelitian. Dengan sumber-sumber primer   dan  sekunder   dengan   menggunakan   kaidah deskriptif analitis dan komparasi. Metode penelitian kualitatif deskriptif yaitu penggunaan kata-kata atau kalimat dalam struktur yang logis untuk menjelaskan konsep-konsep  dalam hubungan  satu  dengan  yang lainnya .
Dalam penelitian ini juga digunakan metode feminis yang merupakan satu metode untuk memberikan  ruang bagi representasi  perempuan,  mengakui  cara berpikir dan berpengetahuan  perempuan dan laki-laki, dan mempertimbangkan pengalaman       hidup      perempuan      beses rta      keseluruhan       subjektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Metode feminis yang digunakan adalah feminisme multikultural.  
2.2. Sumber Data dan Langkah Kerja
Ada dua kategori sumber dalam penelitian ini, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah bahan yang menjadi objek analisis. Objek analisis terdiri atas objek formal dan objek material. Objek formal dilatarbelakangi oleh permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, sedangkan objek material berupa novel ”Seroja” karya Sunaryono Basuki.
Sumber sekunder merupakan sumber pendukung penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan tentang objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini sepenuhnya dilakukan melalui studi kepustakaan. Langkah kerja yang dilakukan adalah membaca, mencatat, dan mengkaji rujukan-rujukan yang berhubungan dengan objek penelitian.

3.      Landasan Teori
Karya sastra adalah luapan pikiran pengarang yang dilatarbelakangi khidupan sehari-hari atau peristiwa yang terjadi di sekitar pengarang atau terjadi pada saat itu. Sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin, sastra memantulkan kehidupan setelah menilai dan memperbaikinya. Pengarang menciptakan sastra sebab membutuhkan citraan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tidak diketahui di dunia nyata. Itulah sebabnya, setidaknya menurut Wolfgang Iser, sastra tidak tergusur oleh perkembangan filsafat sejarah dan teori sosiologi, yang juga merupakan cermin diri, sebab sastra pada dasarnya justru mencerminkan yang tidak ada. Sastra menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan yang tidak terpentaskan dalam kenyataan sehari-hari (Damono, 2009:4).
Sebagai hasil imajinatif, selain sebagai hiburan yang menyenangkan, karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman batin bagi pembacanya. Hal ini sejalan dengan adanya sifat sastra sebagai “dulce et utile” (Horace melalui Wellek dan Warren, 1989:316). Dengan demikian, sebuah karya sastra yang baik adalah karya sastra yang tidak hanya dilihat dari berhasilnya merangkaikan kata-kata saja, melainkan juga ditentukan oleh makna yang terkandung di dalamnya.
Feminisme Multikultural
Peremp uan dalam teks sastra tidak jauh berbeda dengan realitas karena realitas yang ada dalam teks sastra merupakan perwujudan representasi dari kenyataan. Penggambaran peremp uan dalam sastra merupakan bentuk pernyataan dan resistensi bahwa keberadaan mereka tidak mudah untuk dirasionalisasikan dalam bentuk penguasaadan  penindasan  o leh  budaya  datradisi.  Umpanya,  berbagai  masalah peremp uan yang timb ul  d penjuru  Indonesia  d idoro ng o leh faktor konflik pribadi dengan  lingkungan,  bahkan  dengan  keluarga  terutama  terhadap  suami    (lak i- lak i), yang d ikenal o le peremp uan sebagai pelindung dan pengayom bagi diri  mere ka send iri. Sebagaimana peremp uan diproyeksikan sebagai warga kelas dua dalam lapisan masyarakat,  maka kemungk inan  b uruk  bisa  saja  terjadi antara peremp uaterseb ut. Semua itu diakibatkaadanya perbedaan dalam komunitas  perempuan itu sendiri.
Sejarah gerakan feminisme mulai muncul secara masif pada dekade 1960an yang awalnya dipicu oleh kesadaran perempuan pengarang yang merasa dianaktirikan oleh para kritikus sastra. Secara kritis para perempuan pengarang ini mempertanyakan dominasi karya  laki- laki pengarang  dalam kanosastra.  Dengan cepat  gerakaini menyebar melampaui batas etnis dan gender (Rivkin  dan Ryan, 1998:528).
Desawa ini kritifeminisme berkembang dalam berbagai aliran. Darma (dalam Horison edisi Des 2008:12) membagi kritifeminisme ke dalam empat aliranyaitu feminis liberal, feminis radikal, feminis marxis, dan feminis sosialis. Sementera Tong (2006) dalam bukunyFeminist Thought   mengelompokkan aliran-aliran feminis ke dalam feminisme liberal, femininsme radikalfeminis marxis dan sosialisfeminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialisfeminsme postmodernfeminisme multikultural  dan  global,  dan  ekofenisme.  Dari  berbagai  ragam  aliran  feminisme tersebut,  artikel  ini  memanfaatkaaliran  feminisme  multicultural  untuk  mengkaji cerpen.
Titik  tolak  dari  feminisme  multkultural dan  globa l  adalah  bahwa  Diri itu terpecah dan keterpecahan ini lebih berdasarkan pada aspek-aspek budaya, rasial, dan etnik  daripada seksual psikologis dan sastrawi (Tong,  2006:309)Lebijauh  Tong menyatakan bahwa feminisme multikultural dan global menolak esensialme perempuan dan chauvinisme perempuanEsensialme perempuan mengacu pada pandangan yang bedasarkan pada filsafat platonik, yaitu makluk perempuan ada sebagai perwujudan dan gagasan tentang perempuan.  Cahuvinisme perempuan merujuk pada sikap sekelompo k kecil perempuan yang diuntungkan oleh ras dan kelas mereka, mereka merasa berhak berbicara sebagai wakil perempuan.
Menurut Arivia (2005 :14), feminism multicultural dan global mempermasalahkaide  bahwa ketertindasan peremp uan  itsatu  definisi,  artinya hanya  d ilihat  bahwa  ketertindasan  terhadap  peremp uan  terjadi  dalam  masyarakat patriarkhal. Padahal, menurut feminisme multikultural ketertindasan perempuan berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, umur, agama, pend idikan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Feminis multikultural  gelisah   melihat  teor feminisme yang gagal membedakan peremp uan k ulit putih dan dari negara maju dengan pe- remp uan kulit  berwarna dari negara berkembang.
Anggapan Arivia memb uk tikan bahwa peremp uan yang berada di Dunia Ketiga telah mengalami berbagai persoalan yang disebabkan o leh budaya patriark i. Akan tetapi, hal itu tidak cukup sampai di sana karena adanya permasalahan  yang  lebih  kompleks. Perbedaan ras,  kelas,  umur,  agamapendidikandan k esempatan  kerj d antara peremp uan dapat menjadi pemicu utama timb ulnya suatu konflik yang berkepanjangan. Perkembangan gejala secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan adanya perbedaan  b udaya  yang  mengakui  dan  mendoro ng  terwujudnya  pluralisme  budaya sebagai corak kehidupan kemasyarakatan. Hal itu sejalan dengan pandangan Mahayana (2005 :297)  yang  mengatakan bahwa  munculnya  multikulturalisme    d ilatarbelakangi oleh  keyak inan  bahwa  secara  sosial  semua  kelo mpok  b udaya  dapat  d iwujudkan, direpresenta- sikan, dan dapat hidup berdampingan. Selaiitudiyakini p ula bahwa rasisme dapat d ireduksi o leh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan  kebudayaan-kebudayaan  lain.
Di samping itu, p eranan dan posisi peremp uan dalam masyarakat d imaknai o leh bentuk nilai dan norma yang secara langsung d iciptakan oleh budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang meno morsatukan lak i- lak iBudaya  ini masih dipegang kuat  oleh  masyarakat  yang  menempatkan  penderitaan  perem-  p uan  bersifat  lintas agama, kesukuan ataupun atrib ut-atrib ut lainnya (Baso dalam Hayat & S urur, 2005:5). Penerimaan peremp uan sebagai warga kelas dua atau the other liyan’   menimbulkan ambivalensi antara  berada  pada  posisi  yang  d iatur,  d ikontrol,  dapeno lakaserta pemberontakan d iri terhadap ornamen b udaya yang telah mengekang hak-hak mereka sebagai manusia  seutuhnya.
Adanya     peremp uan     sebagai    the other ini menimb ulkan alienasi terhadap dirinya. Peremp uan d ibatasi hanya sebagai pemilik rahim tota mulier in utero atau woman is womb . Pad ahal, menurut eksistensialisme, manusia dikutuk bebas (man is condemned to be free) termasuk  manusia peremp uanHanya saja,  pada peremp uan, dalam  relasi  sosial,   laki- laki  melihatnya  sebagai  objek  dan  eksistensinya  selalu dibayangi o leh eksistensi orang lain (Arivia, 2005 :14). Eksistensi seorang peremp uan tidak pernah dilihat sebagai satu kesatuan dari bagian kehidupan sosial masyarakat, tetapi memperlihatkan hegemoni      ind ividual terhadap kekuasaan yang mendoktrinisasik an perbedaan laki- laki dan perem- puan. Peremp uan hanya dianggap sebagai objek pendukung.

4.      Pembahasan
Dalam novel ini begitu jelas feminisme yang ingin disampaikan ke pembaca oleh pengarang. Pengarang mencoba menceritakan bagaimana ketidakadilan terhadap perempuan yang ada di Indonesia. Selama ini kita hanya tahu ketidakadilan itu terjadi di luar negeri, tanpa kita ketahui yang ada dalam negeri. Ketidakadilan perempuan bisa terjadi di manapun dan kapanpun tanpa memandang ras tau bangsa. Biasanya ketidakadilan itu terjadi pada keluarga. Dalam novel ini ketidakadilan ini tidak hanya berawal dari keluarga namun juga berasal dari adat dan istiadat yang sudah ada turun-temurun sejak nenek moyang kita. Sebagai mana kita ketahui adat dan istiadat di daerah Bali itu memandang kasta. Karena adanya kasta itu perempuan Bali tidak berdaya, mereka harus mematuhi adat dan istiadat yang ada tanpa boleh memberontok. Jika mereka memberontak bagi petinggi adat akan dianggap itu sebuah kutukan.
4.1. Ketidakadilan yang Dirasakan Setiap Tokoh Perempuan Dalam Novel Seroja
Tokoh-tokoh perempuan Bali yang menjadi sorotan dalam Seroja, di antaranya Ni Ketut Resmi (Jero Seroja), Ni Gusti Ayu  Nyoman Putri  (cucu Seroja), dan Gusti Ayu Dewi (bibi Ayu Putri). Tokoh tersebut memberikan gambaran tentang perlawanan seorang perempuan dalam menghadapi konflik sosio-budaya Bali.
Mekele Seroja sadar diri akan statusnya, walaupun sebagai perempuan pada umumnya dia memang dilamar, menjadi bagian dari keluarga besar ini, namun bukan berarti dia memiliki hak yang setara dengan para Gusti Ayu dalam keluarga ini. Tempatnya tetap  berada di bawah, dianggap rendah. Untuk duduk pun dia tidak akan setara dengan perempuan lain dari keluarga itu. Derajatnya lebih rendah dari anak-anak kandungnya, yang hanya memanggilnya meme  bukan biyang. Itulah yang harus dia rasakan, tidak bisa mendengar anak kandungnya memangginya biyang hanya karena dia berasal dari kasta sudra. Kasta yang lebih rendah dari kasta keluarga suaminya. Ini semua tidak adil, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam perkembangan kebudayaan di Bali, masyarakat setempat mengganggap kaum laki-laki merupakan kepala keluarga dan pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga serta pemegang kekuasaan. Dalam novel ini dijelaskan bahwa apabila seorang laki-laki mempersunting seorang istri yang berasal dari kasta rendah (sudra), sang istri tersebut tidak berhak berbicara, kedudukannya pun  tetap dianggap rendah walaupun sudah melahirkan anak dari suami yang berkasta lebih tinggi (ksatriya). Dalam novel ini dijelaskan walaupun sang perempuan tersebut telah melakukan berbagai uapacara adat untuk membersihkan diri mereka. Dalam kehidupan sehari-hari si perempuan itu hanya bertugas mengurus suami dan anaknya. Bahkan dalam istilah orang Bali si anak yang dilahirkan perempuan tersebut  hanya menumpang lahir di rahimnya. Si perempuan itu harus memanggil anaknya Gusti Putu sesuai dengan kasta suaminya. Mereka pun bagi pihak keluarga lelaki tetap dianggap rendah, bahkan ada yang beranggapan itu merupakan aib.
Ni Ketut Resmi (Jero Seroja) sangat menjunjung tinggi adat tradisi leluhurnya serta sangat patuh kedapa kedua orang tuanya. Sebagai perempuan Balyang menjadi bagian konstruksi sosial, dia harus menjaga tingkah lakunya demi mempertahankan adat dan tradisi termasuk membayar mahal dengan mengorbankan harga dirinya sebagai perempuan. Bagi perempuan Bali, adat dan tradisi harus dijunjung tingg dari segalanya sehingga tidak boleh mempertanyakan, menggugat apalagi mendobrak. Kaum lelaki bagi mereka adalah pemimpin sehingga mereka merupakan unjung tonggak dari adat dan istiadat yang ada.
Ketertindasan  perempuan  akibat adat dan tradisi yang dialami tokoh Jero Seroja, membuat perempuan tersebut melakukan  perlawanan  tanpa  melawan tradisi yang berlaku di keluarga suaminya, yaitu dengan bersikap diam dan melihat peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam keluarga besar suaminya. Sikap diamnya itu merupakan laupan atas rasa kekecewaan yang ia rasakan sebagai perempuan yang tertindas. Ia masih dengan kebiasaan lamanya, duduk menyendiri di bawah gedebeg, makan sela (ketela) kukus, kadang makan pisang rebus (Basuki, 2009). Karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Jero Seroja pun harus menerima kalau dirinya dimadu, suaminya menikah lagi dengan perempuan yang satu kasta dengan kasta suaminya.
Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh tokoh Jero Seroja terhadap keluarga besar suaminya, dengan duduk menyendiri menikmati makanan semasa ia tinggal di desa bersama orang tuanya. Ini membuktikan bahwa menikah dengan kasta di atasnya serta  memiliki harta yang melimpah tidak menutup kemungkinan bahwa batinnya tetap tidak tenang. Karena adat dan istiadat yang tetap kokoh dan dia hanya bisa melawan dengan bersikap diam.
Dalam realita yang ada, laki-laki ingin mendominasi kehidupan. Ia akan merasa memiliki kekuasaan atas perempuan setelah menikahi dan mendapatkan anak. Dia bisa menikah dengan perempuan lain jika ia menghendaki. Sedangkan perempuan harus mematuhi suaminya dan tidak boleh mealanggar apa yang sudah ditetapkan oleh adat dan istiadat yang ada.
Inilah yang dimaksudkan dengan relasi kuasa antara perempuan yang berada dalam posisi subaltern dengan   masyarakat/budaya/tradisi yang  telah direpresentasikan sendiri. Perempuan tradisi  mendoktrin perempuan lain dalam arti anak perempuannya sebagai objek dari kegiatan nenek moyang yang telah turun-temurun. Ini mencerminkan tipe perempuan Hindu Bali, yang memiliki watak daivi sampat, suatu sifat yang menyebabkan seseorang bersifat baik atau mulia, misalnya tidak gentar, suci hati, bijaksana, dermawan, jujur, bakti, dan hidup sederhana (Titib, 1998:15). Walaupun diperlakukan tidak adil Jero Seroja tetap menerima dengan ikhlas dan pasrah.
Di sisi lain, sosok perempuan seperti Jero Seroja mencerminkan sosok perempuan yang pasif dan objek untuk menyenangkan kaum pria. Sosok perempuan seperti itu memiliki keinginan untuk mengorbankan dirinya bagi kepentingan orang lain, bahkan rela memberikan     nyawanya     (Showalter, 1985:69).   Berbeda   dengan   tokoh   Ni Gusti Ayu Nyoman Putri (cucu Seroja), yang beranggapan bahwa kasta ksatria (bangsawan) penuh kebohongan dan kemunafikan. Dia mencintai seorang laki-laki berkebangsaan Inggris. Ayu Mang, begitu ia dipanggil oleh teman-temannya. Dia berani mendobrak adat dan tradisi  yang  selama  ini  mengurungnya. Bahkan, ia rela keluar dari keluarga besar serta berpindah keyakinan  dan  hidup  bersama  kekasihnya dengan  kewarganegaraan baru.  Ayu  Mang  meninggalkan nama dan gelar dari keluarganya dan memilih menjadi warga Inggris dengan nama     Cynthia     Littlejhon     (Basuki, 2009:144—145).
Ni Gusti Ayu Putri mendobrak tradisi nenek moyangnya dengan seseorang tidak harus menikah dengan kasta yang sama. Pernikahan itu harus dilandasi dengan rasa kasih sayang dan cinta. Dalam kehidupannya selama ini dia merasa tidak dihargai, dihargai setelah meninggalkan adat  istiadat  nenek moyangnya. Serta merasa kedudukannya setara dengan suaminya.
Tokoh  Gusti Ayu Dewi (bibi Ayu Putri) memiliki karakter yang menjunjung tinggi tradisi kebangsawanannya. Adat dan tradisi yang mengekang telah mempengaruhi cara berpikirnya,  yang merasa dirinya tidak pernah punya saudara yang sudah menikah keluar dari keluarga besarnya. Sehingga baginya keponakan yang berasal pernikahan berbeda kasta merupakan sebuah kutukan dan baginya bukan keluarga lagi. Kutukan itu terjadi karena kakek Ni Gusti Ayu Putri menikahi Ni Ketut Resmi (Jero Seroja) yang berasal dari kasta rendah (sudra).
Jadi, tokoh-tokoh perempuan dalam novel Seroja merupakan representasi perempuan Bali dalam mempertanggung jawabkan ke eksistensiannya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Terlepas dari pengakuan mereka terhadap dominasi budaya dan  tradisi  yang dibuat laki-laki. Pemberontakan yang dilakukan Seroja dan Ayu Putri merupakan suara hati perempuan Bali yang jenuh dan mencoba memberontak budaya (patriarki) tradisi yang mengikat kebebasan mereka untuk memilih dan berpendapat, sedangkan Gusti Ayu Dewi sebagai simbol perempuan yang sangat mengagungkan tradisi sehingga selalu mencoba mempertahankan tradisi kebangsawanan yang melekat pada dirinya.
4.2. Kesadaran Perempuan Bali Akan Kesetaraan Antara Kaum Laki-laki dan Perempuan
Dalam novel ini pengarang menggambarkan kesadaran akan kesetaraan hak antara kaum laki-laki dan perempuan melalui pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam cerita ini. Mereka menyadari selama ini adat dan istiadat yang ada memperlakukan mereka bagaikan pelengkap bagi kaum laki-laki.
Dalam novel ini juga pengarang mencoba menunjukan bahwa adat dan istiadat yang selama ini ada di Bali dari nenek moyang mereka itu tidak adil bagi kaum perempuan sana. Perempuan Bali tertindas dan mereka tidak diperbolehkan untuk memberontak atas apa ygb usdah ada selama ini.
Dalam ini digambarkan oleh tokoh perempuan yaitu Seroja dan Ayu Putri. Mereka melakukan ini demi suara hati yang selama ini merasa tertindas, jenuh dan ingin bebas akan adat dan istiadat yang ada. Namun disisi lain pengarang juga menggambarkan sosok perempuan yang tetap mempertahankan adat dan istiadat itu yaitu tokoh Gusti Ayu Dewi.
Pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh Ni Ketut Resmi (Jero Seroja)  terhadap suami dan keluarga suaminya adalah dengan  dengan duduk menyendiri menikmati makanan semasa ia tinggal di desa bersama orang tuanya. Ini membuktikan bahwa menikah dengan kasta di atasnya serta  memiliki harta yang melimpah tidak menutup kemungkinan bahwa batinnya tetap tidak tenang. Karena adat dan istiadat yang tetap kokoh dan dia hanya bisa melawan dengan bersikap diam.
Pandangan Ni Ketut Resmi dalam menghadapi adat dan tradisi di keluarga besar suaminya terlihat saat mengeluarkan kutukan, “bahwa bila ia mati nanti, ia akan mengaduk-aduk keluarga terse- but”. Kutukan itu pun terjadi ketika cucunya, yaitu Ni Gusti Ayu Nyoman Putri memilih menikah dengan laki-laki yang ia cinta asal Inggris serta dia memilih untuk meninggalkan gelar, harta dan keluarganya yang ada di Bali. Namun ia tetap mendoakan cucunya agar selalu hidup bahagia dan dilindungi oleh yang Maha Kuasa.
Pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh Ni Gusti Ayu Nyoman adalah menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Laki-laki tersebut berkewarganegaraan Inggris. Ia rela keluar dari keluarga besar serta berpindah keyakinan  dan  hidup  bersama  kekasihnya dengan  kewarganegaraan baru.  Ayu  Mang  meninggalkan nama dan gelar dari keluarganya dan memilih menjadi warga Inggris dengan nama     Cynthia     Littlejhon     (Basuki, 2009:144-145). Walaupun  ia tinggal di Inggris dan bersumpah tidak ingin mengenal dan menginjakkan kakinya di Pulau Bali, dengan menutup rapat masa lalunya, bahkan pada anaknya pun ia ti- dak pernah menceritakan tentang kebera- daannya, tetapi dalam hati kecilnya hara- pan dan bayangan keluarganya selalu menghantui pikirannya. Apalagi, ketika kedua anaknya menikah dengan perempuan Bali, semakin membuka lembaran masa lalunya.
Mereka hanya diam atas apa yang telah terjadi. Karena sikap diamnya mereka hanyalah salah satu rasa kekecewaan meraka terhadap adat dan istiadat yang ada. Namun dalam hati kecil mereka ingin kembali ke Bali, namun apa daya ketika rasa kekecewaan begitu besar. Mereka hanya bisa berdoa yang terbaik dan selalu dilindungi oleh yang Maha Kuasa.
Doa mereka atas kekecewaan itu terjawab, ketika anak-anak Ayu Mang dewasa mereka dengan perempuan-perempuan Bali. Perempuan Bali tersebut ternyata anak-anak dari sanak saudaranya sendiri. Mereka melakukan pemberontakan ini bukan berarti mereka tidak mencintai leluhurnya, namun mereka tidak suka atas apa yang telah dilakukan terhadap perempuan itu sendiri. Karena bagi mereka perempuan itu juga perlu dihargai dan dihormati.

5.      Simpulan
Karya sastra adalah luapan pikiran pengarang yang dilatarbelakangi khidupan sehari-hari atau peristiwa yang terjadi di sekitar pengarang atau terjadi pada saat itu. Feminisme multikultural sendiri memiliki arti menyamaratakan kaum perempuan dengan perempuan lainnya pada khususnya dan dengan laki-laki pada umumnya dalam satu cakupan negara atau wilayah.
Adat dan istiadat yang ada di  Indonesia sangat kental dengan adanya kelas sosial  atau kasta. Ini menimbulkan  perempuan menjadi korban atas kasta itu sendiri. Karena dalam kasta  perempuan hanyanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki, sedangkan laki-laki merupakan pemegang kekuasaan tertinggi.
Dari novel ini jelas sekali adat dan istiadat yang ada di Bali begitu kental dan susah dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari. Bagi perempuan Bali walaupun sudah menikah dengan laki-laki di atas kastanya, melakukan upacara pembersihan diri dan melahirkan anak dari suaminya tetap saja mereka masih dianggap rendah oleh keluarga laki-laki.  Dalam novel ini tokoh  Seroja dan Ayu Putri seabgai simbol perempuan Bali yang mengalami penindasan mencoba mengeskpresikan suara hati perempuan Bali yang jenuh dan mencoba memberontak budaya (patriarki) tradisi yang mengikat kebebasan mereka untuk memilih dan berpendapat sedangkan tokoh Gusti Ayu Dewi  sebagai simbol  perempuan Bali yang masih kekeh mempertahankan adat dan istiadat nenek moyang mereka.

Daftar Pustaka
Arvia, Gadis. 2005. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Basuki, Sunaryono. 2009. Seroja. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Damono, Sapardi Djoko.2009. “Kita dan Sastra Dunia.” Makalah Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya. Tanggal 29 Oktober 2009: Fakultas Ilmu Budaya, Undip, Semarang.
Hayat. dan. Surur (Ed). 2005. Perempuan Multikultural: Negoisasi dan Representasi.
Jakarta: Desantara.
Putranto, Hendar. (2013). “Kesetaraan Jender dan Multikulturalisme Sebuah Catatan dan Refleksi Untuk Konteks Indonesia”. Jurnal Ultima Humaniora, Vol. 2 No. 01, hal. 11-27.
Rivkin, Julie dan Michael Ryan. 1998. “Introduction: Feminist Paradigms” dalam Julie Rivkin and Michael Ryan (Eds.). L iterary Theory: An Anthology. Massachusetts: Blackwell Publishers  Ltd.
Supsiadi, M. R. (2009). “Cerpen Pembalasan Karya Taslim Nasrin Dalam Kajian Feminisme Multikultural”. Parafrase, Vol. 09 No. 02, hal. 257-264.
Showalter, Elaine. 1985. Feminist Criticsm Essays on Woman Literature and Theory. New Jersey: Pantheon Books.
Titib, Made.1998. Citra Wanita dalam Kakawin Ramayana. Surabaya: Pa- ramita.
Tong, Rosemary Putnam. 2004. Feminisme Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Sinopsis Novel “Seroja” Karya Sunaryono Basuki

Kisah Cinta yg tersajikan dalam novel ini begitu memikat & menyentuh tentang kisah cintah & Karmanya.Gusti Ayu Nyoman Putri,seorang aktivis di tahun 1965,dianggap durhaka oleh keluarganya karena menikah secara diam-diam dengan seorang bule,Andi Littlejohn,di Leeds Inggris.Keluarga menganggap bahwa hal ini merupakan kutukan leluhur kakeknya yg menikahi makele Seroja,Mekele Seroja sendiri berasal dari kasta sudra,yang pada akhirnya ditinggalkan sedemikian rupa oleh suaminya denan menikah lagi bersama perempuan dari kasta yg sederajat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar