NOVEL SEROJA KARYA SUNARYONO BASUKI: KAJIAN FEMINISME
MULTIKULTURAL
Gita Pupitasari 13010114130067
Mahasiswa Sastra Indonesia 2014,
Fakultas Ilmu Budaya
Abstrak: Adat dan
istiadat yang ada di Indonesia sangat
kental dengan adanya kelas sosial atau
kasta. Ini menimbulkan perempuan menjadi
korban atas kasta itu sendiri. Karena dalam kasta perempuan hanyanya sebagai pelengkap bagi
kaum laki-laki, sedangkan laki-laki merupakan pemegang kekuasaan tertinggi.
Dengan kajian feminism multikultural dalam novel Seroja karya Sunaryono Basuki mencoba menggali ketidakadilan dan
ketertindasan terhadap perempuan khususnya perempuan Bali yang terkekang dengan
adat dan istiadat yang sudah ada secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Kata kunci: feminisme
multicultural, adat dan istiadat, dan perempuan.
1.
Pendahuluan
Sastra
adalah ungkapan
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan
dalam suatu
bentuk gambaran konkret dengan
alat bahasa. Pengertian
pengalaman tidak harus selalu merujuk pada pengungkapan pengalaman
pribadi seorang individu saja. Dengan
daya imajinasi yang tinggi dan daya pengamatan yang teliti dan tajam, dapat d iciptakan
pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang
bisa jadi juga
bersumber dari
masyarakat
umum.
Dalam pengertian di atas
sastra dapat
digolongkan sebagai salah satu produk budaya.
Karya sastra
sebagai salah satu produk
bud aya
dapat
menyuarakan hak-hak
perempuan. Kehadirannya dapat memberi informasi kepada para pembaca mengenai bentuk-bentuk penindasan terhadap peremp uan. Keberadaan perempuan dalam karya sastra juga merupakan suatu perwujudan adanya semb oyan “tersemb unyi” pada d iri seorang perempuan mengenai keadaan yang sesungguhnya dari keterlibatannya dalam konstruksi suatu masyarakat. Dalam interrelasi peremp uan
dan b udaya,
sumber
konflik masyarakat secara umum tidak jauh dari pandangan bahwa terdapat
kebimbangan-kebimbangan tekstual yang mengacu
pada
realitas. Sebagian besar perempuan dalam karya sastra
dihadirkan sebagai tokoh yang inferior. Stereotip yang disimbolisasikan pada
perempuan mengukuhkan posisi perempuan yang tidak akan pernah bisa sama dengan
laki-laki karena mearjinalisasi perempuan adalah cara pandang masyarakt umum
dalam menilai kedudukan laki-laki dan perempuan. Menurut kaum
feminis, peremp uan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas
lain,
yaitu laki-laki sesuai dengan tulisan Engels (Hayat & Surur, 2005:25)
Permasalahan
yang terjadi dalam kehidupan peremp uan telah menjadi sumber inspirasi bagi para peremp uan pengarang, bahkan laki- laki, untuk men- ciptakan suatu
karya yang
mewak ili kenyataan hidup keseharian seorang
pe- remp uan.
Posisi perempuan yang
dianggap sebagai warga kelas dua the other(liyan) merupakan bukti nyata bahwa sejak dahulu kala perempuan d iposisikan sebagai warga kelas dua, di bawah laki- laki.
Dalam
tulisan ini akan menganalisis feminisme dalam sebuah novel, yaitu Seroja karya
Sunaryono Basuki. Sunaryono Basuki merupakan seorang
begawan sastra yang dimiliki Indonesia. Seroja karya Sunaryono Basuki merupakan salah satu contoh karya sastra
dari
sekian banyak karya sastra yang
menguak perempuan
di balik belenggu
budaya dan tradisi yang
memenjarakan hak dan keinginan untuk membuat suatu
keputusan.
Seroja karya Sunaryono
Basuki adalah
salah satu contoh novel
yang dilatarbelakangi oleh kisah para
perempuan multikultural yang ada di Indonesia. Novel ini melatarbelakangkan kehidupan
perempuan Bali yang hidup dalam belenggung adat dan istiadat yang sangat
mengurungnya. Adat dan istiadat yang tidak bisa dirobohkan karena sudah ada
secara turun-temurun.
2.
Metode
2.1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan studi pustaka dan tidak terikat dengan tempat penelitian.
Dengan sumber-sumber primer dan sekunder
dengan menggunakan kaidah deskriptif analitis dan komparasi.
Metode penelitian kualitatif deskriptif yaitu penggunaan kata-kata atau kalimat
dalam struktur yang logis untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu
dengan yang lainnya .
Dalam penelitian ini juga digunakan
metode feminis yang merupakan satu metode untuk memberikan ruang bagi representasi perempuan,
mengakui cara berpikir dan
berpengetahuan perempuan dan laki-laki,
dan mempertimbangkan pengalaman
hidup perempuan beses rta keseluruhan subjektivitasnya mengartikan dunia dalam
membangun pengetahuan. Metode feminis yang digunakan adalah feminisme
multikultural.
2.2. Sumber Data dan Langkah Kerja
Ada dua kategori sumber dalam penelitian
ini, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah bahan yang
menjadi objek analisis. Objek analisis terdiri atas objek formal dan objek
material. Objek formal dilatarbelakangi oleh permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini, sedangkan objek material berupa novel ”Seroja” karya
Sunaryono Basuki.
Sumber sekunder merupakan sumber
pendukung penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan tentang
objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini sepenuhnya dilakukan
melalui studi kepustakaan. Langkah kerja yang dilakukan adalah membaca,
mencatat, dan mengkaji rujukan-rujukan yang berhubungan dengan objek
penelitian.
3.
Landasan Teori
Karya sastra adalah luapan pikiran
pengarang yang dilatarbelakangi khidupan sehari-hari atau peristiwa yang terjadi
di sekitar pengarang atau terjadi pada saat itu. Sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan;
sebagai semacam cermin, sastra memantulkan kehidupan setelah menilai dan
memperbaikinya. Pengarang menciptakan sastra
sebab membutuhkan citraan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tidak
diketahui di dunia nyata. Itulah sebabnya, setidaknya menurut Wolfgang Iser,
sastra tidak tergusur oleh perkembangan filsafat sejarah dan teori sosiologi,
yang juga merupakan cermin diri, sebab sastra pada dasarnya justru mencerminkan
yang tidak ada. Sastra menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan yang tidak
terpentaskan dalam kenyataan sehari-hari (Damono, 2009:4).
Sebagai
hasil imajinatif, selain sebagai hiburan yang menyenangkan, karya sastra juga
berguna untuk menambah pengalaman batin bagi pembacanya. Hal ini sejalan dengan
adanya sifat sastra sebagai “dulce et
utile” (Horace melalui Wellek dan Warren, 1989:316). Dengan demikian,
sebuah karya sastra yang baik adalah karya sastra yang tidak hanya dilihat dari
berhasilnya merangkaikan kata-kata saja, melainkan juga ditentukan oleh makna
yang terkandung di dalamnya.
Feminisme Multikultural
Peremp
uan dalam teks sastra tidak jauh berbeda dengan realitas karena realitas yang ada dalam teks sastra merupakan perwujudan representasi
dari kenyataan.
Penggambaran peremp uan dalam sastra merupakan bentuk pernyataan dan resistensi bahwa keberadaan mereka tidak mudah untuk dirasionalisasikan dalam bentuk penguasaan dan
penindasan o leh budaya
dan tradisi. Umpanya,
berbagai
masalah
peremp uan yang timb ul
di penjuru
Indonesia d idoro ng o leh faktor konflik pribadi
dengan
lingkungan,
bahkan dengan keluarga
terutama terhadap suami (lak i- lak i), yang d ikenal o leh peremp uan sebagai pelindung dan pengayom bagi diri mere ka send iri. Sebagaimana peremp uan
diproyeksikan
sebagai warga kelas dua dalam lapisan masyarakat, maka kemungk inan b uruk bisa
saja terjadi antara peremp uan terseb ut.
Semua itu diakibatkan adanya perbedaan dalam komunitas perempuan itu sendiri.
Sejarah
gerakan feminisme mulai muncul secara masif pada dekade 1960an yang
awalnya dipicu oleh kesadaran perempuan
pengarang yang merasa dianaktirikan oleh
para kritikus sastra. Secara kritis para perempuan
pengarang ini mempertanyakan
dominasi karya laki- laki pengarang
dalam kanon sastra. Dengan cepat gerakan ini menyebar melampaui batas etnis dan
gender (Rivkin dan
Ryan, 1998:528).
Desawa
ini kritik feminisme berkembang dalam berbagai aliran. Darma (dalam Horison edisi Des 2008:12) membagi kritik feminisme ke dalam empat aliran, yaitu
feminis liberal, feminis radikal, feminis marxis, dan feminis
sosialis. Sementera Tong (2006) dalam bukunya Feminist Thought
mengelompokkan aliran-aliran feminis ke dalam feminisme liberal, femininsme radikal, feminis marxis dan sosialis, feminisme
psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminsme postmodern, feminisme multikultural dan global,
dan ekofenisme. Dari berbagai
ragam
aliran
feminisme
tersebut, artikel
ini memanfaatkan aliran feminisme
multicultural
untuk mengkaji
cerpen.
Titik tolak dari feminisme multkultural dan
globa l
adalah
bahwa “Diri”
itu
terpecah dan
keterpecahan ini lebih
berdasarkan pada aspek-aspek budaya, rasial, dan
etnik
daripada seksual psikologis dan sastrawi (Tong, 2006:309). Lebih jauh Tong
menyatakan bahwa feminisme multikultural dan global menolak esensialme perempuan dan chauvinisme perempuan. Esensialme perempuan mengacu pada pandangan yang bedasarkan pada filsafat platonik, yaitu makluk perempuan ada sebagai perwujudan dan gagasan tentang
perempuan.
Cahuvinisme perempuan merujuk pada sikap sekelompo k
kecil perempuan yang diuntungkan oleh ras dan kelas mereka, mereka merasa berhak
berbicara sebagai wakil perempuan.
Menurut Arivia (2005 :14), feminism
multicultural dan global mempermasalahkan ide bahwa ketertindasan peremp uan itu “satu
definisi”, artinya
hanya
d ilihat bahwa
ketertindasan terhadap peremp uan
terjadi
dalam
masyarakat
patriarkhal. Padahal, menurut feminisme multikultural ketertindasan
perempuan berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, umur, agama, pend idikan, kesempatan
kerja, dan sebagainya. Feminis multikultural
gelisah melihat teori feminisme yang
gagal membedakan peremp uan k ulit putih dan dari negara maju dengan pe- remp uan
kulit
berwarna dari negara berkembang.
Anggapan Arivia memb uk tikan bahwa peremp uan yang berada di Dunia Ketiga telah mengalami berbagai persoalan yang disebabkan o leh budaya patriark i.
Akan tetapi, hal itu
tidak cukup
sampai di sana karena adanya permasalahan
yang lebih kompleks. Perbedaan ras,
kelas,
umur, agama, pendidikan, dan k esempatan
kerja di antara
peremp uan dapat menjadi pemicu utama timb ulnya suatu konflik yang berkepanjangan.
Perkembangan gejala secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan
adanya perbedaan b udaya
yang mengakui
dan mendoro ng
terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
kemasyarakatan. Hal itu sejalan
dengan pandangan Mahayana
(2005 :297) yang mengatakan bahwa munculnya multikulturalisme d ilatarbelakangi
oleh keyak inan
bahwa secara
sosial
semua kelo mpok b udaya dapat d iwujudkan,
direpresenta- sikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini p ula bahwa rasisme dapat d ireduksi o leh penetapan citra positif keanekaragaman
etnik dan melalui
pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain.
Di
samping itu, p eranan dan posisi peremp uan dalam masyarakat d imaknai o leh
bentuk nilai dan norma yang secara langsung
d iciptakan oleh budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang meno morsatukan lak i- lak i. Budaya
ini masih dipegang kuat oleh
masyarakat
yang
menempatkan penderitaan perem-
p uan bersifat
lintas agama, kesukuan ataupun atrib ut-atrib ut lainnya (Baso dalam Hayat & S urur, 2005:5). Penerimaan peremp uan sebagai warga kelas dua atau the other ‘liyan’ menimbulkan
ambivalensi antara berada
pada
posisi yang d iatur,
d ikontrol,
dan peno lakan serta pemberontakan d iri terhadap ornamen b udaya yang telah mengekang hak-hak mereka
sebagai manusia seutuhnya.
Adanya peremp uan sebagai the other ini menimb ulkan alienasi terhadap
dirinya. Peremp uan d ibatasi hanya sebagai pemilik rahim “tota mulier in utero” atau “woman is womb ”. Pad ahal, menurut eksistensialisme, manusia dikutuk bebas (man is condemned to be free) termasuk manusia peremp uan. Hanya saja, pada peremp uan, dalam
relasi sosial, laki- laki melihatnya
sebagai objek dan
eksistensinya selalu
dibayangi o leh eksistensi orang lain (Arivia, 2005 :14). Eksistensi seorang peremp uan tidak pernah dilihat sebagai satu kesatuan dari bagian kehidupan sosial masyarakat, tetapi memperlihatkan hegemoni ind ividual
terhadap
kekuasaan yang mendoktrinisasik an perbedaan laki- laki dan perem- puan. Peremp uan hanya dianggap sebagai objek pendukung.
4.
Pembahasan
Dalam novel ini begitu jelas feminisme yang ingin
disampaikan ke pembaca oleh pengarang. Pengarang mencoba menceritakan bagaimana
ketidakadilan terhadap perempuan yang ada di Indonesia. Selama ini kita hanya
tahu ketidakadilan itu terjadi di luar negeri, tanpa kita ketahui yang ada
dalam negeri. Ketidakadilan perempuan bisa terjadi di manapun dan kapanpun
tanpa memandang ras tau bangsa. Biasanya ketidakadilan itu terjadi pada
keluarga. Dalam novel ini ketidakadilan ini tidak hanya berawal dari keluarga
namun juga berasal dari adat dan istiadat yang sudah ada turun-temurun sejak
nenek moyang kita. Sebagai mana kita ketahui adat dan istiadat di daerah Bali
itu memandang kasta. Karena adanya kasta itu perempuan Bali tidak berdaya,
mereka harus mematuhi adat dan istiadat yang ada tanpa boleh memberontok. Jika
mereka memberontak bagi petinggi adat akan dianggap itu sebuah kutukan.
4.1. Ketidakadilan yang Dirasakan Setiap Tokoh Perempuan Dalam
Novel Seroja
Tokoh-tokoh perempuan Bali yang menjadi
sorotan dalam Seroja, di antaranya Ni Ketut Resmi (Jero Seroja), Ni Gusti Ayu Nyoman Putri (cucu Seroja), dan
Gusti Ayu Dewi (bibi Ayu Putri). Tokoh
tersebut memberikan gambaran tentang
perlawanan seorang perempuan
dalam menghadapi konflik sosio-budaya Bali.
Mekele Seroja sadar diri akan statusnya, walaupun sebagai perempuan pada umumnya dia memang
dilamar,
menjadi bagian dari keluarga besar ini, namun bukan
berarti dia memiliki hak yang setara dengan para Gusti Ayu dalam
keluarga ini. Tempatnya tetap
berada
di bawah, dianggap rendah. Untuk duduk pun dia tidak akan setara dengan perempuan
lain dari keluarga itu. Derajatnya lebih rendah dari anak-anak kandungnya, yang hanya memanggilnya meme bukan biyang.
Itulah yang harus dia rasakan, tidak bisa mendengar anak kandungnya memangginya
biyang hanya karena dia berasal dari
kasta sudra. Kasta yang lebih rendah
dari kasta keluarga suaminya. Ini semua tidak adil, namun dia tidak bisa
berbuat apa-apa.
Dalam perkembangan
kebudayaan di Bali,
masyarakat setempat mengganggap kaum laki-laki merupakan kepala keluarga dan pengambil keputusan tertinggi dalam
keluarga serta pemegang kekuasaan. Dalam novel ini dijelaskan bahwa apabila seorang laki-laki mempersunting seorang istri yang berasal dari kasta
rendah (sudra), sang
istri tersebut tidak berhak berbicara, kedudukannya pun tetap dianggap rendah walaupun sudah melahirkan anak dari suami
yang berkasta lebih tinggi (ksatriya).
Dalam novel ini dijelaskan walaupun sang
perempuan tersebut telah
melakukan berbagai uapacara adat untuk membersihkan diri mereka. Dalam
kehidupan sehari-hari si perempuan itu hanya bertugas mengurus suami dan
anaknya. Bahkan dalam istilah orang Bali si anak yang dilahirkan perempuan
tersebut hanya menumpang lahir di
rahimnya. Si perempuan itu harus memanggil anaknya Gusti Putu sesuai dengan
kasta suaminya. Mereka pun bagi pihak keluarga lelaki tetap dianggap rendah,
bahkan ada yang beranggapan itu merupakan aib.
Ni Ketut Resmi (Jero Seroja)
sangat menjunjung
tinggi adat tradisi
leluhurnya serta sangat patuh
kedapa kedua orang tuanya. Sebagai perempuan Bali yang menjadi bagian konstruksi
sosial, dia harus menjaga tingkah lakunya demi mempertahankan
adat dan tradisi termasuk
“membayar mahal” dengan mengorbankan “harga diri”nya sebagai perempuan.
Bagi perempuan
Bali, adat dan tradisi harus dijunjung tingg dari segalanya sehingga
tidak boleh mempertanyakan,
menggugat apalagi mendobrak.
Kaum lelaki bagi mereka adalah
pemimpin sehingga mereka merupakan unjung tonggak dari adat dan istiadat yang
ada.
Ketertindasan perempuan akibat adat dan tradisi yang dialami tokoh Jero
Seroja, membuat perempuan tersebut melakukan perlawanan tanpa melawan tradisi yang berlaku di keluarga suaminya,
yaitu dengan bersikap diam dan melihat peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam
keluarga besar suaminya. Sikap diamnya itu merupakan laupan atas rasa
kekecewaan yang ia rasakan sebagai perempuan yang tertindas. Ia masih dengan kebiasaan
lamanya, duduk menyendiri di bawah gedebeg, makan sela (ketela) kukus, kadang
makan pisang rebus (Basuki, 2009). Karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Jero
Seroja pun harus menerima kalau dirinya dimadu, suaminya menikah lagi dengan
perempuan yang satu kasta dengan kasta suaminya.
Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh tokoh Jero Seroja terhadap
keluarga besar suaminya, dengan duduk menyendiri menikmati makanan semasa ia tinggal
di desa bersama orang tuanya. Ini membuktikan bahwa menikah dengan kasta di atasnya
serta memiliki harta yang melimpah tidak
menutup kemungkinan bahwa batinnya tetap tidak tenang. Karena adat dan istiadat
yang tetap kokoh dan dia hanya bisa melawan dengan bersikap diam.
Dalam realita yang ada, laki-laki ingin mendominasi
kehidupan. Ia akan merasa memiliki kekuasaan atas perempuan setelah menikahi
dan mendapatkan anak. Dia bisa menikah dengan perempuan lain jika ia
menghendaki. Sedangkan perempuan harus mematuhi suaminya dan tidak boleh
mealanggar apa yang sudah ditetapkan oleh adat dan istiadat yang ada.
Inilah yang dimaksudkan dengan relasi kuasa antara perempuan
yang berada dalam posisi subaltern dengan masyarakat/budaya/tradisi
yang telah direpresentasikan sendiri. Perempuan
tradisi mendoktrin perempuan lain dalam
arti anak perempuannya sebagai objek dari kegiatan nenek moyang yang telah turun-temurun.
Ini mencerminkan tipe perempuan Hindu Bali, yang memiliki watak daivi sampat,
suatu sifat yang menyebabkan seseorang bersifat baik atau mulia, misalnya tidak
gentar, suci hati, bijaksana, dermawan, jujur, bakti, dan hidup sederhana (Titib,
1998:15). Walaupun diperlakukan tidak adil Jero Seroja tetap menerima dengan
ikhlas dan pasrah.
Di sisi lain, sosok perempuan seperti Jero Seroja mencerminkan
sosok perempuan yang pasif dan objek untuk menyenangkan kaum pria. Sosok perempuan
seperti itu memiliki keinginan untuk mengorbankan dirinya bagi kepentingan orang
lain, bahkan rela memberikan nyawanya
(Showalter, 1985:69). Berbeda
dengan tokoh Ni Gusti Ayu Nyoman Putri (cucu Seroja), yang
beranggapan bahwa kasta ksatria (bangsawan) penuh kebohongan dan kemunafikan. Dia
mencintai seorang laki-laki berkebangsaan Inggris. Ayu Mang, begitu ia dipanggil
oleh teman-temannya. Dia berani mendobrak adat dan tradisi yang selama ini
mengurungnya. Bahkan, ia rela keluar dari
keluarga besar serta berpindah keyakinan dan hidup
bersama
kekasihnya dengan kewarganegaraan
baru. Ayu Mang meninggalkan nama dan gelar dari keluarganya
dan memilih menjadi warga Inggris dengan nama
Cynthia Littlejhon
(Basuki, 2009:144—145).
Ni Gusti Ayu Putri mendobrak tradisi nenek moyangnya dengan seseorang
tidak harus menikah dengan kasta yang sama. Pernikahan itu harus dilandasi
dengan rasa kasih sayang dan cinta. Dalam kehidupannya selama ini dia merasa
tidak dihargai, dihargai setelah meninggalkan adat istiadat
nenek moyangnya. Serta merasa kedudukannya setara dengan suaminya.
Tokoh Gusti Ayu Dewi (bibi
Ayu Putri) memiliki karakter yang menjunjung tinggi tradisi kebangsawanannya.
Adat dan tradisi yang mengekang telah mempengaruhi cara berpikirnya, yang merasa dirinya tidak pernah punya saudara
yang sudah menikah keluar dari keluarga besarnya. Sehingga baginya keponakan
yang berasal pernikahan berbeda kasta merupakan sebuah kutukan dan baginya
bukan keluarga lagi. Kutukan itu terjadi karena kakek Ni Gusti Ayu Putri
menikahi Ni Ketut Resmi (Jero Seroja) yang berasal dari kasta rendah (sudra).
Jadi, tokoh-tokoh perempuan dalam novel Seroja merupakan representasi
perempuan Bali dalam mempertanggung jawabkan ke eksistensiannya sebagai manusia
yang memiliki harkat dan martabat. Terlepas dari pengakuan mereka terhadap dominasi
budaya dan tradisi yang dibuat laki-laki. Pemberontakan yang dilakukan
Seroja dan Ayu Putri merupakan suara hati perempuan Bali yang jenuh dan mencoba
memberontak budaya (patriarki) tradisi yang mengikat kebebasan mereka untuk
memilih dan berpendapat, sedangkan Gusti Ayu Dewi sebagai simbol perempuan yang
sangat mengagungkan tradisi sehingga selalu mencoba mempertahankan tradisi kebangsawanan
yang melekat pada dirinya.
4.2. Kesadaran Perempuan Bali Akan Kesetaraan Antara Kaum
Laki-laki dan Perempuan
Dalam novel ini pengarang menggambarkan kesadaran akan
kesetaraan hak antara kaum laki-laki dan perempuan melalui pemberontakan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam cerita ini. Mereka
menyadari selama ini adat dan istiadat yang ada memperlakukan mereka bagaikan
pelengkap bagi kaum laki-laki.
Dalam novel ini juga pengarang mencoba menunjukan bahwa adat
dan istiadat yang selama ini ada di Bali dari nenek moyang mereka itu tidak
adil bagi kaum perempuan sana. Perempuan Bali tertindas dan mereka tidak
diperbolehkan untuk memberontak atas apa ygb usdah ada selama ini.
Dalam ini digambarkan oleh tokoh perempuan yaitu Seroja dan
Ayu Putri. Mereka melakukan ini demi suara hati yang selama ini merasa
tertindas, jenuh dan ingin bebas akan adat dan istiadat yang ada. Namun disisi
lain pengarang juga menggambarkan sosok perempuan yang tetap mempertahankan
adat dan istiadat itu yaitu tokoh Gusti Ayu Dewi.
Pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh Ni Ketut Resmi (Jero
Seroja) terhadap suami dan keluarga
suaminya adalah dengan dengan duduk
menyendiri menikmati makanan semasa ia tinggal di desa bersama orang tuanya. Ini
membuktikan bahwa menikah dengan kasta di atasnya serta memiliki harta yang melimpah tidak menutup
kemungkinan bahwa batinnya tetap tidak tenang. Karena adat dan istiadat yang
tetap kokoh dan dia hanya bisa melawan dengan bersikap diam.
Pandangan Ni Ketut Resmi dalam menghadapi adat dan tradisi di
keluarga besar suaminya terlihat saat mengeluarkan kutukan, “bahwa bila ia mati
nanti, ia akan mengaduk-aduk keluarga terse- but”. Kutukan itu pun terjadi ketika
cucunya, yaitu Ni Gusti Ayu Nyoman Putri memilih menikah dengan laki-laki yang
ia cinta asal Inggris serta dia memilih untuk meninggalkan gelar, harta dan
keluarganya yang ada di Bali. Namun ia tetap mendoakan cucunya agar selalu
hidup bahagia dan dilindungi oleh yang Maha Kuasa.
Pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh Ni Gusti Ayu Nyoman
adalah menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Laki-laki tersebut
berkewarganegaraan Inggris. Ia rela keluar dari keluarga besar serta berpindah keyakinan
dan hidup bersama
kekasihnya dengan kewarganegaraan
baru. Ayu Mang meninggalkan nama dan gelar dari keluarganya
dan memilih menjadi warga Inggris dengan nama
Cynthia Littlejhon
(Basuki, 2009:144-145). Walaupun ia tinggal di Inggris dan bersumpah tidak ingin
mengenal dan menginjakkan kakinya di Pulau Bali, dengan menutup rapat masa lalunya,
bahkan pada anaknya pun ia ti- dak pernah menceritakan tentang kebera- daannya,
tetapi dalam hati kecilnya hara- pan dan bayangan keluarganya selalu menghantui
pikirannya. Apalagi, ketika kedua anaknya menikah dengan perempuan Bali, semakin
membuka lembaran masa lalunya.
Mereka hanya diam atas apa yang telah terjadi. Karena sikap
diamnya mereka hanyalah salah satu rasa kekecewaan meraka terhadap adat dan
istiadat yang ada. Namun dalam hati kecil mereka ingin kembali ke Bali, namun
apa daya ketika rasa kekecewaan begitu besar. Mereka hanya bisa berdoa yang
terbaik dan selalu dilindungi oleh yang Maha Kuasa.
Doa mereka atas kekecewaan itu terjawab, ketika anak-anak
Ayu Mang dewasa mereka dengan perempuan-perempuan Bali. Perempuan Bali tersebut
ternyata anak-anak dari sanak saudaranya sendiri. Mereka melakukan
pemberontakan ini bukan berarti mereka tidak mencintai leluhurnya, namun mereka
tidak suka atas apa yang telah dilakukan terhadap perempuan itu sendiri. Karena
bagi mereka perempuan itu juga perlu dihargai dan dihormati.
5. Simpulan
Karya sastra adalah luapan pikiran
pengarang yang dilatarbelakangi khidupan sehari-hari atau peristiwa yang
terjadi di sekitar pengarang atau terjadi pada saat itu. Feminisme multikultural sendiri memiliki arti menyamaratakan kaum perempuan
dengan perempuan lainnya pada khususnya dan dengan laki-laki pada umumnya dalam
satu cakupan negara atau wilayah.
Adat dan istiadat yang ada di Indonesia sangat kental dengan adanya kelas
sosial atau kasta. Ini menimbulkan perempuan menjadi korban atas kasta itu
sendiri. Karena dalam kasta perempuan
hanyanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki, sedangkan laki-laki merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi.
Dari novel ini jelas sekali adat dan
istiadat yang ada di Bali begitu kental dan susah dilepaskan dari kehidupan
mereka sehari-hari. Bagi perempuan Bali walaupun sudah menikah dengan laki-laki
di atas kastanya, melakukan upacara pembersihan diri dan melahirkan anak dari
suaminya tetap saja mereka masih dianggap rendah oleh keluarga laki-laki. Dalam novel ini tokoh Seroja dan Ayu Putri
seabgai simbol perempuan Bali yang mengalami penindasan mencoba mengeskpresikan
suara hati perempuan Bali yang jenuh dan mencoba memberontak
budaya (patriarki) tradisi yang mengikat
kebebasan
mereka untuk memilih
dan berpendapat sedangkan tokoh Gusti Ayu Dewi sebagai simbol perempuan Bali yang masih kekeh
mempertahankan adat dan istiadat nenek moyang mereka.
Daftar Pustaka
Arvia,
Gadis. 2005.
Filsafat Berspektif Feminis.
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Basuki,
Sunaryono. 2009. Seroja. Denpasar:
Balai Bahasa Denpasar.
Damono, Sapardi Djoko.2009. “Kita dan Sastra Dunia.”
Makalah Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya. Tanggal 29 Oktober 2009:
Fakultas Ilmu Budaya, Undip, Semarang.
Hayat.
dan. Surur (Ed). 2005. Perempuan Multikultural: Negoisasi dan Representasi.
Jakarta:
Desantara.
Putranto, Hendar. (2013). “Kesetaraan Jender dan
Multikulturalisme Sebuah Catatan dan Refleksi Untuk Konteks Indonesia”. Jurnal Ultima
Humaniora, Vol. 2 No. 01, hal. 11-27.
Rivkin, Julie dan Michael Ryan. 1998. “Introduction:
Feminist Paradigms” dalam Julie Rivkin and Michael Ryan (Eds.). L iterary
Theory: An Anthology. Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd.
Supsiadi, M. R. (2009). “Cerpen Pembalasan Karya Taslim
Nasrin Dalam Kajian Feminisme Multikultural”. Parafrase, Vol. 09 No. 02, hal. 257-264.
Showalter,
Elaine. 1985. Feminist Criticsm
Essays
on Woman Literature
and Theory. New Jersey: Pantheon
Books.
Titib, Made.1998. Citra Wanita dalam Kakawin Ramayana. Surabaya: Pa-
ramita.
Tong, Rosemary
Putnam. 2004. Feminisme Thought.
Yogyakarta: Jalasutra.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan
(Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Sinopsis Novel “Seroja”
Karya Sunaryono Basuki
Kisah Cinta yg
tersajikan dalam novel ini begitu memikat & menyentuh tentang kisah cintah
& Karmanya.Gusti Ayu Nyoman Putri,seorang aktivis di tahun 1965,dianggap
durhaka oleh keluarganya karena menikah secara diam-diam dengan seorang
bule,Andi Littlejohn,di Leeds Inggris.Keluarga menganggap bahwa hal ini
merupakan kutukan leluhur kakeknya yg menikahi makele Seroja,Mekele Seroja
sendiri berasal dari kasta sudra,yang pada akhirnya ditinggalkan sedemikian
rupa oleh suaminya denan menikah lagi bersama perempuan dari kasta yg
sederajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar