Sabtu, 27 Mei 2017

Sastra Melayu Rendah



Ciri-ciri Sastra Melayu Rendah
a.       Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Melayu-Rendah, bukan bahasa Melayu-Tinggi. Sastra Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yang mengalami keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.
b.      Isi Melayu Tionghoa lebih realistis, yaitu tidak terombang-ambing oleh dunia maya dan mitos, melainkan cerita yang diangkat dari kehidupan sehari-hari yang telah menyatu dengan kehidupan mereka.
c.       Ejaan yang digunakan belum menggunakan ejaan sekarang, sudah jelas dari judulnya, ejaan Republik/ Soewandi
-          “Boenga Roos dari Tjikembang”
d.      Diterbitkan oleh penerbit swasta, bukan Balai Pustaka. Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.
e.       Kekerasan, perselingkuhan, dan perkawinan antargolongan tema yang sering di angkat. Contohnya dalam cerita “Boenga Roos dari Tjikembang” menceritakan percintaan dua etnis (tionghoa dan pribumi) pada masa itu sedang marak.
-          “Oh Aij Tjeng adalah seorang pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya”.
f.       Kebanyakan karakter pribumi dalam sastra melayu tionghoa digambarkan memiliki watak yang buruk. Contohnya pada Tjerita Nyai Dasima karya G. Francis. Dalam cerita ini pribumi digambarkan sebagai orang rendahkan, contohnya para pemuda Tionghoa memperistri hanya gadis Tionghoa, sedangkan gadis pribumi dijadikan hanya sebagai selir atau nyai.
g.      Bersifat politis karena cap yang melekat bahwa orang Tionghoa tidak punya rasa nasionalisme atau paling tidak nasionalismenya masih diragukan. Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.
h.      Masih percaya pada ramalan dan mitos.
-          “... Tapi saya sudah dapet firasat, yang juragan dan saya bakal lekas terpisah.”
“Firasat? Firasat apakah itu? Cobalah ceritaken dengen teges.”
“Tiga malem yang lalu saya telah mengimpi, yang sampe sekarang saya masih tida bisa lupa, dan selalu bikin saya jadi mengkirik. Saya mengimpi dapet liat jurangan naek kuda si Bima menyebrangi kali Cisarua aken pergi ka Leuwiuncal. Saya ikutin juragan dari blakang, dan tatkala juragan sudah sampe di sebrang, saya pun lalu turun ka kali aken turut ka sebrang sambil bertreak-treak:’Juragan-juragan, Abdi milu!’ Tapi juragan tida perduli dan lariken terus itu kuda. Saya menangis dan coba menyebrang terus, dan tatkala ada di tenga kali, dateng aer banjir besar, hingga saya terbawa anyut. Saya bertreak minta tulung pada juragan, dan juragan menengok, mengawasin dan menggapein dengan tangan, tapi tida mau metulung, hanya berjalan terus, sedeng saya anyut semingkin jau, kalelep tenggelem timbul dan... saya mendusin!” (Kwee Tek Hoay,1927)
-          Ketika Lily masih remaja, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk mengetahui masa depan Lily.
i.        Terdapat situasi membaurnya kebudayaan Peranakan Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
-          Ketika Lily masih remaja, misalnya, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk mengetahui masa depan Lily. Sebaliknya ketika Lily jatuh sakit, orang tuanya malah memanggil seorang dikter Eropa. Gwat Nio, istri sah Aij Tjeng, bahkan sebenarnya anak seorang nyai. Dia diambil oleh orang tua angkatnya, karena mereka tidak memiliki anak.


Resensi Cerpen Sastra Melayu Rendah

Judul              : Boenga Roos dari Tjikembang
Pengarang    : Kwee Tek Hoay
Buku              : Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jilid 2)
Editor              : Marcus A.S dan Pax Benedanto
Penerbit         : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta
Cetakan         : Pertama, Januari 2001
Tebal              : 598 halaman

Kisah ini karya Kwee Tek Hoay yang pertama-tama dimuat secara bersambung dalam majalah "Panorama" sejak Maret 1927, kemudian dipentaskan oleh Union Dalia Opera pada 1927.
Oh Aij Tjeng adalah seorang pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun, tidak lama setelah itu, ayah Aij Tjeng, Oh Pin Loh datang untuk memberitahu Aij Tjeng bahwa ia telah ditunangkan dengan Gwat Nio, putri dari Liok Keng Djim, pemilik perkebunan tersebut. Aij Tjeng yang harus berpisah dengan Marsiti, nyai yang telah dipiaranya selama tiga tahun. Marsiti pun diusir pergi oleh Oh tua tanpa sepengetahuan Aij Tjeng. Aij Tjeng memerintahkan Tirta, pelayannya untuk menemukan Marsiti, namun ia pun ikut menghilang. Pernikahan Aij Tjeng dan Gwat Nio bahagia. Mereka dikaruniai seorang putri cantik. Aij Tjeng menemukan dalam diri Gwat Nio semua sifat sama yang membuatnya jatuh cinta dengan Marsiti, bahkan lebih halus. Dia jatuh cinta dengan Gwat Nio dan mulai melupakan Marsiti.
Tidak lama kemudian Keng Djim memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari nyai-nya, seorang pribumi yang dimilikinya saat muda, dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan, namun dia meninggal sebelum bisa mengungkapkannya. Aij Tjeng mencari ayahnya, untuk menanyakan rahasia tersebut, tetapi menemukan bahwa ayahnya juga telah meninggal tiga jam setelah ayah mertuanya meninggal. Kesedihan pun melanda pasangan suami istri Aij Tjeng dan Gwat Nio. Namun kesedihan itu berangsur-angsur hilang karena Lily, putri semata wayangnya.
Delapan belas tahun kemudian, Lily, putri Aij Tjeng dan Gwat Nio, bertunangan dengan seorang pemuda Tionghoa kaya bernama Sim Bian Koen. Lily, meskipun cantik dan berbakat, terobsesi dengan kematian dan kesedihan; dia sangat mempercayai perkataan sinshe dari Cikini yang mengatakan bahwa dia ditakdirkan untuk mati muda dan takkan pernah menikah.  Dia jatuh sakit setelah Aij Tjeng dan Sim Tjoan Hoe (ayah Bian Koen Bian Koen) memutuskan tanggal pernikahan mereka. Dia akhirnya memberitahu Bian Koen untuk menemukan tunangan lain karena ia akan segera meninggalkan dia. Semua dokter yang pandai di Jakarta sudah diundang. Namun, dokter tidak dapat menyelamatkannya. Lyli meninggal dunia menjelang hari pernikahannya. Hal ini mendorong Bian Koen mempertimbangkan bunuh diri, sehingga Aij Tjeng dan Gwat Nio mengalami kesedihan dan goncangan psikologis.
Pada tahun berikutnya Aij Tjeng dan Gwat Nio telah pulih, setelah pindah jauh dan beralih ke agama. Namun Bian Koen, tetap ingin mengakhiri hidupnya, dan bermaksud untuk pergi berperang di China untuk menemukan kematian; satu-satunya hal yang menahan dia adalah janjinya untuk menunggu hari peringatan kematian Lily. Suatu hari, saat ia melewati desa Cikembang, ia menemukan sebuah makam yang sangat terawat. Saat ia memeriksa daerah itu, ia melihat Lily. Dia menolak pelukannya dan lari. Ketika Bian Koen mengejarnya, Bian Koen jatuh dan pingsan.
Ketika ia bangun di rumahnya, Bian Koen memberitahu orangtuanya bahwa ia melihat Lily di Cikembang. Setelah menyelidiki, keluarga tersebut menemukan bahwa "Lily" yang dilihat Bian Koen sebenarnya adalah putri Aij Tjeng dan Marsiti, Roosminah, yang dibesarkan secara rahasia oleh Tirta yang mengganti namanya dengan Oesman, setara dengan Lily dalam segala hal. Ketika Marsiti meninggalkan Aij Tjeng ternyta dia telah hamil. Karena kecantikannya, ia dikenal sebagai "Bunga Roos (Mawar) dari Cikembang ". Keluarga Bian Koen menghubungi Aij Tjeng, dan setelah mengetahui latar belakang Roosminah, mereka memberikan Roosminah identitas Lily. Pernikahan mewah nya dengan Bian Koen dihadiri oleh ribuan orang, termasuk roh Marsiti.
Lima tahun kemudian, Bian Koen dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti) membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya.

Kelebihan novel
Ceritanya cukup menarik. Konfliks percintaan disini dikemas menarik dengan bumbu tidak di setujuinya percintaan antara Oh Aij Tjeng dengan Marsiti dikarenakan Oh Aij Tjeng telah ditunangkan oleh ayahnya dan perbedaan etnis. Cerita yang disajikan sesuai dengan keadaan saat itu. Novel ini cocok dibaca ketika waktu santai.

Kekurangan Novel
Mungkin karena ini novel terbitan puluhan tahun yang lalu membuat novel ini susah dicari di masa sekarang. Bahasa dan ejaannya sudah berubah dari bentuk aslinya.

Sasaran Novel
Karena isinya termasuk kedalam kategori romance tentu orang yang cocok membacanya adalah remaja, dewasa hingga golongan lanjut usia. Serta sangat cocok bagi para ilmuwan sastra yang ingin meneliti sastra melayu rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar