Ciri-ciri
Sastra Melayu Rendah
a.
Bahasa yang dipergunakan
adalah bahasa Melayu-Rendah, bukan bahasa Melayu-Tinggi. Sastra
Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang
ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yang mengalami
keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.
b.
Isi
Melayu Tionghoa lebih realistis, yaitu tidak terombang-ambing oleh dunia maya
dan mitos, melainkan cerita yang diangkat dari kehidupan sehari-hari yang telah
menyatu dengan kehidupan mereka.
c. Ejaan
yang digunakan belum menggunakan ejaan sekarang, sudah jelas dari judulnya,
ejaan Republik/ Soewandi
-
“Boenga Roos dari Tjikembang”
d. Diterbitkan
oleh penerbit swasta, bukan Balai Pustaka. Karena berpotensi mengobarkan
semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.
e. Kekerasan,
perselingkuhan, dan perkawinan antargolongan tema yang sering di angkat. Contohnya dalam cerita “Boenga Roos
dari Tjikembang” menceritakan
percintaan dua etnis (tionghoa dan pribumi) pada masa itu sedang marak.
-
“Oh Aij Tjeng adalah seorang
pria Tionghoa muda
yang mengelola sebuah perkebunan di Jawa
Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya,
seorang wanita Sunda bernama
Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia
selamanya”.
f. Kebanyakan
karakter pribumi dalam sastra melayu tionghoa digambarkan memiliki watak yang
buruk. Contohnya pada Tjerita Nyai Dasima karya G. Francis. Dalam cerita ini
pribumi digambarkan sebagai orang rendahkan, contohnya para pemuda Tionghoa
memperistri hanya gadis Tionghoa, sedangkan gadis pribumi dijadikan hanya
sebagai selir atau nyai.
g. Bersifat
politis karena cap yang melekat bahwa orang Tionghoa tidak punya rasa
nasionalisme atau paling tidak nasionalismenya masih diragukan. Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha
mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan
antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan
politik apartheid.
h. Masih percaya pada ramalan dan mitos.
-
“...
Tapi saya sudah dapet firasat, yang juragan dan saya bakal lekas terpisah.”
“Firasat?
Firasat apakah itu? Cobalah ceritaken dengen teges.”
“Tiga
malem yang lalu saya telah mengimpi, yang sampe sekarang saya masih tida bisa
lupa, dan selalu bikin saya jadi mengkirik. Saya mengimpi dapet liat jurangan
naek kuda si Bima menyebrangi kali Cisarua aken pergi ka Leuwiuncal. Saya
ikutin juragan dari blakang, dan tatkala juragan sudah sampe di sebrang, saya
pun lalu turun ka kali aken turut ka sebrang sambil
bertreak-treak:’Juragan-juragan, Abdi milu!’ Tapi juragan tida perduli dan
lariken terus itu kuda. Saya menangis dan coba menyebrang terus, dan tatkala
ada di tenga kali, dateng aer banjir besar, hingga saya terbawa anyut. Saya
bertreak minta tulung pada juragan, dan juragan menengok, mengawasin dan
menggapein dengan tangan, tapi tida mau metulung, hanya berjalan terus, sedeng
saya anyut semingkin jau, kalelep tenggelem timbul dan... saya mendusin!” (Kwee
Tek Hoay,1927)
-
Ketika
Lily masih remaja, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk mengetahui
masa depan Lily.
i.
Terdapat
situasi membaurnya kebudayaan Peranakan Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
-
Ketika
Lily masih remaja, misalnya, orang tuanya memanggil peramal Tionghoa untuk
mengetahui masa depan Lily. Sebaliknya ketika Lily jatuh sakit, orang tuanya
malah memanggil seorang dikter Eropa. Gwat Nio, istri sah Aij
Tjeng, bahkan sebenarnya anak seorang nyai. Dia diambil oleh orang tua
angkatnya, karena mereka tidak memiliki anak.
Resensi
Cerpen Sastra Melayu Rendah
Judul : Boenga Roos dari Tjikembang
Pengarang : Kwee Tek Hoay
Buku : Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jilid 2)
Editor : Marcus A.S dan Pax Benedanto
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2001
Tebal : 598 halaman
Kisah ini
karya Kwee Tek Hoay yang pertama-tama dimuat secara bersambung dalam majalah
"Panorama" sejak Maret 1927, kemudian dipentaskan oleh Union Dalia
Opera pada 1927.
Oh Aij Tjeng adalah seorang
pria Tionghoa muda yang mengelola sebuah perkebunan
di Jawa Barat. Dia tinggal di sana dengannyai-nya, seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Keduanya
sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun,
tidak lama setelah itu, ayah Aij Tjeng, Oh Pin Loh datang untuk memberitahu Aij
Tjeng bahwa ia telah ditunangkan dengan Gwat Nio, putri dari
Liok Keng Djim, pemilik perkebunan tersebut. Aij Tjeng yang harus berpisah
dengan Marsiti, nyai yang telah dipiaranya selama tiga tahun. Marsiti pun
diusir pergi oleh Oh tua tanpa sepengetahuan Aij Tjeng. Aij Tjeng memerintahkan
Tirta, pelayannya untuk menemukan Marsiti, namun ia pun ikut menghilang.
Pernikahan Aij Tjeng dan Gwat Nio bahagia. Mereka dikaruniai seorang putri
cantik. Aij Tjeng menemukan dalam diri Gwat Nio semua sifat sama yang
membuatnya jatuh cinta dengan Marsiti, bahkan lebih halus. Dia jatuh cinta
dengan Gwat Nio dan mulai melupakan Marsiti.
Tidak lama kemudian Keng Djim
memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa
ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari nyai-nya, seorang pribumi yang dimilikinya saat muda,
dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal
bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim
mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan, namun dia meninggal
sebelum bisa mengungkapkannya. Aij Tjeng mencari ayahnya, untuk menanyakan
rahasia tersebut, tetapi menemukan bahwa ayahnya juga telah meninggal tiga jam
setelah ayah mertuanya meninggal. Kesedihan pun melanda pasangan suami istri
Aij Tjeng dan Gwat Nio. Namun kesedihan itu berangsur-angsur hilang karena
Lily, putri semata wayangnya.
Delapan belas tahun kemudian,
Lily, putri Aij Tjeng dan Gwat Nio, bertunangan dengan seorang pemuda Tionghoa
kaya bernama Sim Bian Koen. Lily, meskipun cantik dan berbakat, terobsesi
dengan kematian dan kesedihan; dia sangat mempercayai perkataan sinshe dari
Cikini yang mengatakan bahwa dia ditakdirkan untuk mati muda dan takkan pernah
menikah. Dia jatuh sakit setelah Aij
Tjeng dan Sim Tjoan Hoe (ayah Bian Koen Bian Koen) memutuskan tanggal
pernikahan mereka. Dia akhirnya memberitahu Bian Koen untuk menemukan tunangan lain
karena ia akan segera meninggalkan dia. Semua dokter yang pandai di Jakarta
sudah diundang. Namun, dokter tidak dapat menyelamatkannya. Lyli meninggal
dunia menjelang hari pernikahannya. Hal ini mendorong Bian Koen
mempertimbangkan bunuh diri, sehingga Aij Tjeng dan Gwat Nio mengalami
kesedihan dan goncangan psikologis.
Pada tahun berikutnya Aij
Tjeng dan Gwat Nio telah pulih, setelah pindah jauh dan beralih ke agama. Namun
Bian Koen, tetap ingin mengakhiri hidupnya, dan bermaksud untuk pergi berperang
di China untuk menemukan kematian; satu-satunya hal yang menahan dia adalah
janjinya untuk menunggu hari peringatan kematian Lily. Suatu hari, saat ia
melewati desa Cikembang, ia menemukan sebuah makam yang sangat terawat. Saat ia
memeriksa daerah itu, ia melihat Lily. Dia menolak pelukannya dan lari. Ketika
Bian Koen mengejarnya, Bian Koen jatuh dan pingsan.
Ketika ia bangun di rumahnya,
Bian Koen memberitahu orangtuanya bahwa ia melihat Lily di Cikembang. Setelah
menyelidiki, keluarga tersebut menemukan bahwa "Lily" yang dilihat
Bian Koen sebenarnya adalah putri Aij Tjeng dan Marsiti, Roosminah, yang
dibesarkan secara rahasia oleh Tirta yang mengganti namanya dengan Oesman,
setara dengan Lily dalam segala hal. Ketika Marsiti meninggalkan Aij Tjeng
ternyta dia telah hamil. Karena kecantikannya, ia dikenal sebagai "Bunga
Roos (Mawar) dari Cikembang ". Keluarga Bian Koen menghubungi Aij Tjeng,
dan setelah mengetahui latar belakang Roosminah, mereka memberikan Roosminah
identitas Lily. Pernikahan mewah nya dengan Bian Koen dihadiri oleh ribuan
orang, termasuk roh Marsiti.
Lima tahun kemudian, Bian Koen
dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng
dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti)
membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga
tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya.
Kelebihan novel
Ceritanya cukup menarik. Konfliks
percintaan disini dikemas menarik dengan bumbu tidak di setujuinya percintaan
antara Oh Aij Tjeng dengan Marsiti dikarenakan Oh Aij Tjeng telah ditunangkan
oleh ayahnya dan perbedaan etnis. Cerita yang disajikan sesuai dengan keadaan
saat itu. Novel ini cocok dibaca ketika waktu santai.
Kekurangan Novel
Mungkin karena ini novel terbitan
puluhan tahun yang lalu membuat novel ini susah dicari di masa sekarang. Bahasa
dan ejaannya sudah berubah dari bentuk aslinya.
Sasaran Novel
Karena isinya termasuk kedalam
kategori romance tentu orang yang cocok membacanya adalah remaja, dewasa hingga
golongan lanjut usia. Serta sangat cocok bagi para ilmuwan sastra yang ingin
meneliti sastra melayu rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar