HIKAYAT GALUH DIGANTUNG
Disusun Oleh:
1.
Eva
Yunita Sari 13010114130063
2.
Aditya
Krisna Bayu 13010114130064
3.
Devi
Ayu Anggraeni 13010114130065
4.
Ahmad
Ali Fakhruri 13010114130066
5.
Gita
Puspitasari 13010114130067
Kementerian
Riset dan Pendidikan Tinggi
Bahasa
dan Sastra Indonesia
Universitas
Diponegoro
Kata
Pengantar
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Analisis
Hikayat galuh Digantung dengan baik. Makalah
ini dibuat dalam rangka menginventarisasi karya sastra melayu klasik sekaligus
memenuhi tugas mata kuliah Pengkajian Sastra Melayu Klasik.
Kami
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai contoh-contoh sastra melayu klasik. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
22 Oktober 2015
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan
hasil ciptaan atau rekaan yang berasal dari pengalaman, imajinasi, atau cerita
dari orang lain. Karya sastra yang baik yaitu sebuah karya sastra yang dapat
dinikmati dan memberi manfaat bagi masyarakat maupun pembaca. Sebuah karya sastra
dapat diketahui memiliki manfaat atau tidak setelah dilakukan penelitian. Hasil
penelitian tersebut sebaiknya memberikan keyakinan bahwa karya sastra tersebut
mengandung manfaat sehingga masyarakat memiliki minat baca dan dapat
menikmatinya. Tugas seorang peneliti sastra yaitu menawarkan atau menyuguhkan
kepada masyarakat hal-hal yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan dari sebuah
karya sastra.
Beberapa anggapan
menyatakan bahwa karya sastra klasik Indonesia sukar dinikmati dan kurang
bermanfaat. Salah satu penyebab hal tersebut adalah karena karya sastra tersebut
terlantar (Robson, 1978:5). Sastra klasik Indonesia belum banyak yang diteliti
sehingga masyarakat tidak mengetahui kandungan atau amanat yang termuat dalam
karya sastra tersebut. Penelitian yang dilaksanakan selama ini, hasilnya belum
memadai. Hal ini karena belum adanya kerangka teori untuk penelitian dan survei
sastra Indonesia berdasarkan kategori sastra yang dijabarkan dari sastra itu
sendiri (Teew, 1978:85). Para peneliti belum menyadari bahwa karya sastra
klasik itu terdapat sesuatu yang bernilai tinggi, yaitu warisan rohani bangsa
Indonesia.
Salah satu manfaat yang
dapat diambil dalam karya sastra klasik yaitu amanat atau pesan yang terkandung
di dalamnya. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap
klasifikasi Hikayat Galuh Digantung berdasarkan kategori isinya, serta
menganalisis Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori struktural dan
pragmatik. Karya sastra merupakan sesuatu yang utuh, yaitu suatu karya sastra
yang dibangun dengan menggunakan sarana kesastraan yang memadai.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana klasifikasi
Hikayat Galuh Digantung berdasarkan kategori isi?
1.2.2
Bagaimana analisis
Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori struktural?
1.2.3
Bagaimana analisis
Hikayat Galuh Digantung berdasarkan teori pragmatik?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah:
1.3.1
Untuk menginventarisasi
karya sastra melayu klasik yang ada di Indonesia.
1.3.2
Untuk mengklasifikasi
Hikayat Galuh Digantung berdarkan kategori isi.
1.3.3
Untuk mengidentifikasi
Hikayat Galuh Digantung menggunakan teori struktural dan pragmatik.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1
Untuk mengetahui karya
sastra melayu klasik yang ada di Indonesia
1.4.2
Untuk mengetahui isi
sejarah dari Hikayat galuh Digantung
1.4.3
Untuk mengetahui hasil
teori struktural dan pragmatik dari Hikayat Galuh Digantung
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung Berdasarkan Kategori Isi (Sejarah)
a. Sejarah
Silsilah Dewa Nayakesuma
Bangbang Sedaka,
seorang dewa yang memerintah di bumi, pada suatu ketika ia kembali ke asalnya
(kayangan) sehingga Kerajaan Mayapadi menjadi sunyi. Atas perintah Batara Guru,
Batara Nayakesuma dan isterinya turun ke Mayapadi untuk meramaikan kembali
Kerajaan Mayapadi. Batara Nayakesuma dikaruniai lima orang anak, empat orang
laki-laki dan satu orang perempuan. Keempat anak laki-laki itu dirajakan di
Kripan, Daha, Gegelang, dan Singasari. Sedangkan anak perempuan ditempatkan di
Panggung Wetan (di daerah Kerajaan Daha). Batara Nayakesuma dan isterinya
kembalike kayangan.
Sang
Nata Kuripan dikaruniai empat orang anak laki-laki. Dari Permaisuri dikaruniai
tiga orang anak laki-laki, yaitu Raden Inu Kertapati, Raden Carang Tinangluh
dan Raden Mertaningrat. Dari Paduka Mahadewi dikaruniai satu orang anak
laki-laki, yaitu Raden Kertabuana.
Sang
Nata Daha dikaruniai empat orang anak, tiga orang anak pereampuan dan satu
orang laki-laki. Dari Permaisuri dia dikaruniai satu orang anak perempuan dan
satu orang anak laki-laki, yaitu Raden Galuh Canderakirana dan Raden Perbatasari.
Dari Paduka Mahadewi dia dikaruniai dua orang anak perempuan, yaitu Raden Galuh
Ajeng dan Raden Galuh Uwi.
Sang
Nata Gegelang dikaruniai dua orang anak, satu orang perempuan dan satu orang
laki-laki, yaitu Raden Galuh Agung dan Raden Sirikan. Sang Nata Singasari
dikaruniai satu orang anak perempuan, yaitu Raden Galuh Ratna Juita. Sedangkan
Ratu Emas tidak dikaruniai anak.
b.
Sejarah Galuh Digantung
Ratu Bengawan Awan
mengirim utusan ke Daha untuk meminang Raden Galuh Canderakirana walaupun ia
telah mengetahui bahwa Raden Galuh telah menjadi istri Adipati Tamabakbaya.
Selain surat pinangan, Ratu Bengawan Awan mengutus pula Ken Seroja untuk
memasang guna-guna terhadap Raden Galuh Canderakirana.
Utusan itu dicaci-maki dan
diusir Adipati Tambakbaya. Tetapi guna-guna itu berhasil memperdaya Raden Galuh
Canderakirana. Akibat guna-guna dan ditambah pula dengan dorongan Ratu Emas di
Panggung Wetan, Raden Galuh mengusir Adipati Tambakbaya secara kasar agar pergi
dari Kerajaan Daha.
Setelah diobati oleh
Raden Perbatasari, Raden Galuh sadar bahwa suaminya sudah pergi dari Daha
karena diusirnya, ia sangat menyesali perbuatan itu.
Raden Galuh
Canderakirana melarikan diri dari Daha bersama Ken Bayan dan Ken Sanggit dengan
maksud menyusul suaminya. Adipati Tambakbaya telah jauh dari Kerajaan Daha.
Pada suatu malam ia beristirahat di bawah sebatang pohon bersama pengawalnya.
Sementara Raden Galuh Canderakirana berhari-hari tak pernah berhenti mencari
Adipati Tambakbaya, karena terlalu letih berjalan ia tertidur di bawah
pohon randu yang tidak jauh dari tempat
Adipati Tambakbaya beristirahat. Adipati Tambakbaya segera melihatnya, ia
sangat gembira. Tetapi kegembiraan itu segera lenyap, setelah Adipati
Tambakbaya ingat akan apa yang telah Raden Galuh Canderakirana perbuat padanya.
Dendam dan kebenciannya meluap sehingga ia memerintahkan pengawalnya (Mertakati
dan Mertasari) menggantung Raden Galuh Canderakirana serta dua orang
penggiringnya di atas pohon randu itu.
2.2 Analisis Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung berdasarkan Teori Struktural
2.2.1
Tema
Tema yang tekandung di dalam cerita
HGD ialah percintaan dan kepahlawanan. Di dalam cerita tersebut banyak hal yang
menyinggung tentang cinta, seperti cinta
Raden Inu Kertapati kepada Raden galuh Canderakirana begitu besar, apapun
dilakukan raden Inu untuk mendapatkan Raden Galuh. Sampai setelah menjadi suami
istri pun Raden Inu berusaha membahagiakan Raden Galuh. Kisah cinta mereka juga
mendapat gangguan dari Ratu Bengawan Awan yang mengirim utusan untuk meminang
Raden Galuh Candrakirana, meski Raden Galuh telah menjadi isteri Adipati
Tambakbaya (jelmaan Raden Inu Kertapati).
Bukti
adanya tema kepahlawanan yang diangkat sebagai tema dalam cerita ini yaitu
dengan menghadirkan tokoh-tokoh dalam kerajaan yang membela kerajaannya.
2.2.2
Plot
atau Alur
Alur adalah sebuah
cerita, sebuah pilihan peristiwa yang disusun berdasarkan waktu (Boulton, di
dalam Saad, 1978:16). Alur itu terdiri dari Motive (alasan), akibat, dan hubungannya yang penampilannya tidak
hanya melalui peristiwa-peristiwa, tetapi mungkin saja di dalam rangkaian
peristiwa (Boulton, di dalam Saad, 1978:16).
Dalam alur HGD,
bertolak dari pemikiran bahwa alur itu adalah rangkaian peristiwa yang saling
berhubungan. Alur adalah pola yang menghubungkan (Becker, 1978:54).
Dalam Hikayat Galuh
Digantung (HGD) dapat dilihat adanya peristiwa-peristiwa yang seolah-olah
terlepas atau berdiri sendiri antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain tidak
ada hubungan dan tidak berkesinambungan.
Kalau diperhatikan dengan seksama dapatlah diketahui bahwa
peristiwa-peristiwa yang terlepas-lepas itu tersusun rapi sehingga
keterpisahannya itu tidak begitu menonjol. Hal ini disebabkan oleh adanya alat
tertentu yang digunakan sebagai tanda perubahan topik, yaitu ungkapan pembuka
dan ungkapan penutup sebuah topik.
Untuk menyatakan
perubahan topik cerita di dalam HGD digunakan ungkapan pembuka, yaitu ungkapan
yang dimulai dengan kata alkisah, sebermula, atau syahdan yang lansung dirangkaikan dengan frasa .
Di dalam HGD terlihat
alat lain yang digunakan untuk membina kesatuan alur, yaitu tokoh dan tempat.
Kaitan waktu ditandai dengan kata-kata seperti setelah itu, sudah itu, sesudah itu, telah itu. Dengan mengunakan
kata-kata tersebut, waktu belajar maju sehingga tautan peristiwa terlihat
jelas. Kaitan tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh tambah yang sedikit sekali
berperan, dapat berfungsi sebagai alat penghubung peristiwa serta menimbulkan
kelogisan jalan cerita.
Tempat, dapat pula
digunakan sebagai alat pembina kesatuan alur. Peristiwa yang seolah-olah tidak
ada kaitannya tetapi pertautannya akan terlihat jelas apabila
peristiwa-peristiwa itu dihubungkan dengan peristiwa yang mengandung pernyataan
tentang tempat yang akan digunakan dalam penyusunan cerita.
Di dalam HGD terdapat
dua buah mimpi yang memperlihatkan fungsiya sebagai alat penghubung
peristiwa.Mimpi yang pertama adalah mimpi Sang Nata Daha ketika Raden Galuh
Candera Kirana menderita sakit keras. Mimpi ini menimbulkan serentetan
peristiwa yang saling berkait. Berpangkal dari mimpi ini, Sang Nata Daha
mengeluarkan maklumat bahwa barang siapa yang dapat mengambil kembang ganda
pura loka itu akan dijadikan suami Raden Galuh Candera Kirana. Mimpi kedua
adalah mimpi yang dialami Sang Nata Kuripan ketika Kerajan Kuripan diganggu
oleh Sato Sembawa. Mimpi itu merupakan jembatan bagi perjumpaan antara Sang
Nata Kuripan dengan anak-anaknya, terutama Raden Inu Kertapati.
Dari seluruh uraian
mengenai alur ini dapat ditarik kesimpulan bahwa alur cerita yang terdapat di
dalam HGD terbina baik melalui rangkaian peristiwa yang saling berkait sehingga
cerita terbentuk secara utuh. Amanat yang terdapat di dalam HGD disampaikan
melalui peristiwa yang saling berkaitan itu sehingga mudah ditangkap pembaca.
Dengan kata lain, alur cerita telah mendukung penyampaian amanat. Walaupun
kisah HGD menggunakan alur yang terlepas-lepas, tetapi dapat dipastikan HGD
menggunakan alur maju, karen menceritakan dari awal permasalahan sampai akhir
permasalahan.
2.2.3
Penokohan
Di dalam Bab sebelumnya
telah dinyatakan bahwa amanat HGD disampaikan melalui perilaku tokoh cerita.
Sehubungan dengan itu pembicaraan mengenai penokohan ini bertujuan untuk
melihat peran para tokoh dalam penunjang penyampaian amanat.
Untuk menyampaikan
amanat cerita, para tokoho dalam HGD dibagi atas dua kelompok besar, yaitu
kelompok tokoh protagonis dan kelompok tokoh antagonis. Kedua kelompok itu
dipertentangkan. Dalam pertentangan itulah terlihat perilaku tokoh yang
menggambarkan amanat. Dalam penggambaran amanat itu, tokoh Raden Inu Kertapati
dan Raden Galuh Canderakirana dijadikan sentral permasalahan. Maksudnya selain
kedua tokoh itu memberikan gambaran amanat, semua perilaku tokoh lain yang
meberikan gambaran tentang amanat disebabkan oleh dan atau untuk kepentingan kedua
tokoh tersebut. Tokoh-tokoh kelompok antagonis mempunyai fungsi yang sama,
yaitu menimbulkan masalah yang harus dipecahkan oleh tokoh-tokoh protagonis
sehingga gambaran aspek-aspek amanat terlihat jelas.
Tokoh Protagonis
a. Raden
Inu Kertapati
Raden Inu merupakan titisan dewa, namun
di dalam HGD dijelaskan bahwa dia adalah
manusia biasa.
Batara Kala merasa kesal karena
Raden Inu Kertapati tidak mau menuruti perintahnya untuk datang ke Kerajaan
Daha dan tapa yang dijalankannya itu dinyatakan sudah selesai. Batara Kala
berkata,
“Baharulah aku melihat
manusia keras hati, tiada menurut kata dewa-dewa.” (HGD: 27)
Untuk memperoleh
kembang ganda pura loka – obat bagi penyakit Raden Galuh Candera Kirana—Raden
Inu harus pergi ke Kayangan Antaboga. Sesampai di tempat itu, Raden Inu diancam
oleh binatang buas yang jumlahnya tak terhitung. Dengan tipu muslihatnya, dia
dapat mengalahkan binatang itu dan binatang menyerah.
b. Raden
Galuh Canderakirana
Keterangan tentang dia
manusia atau bukan, tidak dijelaskan secara langsung. Seperti halnya Raden Inu.
c. Tokoh-tokoh
Pembantu
Tokoh pembantu erat
hubungannya dengan penyampaian amanat. Tokoh pembantu yang ditampilkan ialah
yang berhubungan banyak dengan Raden Inu dan Raden Galuh. Tokoh yang setia
mengikuti Raden Inu dalam pengembaraannya adalah Para kedayannya yang telah
mulai dimunculkan sejak Raden Inu lahir. Mereka itu adalah Persanta, Jarudeh
Tuah, Kertala, Punta, dan Jarudeh.Mereka ditampilkan dengan tokoh yang lucu,
namun pada waktu tertentu memegang penting dalam menunjukkan jalan cerita. Pada
bagian awal cerita, terdapat keterangan bahwa para kedayan itu adalah anak para
pembesar Kerajaan Kuripan.
Tokoh lain yang banyak
juga mebantu Raden Inu dalam menampilkan amanat adalah Raden Kertabuana dan Raden
Carang Tinangluh. Kedua tokoh ini sering
memperlihatkan tindakan yang menggambarkan budi luhur. Tetapi hampir
semua tindakan yang mereka lakukan itu bermula dari kepentingan Raden Inu
Kertapati.
Tokoh Raden Perbatasari
adalah tokoh “penengah” antara Raden Inu dan Raden Galuh. Ia mempunyai peranan
penting dalam perkembangan kedua tokoh sentral itu untuk melahirkan amanat. Hal
ini terlihat jelas pada tindakan Rden Perbatasari ketika menegaskan kepada
ayahnya agar menepati janjinya terdapat Adipati Tambakbaya (HGD: 99).
Tokoh-tokoh pembantu
Raden Galuh yaitu Ken Bayan, Jen Sanggit dan Ratu Lasem. Ken Bayan dan Ken
Sanggit adalah dua orang parekan dayang yang mendampingi Raden Galuh sejak
kecil. Ratu Lasem mendampingi Pangeran Kesuma Agung dalam pengembaraannya. Ratu
Lasem bertindak sebagai pensihat atau pengarah Pangeran Kesuma Agung.
Hadirnya Ratu Lasem di
dekat Pangeran Kesuma Agung mempunyai alasan yang logis. Pangeran Kesuma Agung
itu adalah penjelmaan Raden Galuh Candera Kirana yang masih terlalu mudah untuk
mengarungi pengembaraan itu.
Tokoh pembantu lain
yaitu Raden Galun Ratna Juita atau Raden Galuh Candera Kesuma, Putri tunggal
Ratu Singasari. Putri Singasari telah dijadikan perangsang atau alat perantara
bagi Raden Galuh untuk menampilkan amanat. Hal ini terlihat jelas di dalam
pernyataan Raden Galuh ketika kepadanya diusulkan agar Putri Singasari itu diangkat
menjadi Paduka Mahadewi bagi Raden Inu (HGD: 314)
Tokoh
Antagonis
Tokoh-tokoh antagonis yang
dimaksud adalah (1) Satria enam bersaudara (Medanda, Pengerirama, Pajang,
Tumasik, Belantara, dan Nusantara); (2) Kelana Jaladri; (3) Ratu Bengawan Awan;
(4) Ratu Mentaun; (5) Ratu Belambangan; dan (6) Ratu Emas di Panggung Wetan.
Di dalam pemecahan
masalah itulah banyak terlihat ciri-ciri budi luhur yang tergambar pada
perilaku tokoh protagonis. Diantara enam kelompok tokoh antagonis yang disebut,
kelompok satria enam bersaudara itu cukup menarik perhatian. Kelompok ini
beberapa kali timbul tenggelam di dalam lingkungan tokoh protagonis.
2.2.4
Latar
Latar pada kisah
HGD adalah mengambil cerita zaman kerajaan yang dapat diperkirakan berumur
puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Misal Kerajaan-kerajaan yang disebutkan
adalah Kerajaan Mayapadi, Kayangan, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, Kerajaan
Gegelang, Kerajaan Singasari, Panggung Wetan, Pulau Nusasari. Latar suasana
yang ada dalam HGD adalah suasana ketradisionalank, kesederhanaan, kebahagiaan,
kesedihan, menegangkan, mengharukan. Itu semua dialami baik dari masyarakat
kerajaan maupun diluar kerajaan.
2.2.5
Amanat
Berdasarkan pengamatan,
amanat HGD disampaikan secara implisit. Amanat itu dilukiskan dengan halus,
melalui tingkah laku tokoh, sehingga pembaca tidak merasa digurui atau diajar
secara langsung.
HGD bertemakan
pengembaraan Raden Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana. Di dalam
pengembaraan para tokoh yang bertujuan mencapai kebahagiaan itulah, terlihat
perilaku tokoh-tokoh itu yang menggambarkan amanat atau pesan yang ingin
disampaikan kepada pembaca.
Secara singkat dapat
dikatakan bahwa amanat atau pesan yang terkandung di dalam HGD adalah budi
luhur selalu akan berjaya dalam mengatasi segala macam kesulitan. Dari
rangakian cerita HGD secara keseluruhan, diperoleh petunjuk bahwa budi luhur
itu ditandai oleh beberapa faktor antara lian, menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi, cinta kebenaran, adil dan
bijaksana, tidak mengharapkan balas jasa atau hadiah sebagai imbalan atas
pekerjaan yang telah dilakukan, dan pengabdian
diri. Budi uhur itu tergambar pada tingkah laku tokoh, terutama tokoh Raden
Inu Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana, dalam mengatasi penderitaan yang
ditemuinya di dalam pengembaraannya.
Tindakan Raden Inu itu
menggamabarkan faktor cinta kebenaran. Oleh karena dianggap tidak berguna lagi
oleh orang tuanya, maka ia bertkad untuk melarikan diri dari Kuripan.
“Sudah dengan untungku
akan menjadi ajar di gunung karena aku tiada digunakan oleh ayahandaku lagi.”
(HGD:16)
Raden Inu bertapa;
petapaan itu tanpa suci, sumber kebenaraan.
Setelah beberapa lama
bertapa, ia diperintahkan oleh Batara Guru pergi ke Daha. Sebelum ia
berangakat, Batara Guru menjelmakannya menjadi perempuan yang diberi nama Ken
Pengoda Asmara. Kehadirannya ke Daha ini memperlihatkan beberapa aspek budi luhur. Kerendahan hati atau menjauhkan
sifat angkuh dan sombong merupakan salah satu aspek dari faktor menjunjung
tinggi nilai-nilai manusiawi. Sang Nata dan Permaisuru maupun Raden Galuh
sangat senang kepada Ken karena sopan santun serta kerendahan hatinya. Oleh
karena itu Raden Galuh menganggapnya sebagai seorang sahabat karib. Raden Galuh
menganjak Ken makan.
Tindakan Raden Galuh
ini menggambarkan aspek menghormati dan menyayangi sesama manusia serta tidak
membedakan golongan. Aspek ini juga merupakan salah satu ciri dari faktor
menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi.
Sepeninggal Ken Pengoda
Asmara, Raden Galuh sakit keras. Melalui mimpinya, Sang Nata memperoleh
petunjuk bahwa penyakit Raden Galuh itu hanya dapat diobati dengan kembang
gandaparu loka yang hanya ada di kayangan. Sang Nata memerintahkan para satria
enam bersaudara itu untuk mencari kembang itu. Sang Nata menjanjikan bahwa
siapa yang berhasil mendapatkan kembang itu akan dijadikan suami Raden Galuh
dan memerintah sejero ning pasar.
(HGD:52).
Di pihak lain, Ken
Pengoda Asmara telah menyelesaikan teka-tekinya dengan Kelana Jeladri di Gunung
Silamancur. Kelana Jeladri telah menjadi dewa kembali. Ken Pengoda Asmara dijelmakannya
menjadi laki-laki kembali dengan nama Kuda Waningbaya. Kelana Jeladri
memerintahkan Kuda Waningbaya agar segera kembali ke Daha (HGD:51). Sesampai di
Daha, atas pertanyaan Sang Nata tentang kesanggupannya untuk mencari kembang
ganda pura loka itu.
Jawaban Kuda Waningbaya
ini menggambarkan aspek rendah hati. Setelah itu, Sang Nata memerintahkan Raden
Perbatasari membawa Kuda Waningbaya ke istananya.
Dari pesan Sang Nata
itu, terlihat aspek menghargai dan menghormati sesama manusia yang merupakan
salah satu ciri dari faktor menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi.
2.3 Analisis Karya Sastra Hikayat Galuh Digantung berdasarkan Teori Pragmatik
Pendekatan pragmatik
adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan
tujuan tertentu kepada pembaca. Pendekatan ini diciptakan untuk mencapai dan
menyampaikan efek-efek tertentu pada
peminat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau pengajaran
moral, agama atau pendidikan an efek-efek lainnya. Pendekatan ini berfungsi
untuk pendidikan moral, agama, maupun fungsi sosial.
Dalam
cerita HGD ini mengandung efek pengajaran moral, yaitu:
1.
Menjunjung tinggi
nilai-nilai manusiawi yang ditandai dengan aspek saling menghormati dan
menyayangi sesama manusia, tidak membeda-bedakan golongan atau tingkat/derajat
manusia, rendah hati, menjauhkan sifat angkuh dan sombong.
2.
Cinta kebenaran yang
ditandai oleh aspek berani berkorban demi hak dan kehoramatan, sesuai dengan
perbuatan setia akan janji, bertanggung jawab atas perbuatan yang telah
dilakukan, dan selalu berusaha memberantas kelaliman/
3.
Adil dan bijaksana.
4.
Tidak mengaharapkan
balas jasa atau hadiah atas pekerjaan yang telah dilakukan.
5.
Pengabdian diri
Dalam cerita HGD ini
juga mengandung efek pengajaran agama, yaitu masih ada kepercayaan terhadap
dewa-dewa. Dikisahkan Sang Nata Daha dan Sang Nata Kuripan beserta istrinya
pergi berkaul ke Pulau Nussari untuk memohon anak kepada para dewa. Sang Nata
Daha dan Sang Nata Kuripan berjanji bahwa apabila mereka dikaruniai anak yang
berbeda jenis, anak itu akan mereka kawinkan; mereka akan membayar nazar berupa
kerbau, sapi, dan kijang masing-masing sejumlah seratus ekor dan bertanduk
emas.
Efek kesenangan yang
terkandung dalam cerita HGD, yaitu menghibur mereka karena menghadirkan cerita
persahabatan dan romantisme. Kisah yang dramatis mencerminkan tingkah laku yang
berbudi luhur.
Efek pendidikan yang
terkandung di dalam cerita HGD, yaitu menghadirkan tokoh protagonis yang
diambil dari lingkungan kerajaan dan digambarkan sebagai manusisa yang sempurna
baik lahir maupun batinnya. Oleh karena itu tingkah lakunya yang membawa mereka
ke kehidupan yang bahagia, sehingga dapat dengan mudah dijadiakn sebagai
teladan oleh pembaca. Selain itu kisah-kisah kepahlawanan dan percintaan dalam
HGD dengan tokoh Raden Inu Kertapati dan Readen Galuh Canderakirana sampai
akhirnya memerintah di Kerajaan Kediri, ini dapat dikembangkan menjadi bahan
ajar pendidikan formal dan nonformal, bahkan sebagai bahan baku industri
budaya. Cerita-cerita yang terkain juga banyakmengajarkan kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian alam.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Karya
sastra merupakan hasil ciptaan atau rekaan yang berasal dari pengalaman,
imajinasi, atau cerita dari orang lain. Hikayat Galuh Digantung ini, bersifat
istana sentris karena cerita HGD ini banyak sekali menceritakan kehidupan di
lingkungan Kerajaan.
Dengan menelaah isi
cerita HGD, dapat ditemukan sejarah masa lampau dan peristiwa-peristiwa yang
kini menjadi bahan ajar bagai dunia pendidikan, baik itu Cerita Panjinya maupun
nasiha-nasihat yang diterapkan hingga sekarang.
Dengan menganalisis HGD menggunakan teri
struktural. Dapat diketahui tokoh utama yang sangat dominan adalah Raden Inu
Kertapati dan Raden Galuh Canderakirana. Sehingga dapat ditentukan temanya
adalah “percintaan dan kepahlawana”. Untuk menyatakan amanat, kedua tokoh
tersebut sangat berpengaruh sebagai pusat permasalahan.Di gambarkan kedua tokoh
itu adalah manusia paling sempurna, keduanya mencerminkan tingkah laku
keluhuran budi. Untuk menonjolkan keluhuran udi tersebut, dimunculkan tokoh
antagonis.
Dengan menelaah HGD
menggunakan teori pragmatik. Dapat diketahui bahwa HGD memiliki manfaat bagi
pembacanya yaitu diantaranya sebagai hiburan, memberikan pengajaran moral,
pendidikan, dan pengajaran agama.
Dari
seluruh uraian tersebut, kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, supaya lebih mengetahui apa itu hikayat, menghargai dan menapresiasi
karya satra melayu terdahulu. Sehingga kita juga ikut berkontribusi dalam
melestarikan suatu karya sastra melayu klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasjim, N. (1984). Hikayat Galuh Digantung.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Hutomo,
S. S. (1991). Mutiaran Yang Terlupakan. Surabaya: Hiski.
LAMPIRAN
A.
Sumber Data
Data
diambil dari naskah Hikayat Galuh
Digantung. Naskah yang bernomor ML.513 tersimpan di Museum Pusat, Jakarta.
Sepanjang diketahui naskah itu belum pernah diterbitkan dan merupakan naskah
tunggal menurut catatan yang ada di Museum Pusat,Jakarta, naskah tersebut belum
dapat dirunut dari mana dan bagaimana cara memperoleh nya. Di dalam katalog
yang disusun oleh R.M. Ng
Dr.Poerbatjaraka. Dr. P Voorhoeve dan Dr.
C.Hooykaas. 1950. Indonesische
Handschriften, Bandung: A.C Nix & Co. Pada halaman 180 terdapat
penjelasan singkat tentang naskah ini. Keterangan itu menyebut kan bahwa naskah
ini pernah dibicarakan dalam majalah jawa. Jrg—12—1932 Halaman 209-228. Ulasan
“Java in Malaische literatuur
(Hikayat—Galoeh—Digantoeng)” ditulis oleh H.Overbeck. Pada akhir tulisan tersebut di tuliskan mengenai bagian
naskah HGD, antara lain,
“.
. . menurut pendahuluan nya yang berupa
syair, naskah ini ditulis pada tahun A.H 1283 ( A.D 1866), dan menurur penutup
nya pada tahun A.H 1300(A.D 1882) di palembang. Selama tidak diketahui
cerita-cerita Panji maka sukarlah menentukan apakah Hikayat Galuh Digantung
merupakan terjemahan naskah asli dari jawa atau merupakan cerita fantasi yang
berasal dari cerita Melayu yang bersumber pada cerita Panji. . . Didalam cerita
Hikayat Galuh Digantung terdapat kata Jawa, terutama dalam pertunjukkan di yang
bermain di dalam istana, dalam melukiskan pesta,pakaian, dan lain sebagainya.
Juga teka-teki Kelana Jaladri dan wawangsalan Ken Pagoda Asmara yang dituliskan
kedalam bahasa Jawa. Perpaduan mungkin berasal dari penulis itu sendiri.
Beberapa ungkapan misalnya “salah gawe’ merupakan ungkapan asli Palembang.
Tetapi bagi para dalang “yang empunya cerita” ini sedikit banyak mengetahui
bahasa Jawa.” (Didalam majalah Jawa 1932:217)
Selain
itu , HGD ini tercatat pula pada Katalog
Naskah-Naskah Lama Simpanan Muzium
Pusat,Jakarta yang disusun oleh Jazamuddin,Dewan
Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1969. Katalog ini tidak banyak membahas
mengenai naskah HGD. Keterangan yang agak lengkap mengenai naskah HGD dapat disampaikan sebagai berikut :
Nomor
Naskah : ML.513 Museum Pusat
Jakarta.
Ukuran Naskah :
33 ½ x 21 cm., 26 Baris, dan 367 Halaman
Tulisan
Naskah : Arab Melayu,baik dan
jelas, huruf kecil-kecil, ditulis dengan tunta
hitam
Keadaan
kertas : kertas yang digunakan
kertas SMITH&FIUME. Kertasnya masih baik tetapi ada beberapa halaman yang rusak.
Kolofon : didalam pendahuluan
berupa syair, terdapat keterangan bahwa naskah ditulis pada tanggal 27 safar
1283 hijriah atau 1866 Masehi
.tetapi di bagian akhir terdapat pula penjelasan yang mengatakan naskah tersebut selesai pada
tanggal 1 syakban 1300
hijriah atau pada tahun 1882
masehi di palembang. (kedua angka ini perlu dapat
perhatian lebih lanjut) pada halaman
kosong di akhir ada keterangan yang ditulis dengan huruf latin :
“Saja Kemas
Abdulhamid bin Kemas Hasan iang Poenja Ini Kampoeng 7 oeloe.”
Catatan
Lain : Pada lembar kedua dari muka,
terdapat tulisan latin: Galoh digantung
dan beberapa catatan mengenai syarat peminjaman. Naskah ini di isi dengan puisi (pantun dan
syair) sebanyak empat
halaman, setelah itu barulah bentuk tubuh hikayat. Puisi itu antara lain berisi syarat
peminjaman dan cara menggunakan naskah (misalnya jangan membaca dekat pelita,
kalau-kalau kena
minyak).
Untuk
memudahkan pencarian naskah tersebut di transliterasikan ke dalam bahasa Latin.
Naskah tersebut di transliterasikan jadi bahasa Latin yang berisi 466 halaman
ketras kuarto.
Didalam
HGD terdapat kata-kata dalam bahasa Jawa misalnya , kedayan(piring, atau
pelayan) kampu ( sejenis ikat pinggang) , mendak ( semacam berlutut ), Dan lain
sebagainya.
B. Sisilah
keturunan Sang Nata
Sang
Nata Kuripan
|
Permaisuri
|
Paduka
Mahadewi
|
Sang
Nata Daha
|
Permaisuri
|
Paduka
Mahadewi
|
Ratu
Emas di Panggung Wetan
|
Sang
Nata Gegelang
|
Permaisuri
|
Sang
Nata Singasari
|
Permaisuri
|
Batara
Naraya
Batara Nayakesuma
|
Istrinya
|











Tidak ada komentar:
Posting Komentar