Minggu, 26 November 2017

Analisis Puisi Negeri Bencana

Gita Puspitasari
13010114130067
Sastra Indonesia/semester 4
Kelas B
UAS Pengkajian Puisi


NEGERI BENCANA

alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.

tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.

tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.

dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.

                                                                        (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999)


1. Analisis Struktural Puisi “Negeri Bencana” karya Dorotea Rosa
1.1. Analisis Strata (Lapis) Norma Roman Ingarden
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
1.1.1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Pada bait pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi. Juga terdapat aliterasi p dan k  pada pecah, padang, kunikmati, kehangatan.
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
Pada bait kedua terdapat asonansi a dan u pada tapi, tak,  bisa, bangkai, sabar, mangkuk, bubur, diaduk, debu. Aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung, bangkai.
tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulang-tulang gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah.
Pada bait ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak,  bisa, gemetar, gemerutuk. Aliterasi t dan g  pada tapi, tak, tubuh, gemetar, gemerutuk.
dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. tapi bau daging saudaramu.
Pada bait terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.  Untuk aliterasi pada bait ini tidak ada.
1.1.2. Lapis arti (units of meaning)
Lapis ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
pada bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di negeri si aku dan dampak dari bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah terjadi dinegerinya. Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan di tanah yang bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang angin yang tidak seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau bangkai. Jadi puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang terjadi pada negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama puing-puingnya.
1.1.3. Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Dorothea Rosa adalah salah seorang penyair wanita terkenal Indonesia, sehingga tak dapat diragukan lagi karya-karyanya. Karya-karyanya beraliran feminis. Dalam karyanya Dorothea berusaha merebut sebuah ruang di antara dominasi lelaki, dengan membangun teks-teks puisinya sebagai sebuah labirin gender. Namun dalam puisi ini Dorothea mencoba memberikanpenjelasn objek yang ditekankan adalah dampak dari bencana yang melanda negeri.
1.1.4. Lapis Keempat (dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa bahwa suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.1.5. Lapis Kelima (metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan suasana yang terjadi setelah bencana dan si pengarang pasrah akan apa yang terjadi. Ini begitu dijelaskan pada bait pertama:
alangkah giris lagu hujan
musim yang terlalu cepat menyeberangi tanah tanah
pecah dan padang tandus
kunikmati kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan.
Sajak tersebut mengawali penegasan kata, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan. Dan hamparan negeri yang kering. Serta membuat pengarang merengkan diri, atas bencana yang terjadi, kerinduan saat hujan turun.


1.2. Analisis Struktur Pembentuk Puisi Riffaterre
1.2.1. Surface Strukture (unsur luar)
1.2.1.1. Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Simbolisme dalam puisi berupa:
a.    Blank Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol-symbol tertentu yang acuan maknanya bersifat universal sehingga pembaca tidak kesulitan menafsirkan. Misalnya lembah hitam, kata-kata dengan nuansa warna, dan lain-lain. Pada puisi ini tidak memiliki balnk symbol.
b.    Natural Symbol
Kata yang mengungkapkan symbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa beberapa kehidupan binatang, fenomena alam, dan lain-lain. natural symbol yang ada dalam puisi ini adalah padang tandus, hujan, bencana.
c.    Private Symbol
Private simbol adalah pilihan kata yang diciptakan pengaran. Kata-kata yang mengungkapkan simbol secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikan atau gaya ciptaannya. Dalam puisi ini memiliki private symbol adalah lagu hujan, mangkuk-mangkuk bubur diaduk debu.
1.2.1.2. Unsur Bunyi
1.2.1.2.1. Rima
a.    Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi pada satu baris. Asonansi pada puisi ini ialah sebagai berikut:.
·            Pada bait pertama terdapat asonansi e pada terlalu, cepat, menyeberangi.
·            Pada bait kedua terdapat asonansi a dan u pada tapi, tak,  bisa, bangkai, sabar, mangkuk, bubur, diaduk, debu.
·            Pada bait ketiga terdapat asonansi a dan i pada tapi, tak,  bisa, gemetar, gemerutuk.
·            Pada bait terakhir terdapat asonansi a pada tapi, bau, daging, saudaramu.

b.    Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Aliersi pada puisi ini ialah sebagai berikut:
·      Pada bait pertama terdapat aliterasi p dan k  pada pecah, padang, kunikmati, kehangatan.
·      Pada bait kedua terdapat aliterasi t dan b pada tapi, tak, burung, bangkai.
·      Pada bait ketiga terdapat aliterasi t dan g  pada tapi, tak, tubuh, gemetar, gemerutuk.
·      Pada bait terakhir puisi ini tidak memiliki aliterasi.
c.    Rima akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi pada akhir baris. Dalam puisi ini tidak memiliki rima akhir.
1.2.1.2.2. Irama
Irama adalah ada paduan bunyi akustik yang ingin dibacakan pembaca kepada pendengar. Irama pada puisi ini penekanannya lebih pada rima akhir. Puisi ini memiliki irama berupa suara teratur pada awal dan akhiran vokal u pada bait pertama menunjukkan penekanan sebagai penegasan dalam cerita pada sajak puisi negeri bencana. Penekanan vokal u bertujuan untuk membuat puisi terlihat indah dan isi atau pengalaman si pengarang yang ditulis dalam sajak terlihat nyata dan benar-benar terjadi di saat terjadinya bencana. Penggunaan kata yang dipakai si pengarang adalah konotasi yang pada nantinya pemilihan kata menimbulkan perasaan mampu membuat si pembaca seakan-akan ikut merasakan isi puisi dan pendengar terbawa penhyampaian pembacaan puisi tersebut.
Dan dalam puisi  ini dengan bunyi aliterasi s pada kata “tandus” melambungkan suatu keadaan yang benar-benar terjadi saat bencana usai melanda negeri si pengarang.
1.2.2. Deep Structure (unsur dalam)
       Makna yang terkandung dibalik kata-kata yang tersusun sebagai struktur luarnya. Dalam puisi ini unsur dalamnya adalah pada bait pertama menceritakan bencana yang terjadi di negeri si aku dan dampak dari bencana itu. Pada bait kedua bercerita tentang akibat kerusakan bencana yang telah terjadi dinegerinya. Pada bait ketiga bercerita tentang korban yang berserakan di tanah yang bercampur diantara pasir. Pada bait terakhir bercerita tentang angin yang tidak seperti biasa yang membawa debu, tetapi sekarang membawa bau bangkai. Jadi puisi yang sedehana ini ingin menyampaikan bahwa kerusakan yang terjadi pada negeri usai bencana, dan keadaan korban bencana bersama puing-puingnya.


2. Analisis Semiotik Puisi “Negeri Bencana” karya Dorotea Rosa
Puisi “Negeri Bencana” terdiri dari 13 baris yang terbagi dalam 4 bait, setiap bait terdiri dari bait pertama 4 baris, bait kedua 3 baris, bait ketiga 3 baris, dan bait terdiri dari 2 baris. Puisi “Negeri Bencana” bila dilihat dari judulnya menggambarkan tentang negeri yang ditimpa bencana. Ketika pembaca melihat judulnya setidaknya yang terpintas dalam pikiran pembaca adalah suatu bencana. Ketika pembaca memasuki isi dari puisi tersebut merupakan gambaran tentang dampak atau akibat yang terjadi akibat bencana yang telah menimpa negeri.  Pada awal puisi sudah ditegaskan kata.
alangkah giris lagu hujan, musim yang
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah pecah dan padang tandus
Pada bait itu pengarang memberikan penegasan, yang artinya usai bencana yang mengakibatkan kerusakan dan hamparan negeri yang kering.
Pada puisi ini terdapat simbol setiap baitnya. Penggunan simbolnya, seperti pada bait pertama “tanahtanah pecah dan padang tandus”. Tanahtanah tandus disini sebagai simbol bahwa akibat atau dampak dari bencana yang dialami negerinya. Pada bait ke 2 “tanah bencana mangkukmangkuk bubur diaduk debu” , tanah disini juga bersimbol sebagai akibat kerusakan bencana yang telah terjadii dinegerinya. Dan bait ke 3 , “pasir-pasir tibatiba berdarah”, yang artinya bersimbol sebagai pertumpahan darah korban bencana yang bercampur diantara pasir.
2.1. Kajian Semiotika dengan Model Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan Heuristik dan Hermeneutik - Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau hermeneutika adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaannya, tetapi juga makna (significance) kesastraannya.
2.1.1. Pembacaan Heuristk
Karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung sehingga artinya menjadi jelas, seperti pembacaan berikut ini.
Alangkah giris (cepatnya) (antara) lagu (musim) hujan (maupun) musim (kemarau) yang terlalu cepat menyeberangi (datang) (menjadikan) tanah-tanah pecah dan  (menjadi) padang tandus (yang gersang). (a-)kunikmati (serta) (renungkan) (diri), (merasakan) kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan
(saat hujan turun).
(te-)tapi (aku) tak bisa kurasakan (merasakan) tanah (negeriku lgi) (setelah) bencana (datang) (memporak porandakan). (membuat tanahnya) (menjadi) mangkuk-mangkuk bubur (yang) diaduk debu (atau) (berlubang). Dan (di sana) (ada) burung bangkai yang tak sabar menunggu (bangkai-bangkai) (korban bencana).
(te-)tapi tak bisa kurasakan tubuh yang (begitu)
gemetar (dan) (terasa) (kaku). Tulang-tulang (rasanya remuk) gemerutuk dan
pasir-pasir yang tiba-tiba berdarah (darah) (berceceran) (di antara) (pasir-pasir).
dengarlah (dan) (akhirnya) angin (pun) : ia tak lagi menerbangkan
debu-debu. (te-)tapi bau daging saudaramu (manusia).

2.1.2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak tersebut belum lengkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua, sebagaimana berikut ini.
Bait pertama: dalam sekejap dan beberapa saat, antara lagu hujan maupun iramanya hingga musim tandus. Gersang. Semuanya terjadi begitu saja.  Bencana yang terjadi. Suatu musibah yang dialami negara si aku. Suasana musim kemarau dapat dirasakan saat si aku menyeberangi tanah-tanah pecah dan tandus. Lalu si tokoh aku merenungkan diri, merasakan kehangatan rindu saat hujan mulai turun.
Bait kedua: tetapi si aku tak bisa merasakan negerinya lagi saat pertempuran menghantam negerinya. Membuat tanahnya menjadi bubur bermangkuk-mangkuk atau berlubang. Dan disana ada burung bangkai yang menanti bangkai-bangkai korban. Korban bencana negerinya.
Bait ketiga: tubuh si aku terasa kaku dan tak dapat dirasakan lagi, tulang-tulang rasanya remuk gemerutuk dan darah berceceran di antara pasir-pasir.

Bait terakhir: dan akhirnya angin pun tak lagi membawa debu melainkan bau darah orang mati. Saudaranya. Dan ia berkata kepada angin bahwa angin tak lagi membawa debu tetapi bau daging manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar