TEORI RESEPSI SASTRA, TEORI PSIKOLOGI
SASTRA DAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA
Disusun Oleh :
Gita Puspitasari
13010114130067
Kelas B
Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas
Diponegoro
2016
A. Teori Resepsi
Sastra
1. Pengertian
Resepsi
sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya
dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253).
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22).
Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian
makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang
dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan
pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam
Walidin 2007).
Menurut
Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan
pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi
termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan
pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai
menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai
dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca
yang memberikan nilai.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian
sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa
satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu
periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap
sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap
periode.
Menurut Segers
(1978: 109) membedakan resepsi pembaca terhadap sastra menjadi dua, yaitu
intelektual dan emosional. Resepsi yang termasuk dalam kategori intelektual
bila yang diresepsi berkaitan dengan hal-hal yang tekstual, misalnya, resepsi
berkaitan dengan bahasa, tokoh, alur, dan lain-lain. Untuk yang emosional,
pembaca memberikan tanggapan berdasarkan persaannya (emosi), misalnya,
menegangkan, menyedihkan, ikut terhanyut, dan lain-lain.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam
bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu
karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan
sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang
terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan
bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan
permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya
menyajikan permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang,
waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere
(Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau
penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks,
cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya.
Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca,
melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna
2009: 165).
Teori
resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak
dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi
seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar saat teori resepsi
dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,
postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori
itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang
dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan
tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang
meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan
kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain
dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
2. Sejarah Teori
Resepsi Sastra
Masalah – masalah yang berhubungan dengan kompetensi
pembaca mulai timbul di kalangan strukturalis praha, dengan adanya pergeseran
pandangan dari analisis unsure menuju ke analisis aspek – aspek di luarnya,
yang dikenal sebagai strukturalisme dinamik yang dikemukakan oleh Mukarovsky
sekitar tahun 1930-an. Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai
teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan
sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh
Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang
mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan
penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan
bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian
Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak
dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil
penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep
bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan
arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan
anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara. Selanjutnya,
Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan
Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat
dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini
bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat
dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka
juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra.
Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh
penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus
merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu.
Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir
mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan
sastra/bukan sastra. kemudian dilanjutkan oleh Vodicka, muridnya. Jausz, dengan
pusat Universitas Constanz Jerman), dalam “Literaty Hystory as a Challenge to literary
Theory” (dalam New Direction in Literary Hystory, Ralph Cohen, ed., 1974)
kemudian memberikan argumentasi secara lebih mendalam dengan cara mengaitkanya
dengan sejarah.
Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak
tahun 1970-an, dengan perimbangan : a) sebagai jalan ke luar untuk mengatasi
strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsure –
unsure, b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai – nilai
kemanusian, dalam rangka kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa
nilai – nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca,
d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, e)
kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra
dengan pembaca.
3. Konsep Teori
Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya
pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis
dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada
teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra,
walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam
menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu
karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran
karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu
sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan
tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan
yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu
sendiri (Junus, 1985:49).
4. Tokoh Teori
Resepsi
Teori Dalam
membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori
tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra
yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan
tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss merupakan seorang
ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari Universitas Konstanz.
Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya
sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa
sekarang,dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya.
Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal:
Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam
batin pembaca terhadap sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin
merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan
pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak
pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra
tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti
sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya,
penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20
menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan
sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial
karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu
aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya
dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam
penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang
baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para
peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau
menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut
kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang
hakiki dalam menentukan dalam sastra.
a. Wolfgang Iser.
Berbeda
dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi.
Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara
teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan
perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan
karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser
bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang
dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang
memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata
lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan
kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan
teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan”
sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita
sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam
karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing,
menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh
tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan
kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak
pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak
terlepas karena Iser (Ibid.: 182-203) juga mengintroduksi konsep ruang kosong,
ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara
bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka,
penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca
secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
b. Jonathan Culler
Keinginan
Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca.
Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan
prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap
pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama.
Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun
penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi
penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam
sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisnya.
5. Penerapan
Teori Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra pada
penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra
yang dibacanya. Metode resepsi sastra
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu
mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209)
apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang
lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti
tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas
karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang
dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang
sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia
pembaca.
a. Penerapan Metode Resepsi
Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode
sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca
sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu
periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara
menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara
maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini
dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini
jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119) bahwa
penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat
pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya
dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Masih jarang penelitian resepsi
sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal
ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam
pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.
b.
Penerapan Metode Resepsi Diakronis
Penelitian resepsi sastra dengan
metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap
tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam
satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini
dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa
kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul
setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis
dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat
dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang
melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil
intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual
merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah
dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran,
maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra
modern.(Chamamah dalam Jabrohim 2001: 162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan
adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi
diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy
Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam
Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca
Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani
dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan
Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel
berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel
berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca
menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini
menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada
kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama
Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat
menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam
menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan
diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah
meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar
tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
6. Kelebihan dan
Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Masing-masing metode dalam
penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dalam penelitian
resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis,
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis
mempunyai beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk
penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119)
penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat
pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit,
khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan
teori.
Selain itu, penelitian sinkronis
hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun
waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa
tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa
sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi
sinkronis atau eksperimental ini antara lain:
a.
Reponden
dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu.
b.
Penelitian
resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan
kritik atau ulasan mengenai karya sastra.
c.
Dapat
dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian resepsi diakronis,
peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan,
penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan.
Biasanya penelitian dengan
menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya
sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.
Dalam metode diakronis ini, peneliti
juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra
bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian
resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra
turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan
peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya
sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik
wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis
akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan
mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian.
Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya
oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas
Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap
karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan
dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang
puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan
Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini
mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan
Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang
mengadopsi cerita-cerita pewayangan.
B. Sosiologi
Sastra
1. Pengertian
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008: 1332). Sosiologi sastra merupakan pengetahuan
tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para
kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi
oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan
sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik
tolak dengan orientasi kepada pengarang. Abrams mengatakan sosiologi sastra
dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang
utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status
kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan
pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Kesemuanya itu terangkum dalam
aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun
keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Ciri-ciri
perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di
mana ia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya
dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan
sosiologi berperan mengungkapkan isi sebuah karya sastra.
Konsep sosiologi sastra didasarkan
pada kenyataan bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang
merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi
dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk
oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan
sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya.
Sosiologi sastra berkembang dengan
pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme
dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi.
Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang
merupakan asal-usulnya. Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan
studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh
mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Ratna via
Sutri (2006: 332-333) mengemukakan bahwa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat sebagai berikut:
a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan
oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek
tersebut adalah anggota masyarakat.
b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap
aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga
difungsikan oleh masyarakat.
c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan,
dipinjam melalui kompetansi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan.
d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat,
dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etik, bahkan
logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
e. Sama dengan masyarakat, karya sastra dalah hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Sosiologi Sastra tidak hanya
membicarakan karya sastra itu sendiri melainkan hubungan masyarakat dan
lingkungannya serta kebudayaan yang menghasilkannya. Pendekatan Sosiologi
Sastra mempunyai tiga unsur di dalamnya. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai
berikut:
1)
Konteks
sosial pengarang
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengarang dalam
menciptakan karya sastra. Faktor-faktor tersebut antara lain mata pencaharian,
profesi kepegawaian, dan masyarakat lingkungan pengarang.
2)
Sastra
sebagai cerminan masyarakat
Karya sastra mengungkapkan gejala sosial masyarakat
dimana karya itu tercipta dalam sastra akan terkandung nilai moral, politik,
pendidikan, dan agama dalam sebuah masyarakat.
3)
Fungsi
sastra
Fungsi sastra dalam hal ini adalah nilai seni dengan masyarakat,
apakah di antara unsur tersebut ada keterkaitan atau saling berpengaruh.
2. Sejarah
Sosiologi Sastra
Sejarah
pertumbuhan konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra
ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being,
makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya.
Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam
jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul
pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu
dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara
sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar
sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang
mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan
masyarakat sebagai 'cermin'. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau
peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti
dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad
sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van
Luxemburg, 1986:15). Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan
suatu ide. Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak
kursi yang terdapat dalam dunia ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak
memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah
dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan)
tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya')
sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang
tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari
copy.
Aristoteles juga
mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia
berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga
menciptakan sesuatu yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap
kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan)
atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai
"universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya
kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat
kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang
berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep
'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan
nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan
perdekatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan
paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki
pembayangan historis dalam zamannya. Dasar pembayangan historis ini telah
dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus
meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan
suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan
kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman positivisme
ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817).
Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang
sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan
sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan
metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya
History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra
dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan
(milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka
kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang
pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan
struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni.
Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen)
ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi
keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang
kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu
sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah
Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap
membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku
(strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa
aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan
yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara
khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra
seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert,
sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar
bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini
sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham).
Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan
dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini
memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam
penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan
pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi
sastra.
3. Teori
Pendekatan Sosiologi Sastra
Berikut adalah teori pendekatan sosiologi sastra menurut para ahli:
§ Ratna (2003:2) ada sejumlah
definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka
menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara
lain:
a. Pemahaman terhadap karya
sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
b. Pemahaman terhadap totalitas
karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
c. Pemahaman terhadap karya
sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakanginya.
d. Sosiologi sastra adalah
hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
e. Sosiologi sastra berusaha
menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
§ Wellek dan Warren (1956: 84, 1990:
111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
a. Sosiologi pengarang, profesi
pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi
pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra,
karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai
makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga
dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi
tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki
peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990:
112)
b. Sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa
yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan
yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan
dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi
Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat,
buku sumber sejarah peradaban.
c. Sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan
mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga
membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan
diterapkan dalam kehidupannya.
·
Klasifikasi
Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989 :
3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
a. Konteks Sosial Pengarang
Ada
kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan
masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi
karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
§ Bagaimana pengarang mendapat
mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara
langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
§ Profesionalisme dalam
kepengaragannya; dan
§ Masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang.
b. Sastra Sebagai Cermin
Masyarakat
Maksudnya
seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian
“cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan
disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai
cermin masyarakat adalah :
1) Sastra mungkin tidak dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri
masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis;
2) Sifat “lain dari yang lain”
seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta
sosial dalam karyanya;
3) Genre sastra sering merupakan
sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
4) Sastra yang berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat
dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya,
sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat
mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang
masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan
jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
c. Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial.
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
1) Sudut pandang ekstrim kaum
Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak;
2) Sastra sebagai penghibur saja;
3) Sastra harus mengajarkan
sesuatu dengan cara menghibur.
Menurut
Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam
kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
1) Karya sastra ditulis oleh
pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan ketiganya
adalah anggota masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam
masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang
pada gilirannya juga di fungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya sastra baik lisan
maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah
mengandung masalah kemasyarakatan.
4) Berbeda dengan ilmu
pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra
terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan masyarakat, karya
sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya
dalam suatu karya.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui
tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan
sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Tiga Sudut Pandang Perspektif
1) Perspektif karya sastra,
artinya peneliti menganalisi karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat
dan sebaliknya.
2) Perspektif pengarang yakni,
peneliti menganalisis pengarang, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
sejarah kehidupan pengarang dan latar belakang sosialnya yang bisa mempengaruhi
pengarang dan isi karya sastranya.
3) Perspektif pembaca, yakni
penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra dan pengaruh
sosial karya sastra.
§ Teori Strukturalisme Genetik :
memasukan faktor genetic dalam upaya memahami karya sastra. Genetic sastra
artinya asal-usul karya sastra yang ditentukan oleh faktor-faktor,antara lain
pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat
diciptakan. Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat berpengaruh
terhadap proses penciptaan karya sastra baik dari segi isi maupun segi
bentuknya atau strukturnya.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penerapan teori strukturalisme genetik
adalah:
a. Penelitian harus dimulai dari
kajian unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun dalam jalinan
keseluruhan.
b. Mengkaji latar belakang
kehidupan sosial kelompok pengarang karena pengarang merupakan bagian dari
komunitas kelompok tertentu.
c. Mengkaji latar belakang sosial
dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh
pengarang. Dari ketiga langkah tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan
dunia pengarang yang di perjuangkan oleh tokoh problematik.
Teori strukturalisme
fungsional
a. Menganggap struktur
kelembagaan sastra sebagai sistem campuran yang berbeda dengan struktur
lembaga-lembaga sosial lainnya, seperti keluarga, politik, dan ekonomi.
b. Sastra sebagai struktur
institusional harus memperhitungkan produk sastra sebagai objek atau proses
pengalaman estetik dan sebagai mata rantai yang esensial dalam suatu jaringan
hubungan-hubungan sosial dan cultural yang meluas.
C.
Psikologi Sastra
Wellek dan Austin (1989), Psikologi
secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra
adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara
keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari
sudut kejiwaannya. Ratna (2004:340)
Istilah psikologi sastra mempunyai
empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang .
Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada
pembaca (psikologi pembaca). Namun didasarkan pada pendekatan psikologis
lebih dekat dengan pengarang dan karya sastra maka lebih berhubungan pada tiga
gejala utama yaitu, pengarang, karya sastra dan pembaca Ratna (2004:61)
.Maka pendekatan psikologis sastra pada pengarang lebih pada pada pendekatan
ekspresif, yaitu kepengarangan. Pada karya sastra lebih pada pendekatan
objektif.
Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi
Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi
psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis
sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut
baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya
perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung
dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra
dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut
dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui
pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan
psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang
mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.Dengan demikian dapat ditarik
benang merah mengenai definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep
psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun
dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud
untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.
Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat.
Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap
masyarakat.
Daftar Pustaka
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra:
Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Publik Jaya
Wellek, Rene, and Warren, Austin.
1995. “Teori Kasusastraan”. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Escarpit, Robert. 2009. Sosiologi Sastra. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sugono, Qodratillah dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar